Skip to main content

Posts

Featured Post

Seroja, Laskar Pelangi dan Verrys Yamarno

Bunga Seroja, tanaman bernama latin Nelumbo nucifera. Tanaman yang hidup di air ini diperkirakan berasal dari India. Bunga ini memiliki banyak manfaat, bunga, biji, daun hingga akar bisa dimakan. Konon, sejak jaman mesir kuno bunga ini sudah diistemewakan. Tahun 50an, Seroja diangkat menjadi satu judul lagu, dinyanyikan Said Effendi, maestro musik melayu yang tersohor sampai negeri Jiran. Seroja kembali muncul sebagai salah satu soundntrack film laskar Pelangi jelang akhir tahun 2008. Film yang diangkat dari novel Andrea Hirata ini mendapat sambutan luar biasa dari penikmat film. Fakta tersebut membuat saya sangat penasaran, sebenarnya apa yang menarik dari film ini. Saya masih ingat, waktu itu di banyak bioskop di Jakarta selalu dipenuhi mereka yang antre tiket film garapan Sutradara Mira Lesmana ini. Fenomena seperti ini berlangsung hingga beberapa pekan. Saya termasuk orang yang malas berjam-jam demi selembar tiket, jadi sayapun mencari bioskop yang tak harus antri. Setelah surve
Recent posts

Manisnya Hidup Memang Tak Semanis Segelas Teh nasgitel

Salah satu makanan favorit orang saya adalah nasi Pecel. Setiap saya pulang ke Tulungagung makanan ini selalu menjadi menu wajib yang tak boleh terlewatkan karena di Jogja atau Boyolali susah sekali mencari warung nasi pecel yang memiliki “rasa” seperti pecel yang dijual di daerah Jawa Timur. Di Karanggede, Boyolali ada satu warung yang menurut saya memiliki “rasa” nasi pecel yang sama dengan daerah aslinya. Petang itu, selepas Maghrib, saya mencari makanan favorit saya di sebuah warung di perempatan patung kuda pusat kecamatan Karanggede. Warung ini sebenarnya adalah Angkringan namun menyediakan menu tambahan nasi pecel. “Bu, pecelnya ada ?” Tanya saya “Ada, mas” jawab ibu-ibu penjaga angkringan. “Saya pesan dua porsi tidak pakai nasi,” Ibu itu segera meracik pecel pesanan saya. Di saat ibu itu sedang menyiapkan pesanan saya, seorang lelaki berjaket parasite hitam muncul dari salah satu sudut angkringan. “Saya pesan teh nasgitel satu,” “Ga usah manis-manis ya, ati-ati ke

Agar selalu produktif menulis

Tambahkan teks Menulis, satu kata yang bagi sebagian orang menjadi hal yang menakutkan, namun sebagian lagi menganggap ini adalah sesuatu yang mengasyikan. Memang, bagi mereka yang sudah biasa menulis menjadi sesuatu yang bahkan menjadi kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Persoalanya, mungkin ada di bagaimana agar selalu bisa mendapatkan ide agar bisa produktif menulis? Hal inilah momok utama ketika seseorang mulai menulis. Untuk bisa menghasilkan tulisan tentu saja hal yang tidak bisa tidak, harus dilakukan adalah membaca. Membaca apa saja, khususnya berita. Saat ini dengan adanya internet berita terbaru dengan mudah bisa kita dapatkan. Semua hal sebaiknya anda baca meskipun anda tidak tertarik akan hal tersebut. Bisa juga anda secara khusus membaca artikel atau materi yang benar-benar anda minati. Sesuatu, jika benar-benar diminati bakal lebih mudah untuk memahaminya. Setelah banyak membaca,selanjutnya yang kita lakukan tentu saja adalah menulis. Terserah apa yang menjadi

Naik Pesawat Kapan Malamnya?

“Saya herannya ketika berangkat dari Bandara Soekarno Hatta hari sudah gelap. Namun ketika pesawat sudah terbang menuju Arab kok terang lagi. Ini kapan malamnya?” Cerita seorang bapak berusia 40 tahunan memulai perjalanan saya menuju Yogyakarta. Perlahan kereta meninggalkan stasiun Kediri menuju kota pelajar. Hari sudah mulai gelap meskipun waktu jelang Maghrib masih sejam lagi. Memang cuaca tengah kurang bersahabat bagi orang yang sering bepergian dari satu tempat ke tempat lain seperti saya. Awan menggumpal-gumpal dan semakin tebal bahkan titik-titik hujan mulai berjatuhan ketika kereta api kelas Ekonomi Kahuripan menuju stasiun Kertosono. Kereta Api kelas Ekonomi, sarana transportasi yang dulu sering menemani perjalanan saya menuju kampung halaman, Tulungagung, dan balik ke kota tempat mengasah daya nalar saya sebagai orang lebih mengerti, Yogyakarta. Kereta api kelas ekonomi menjadi pilihan utama saat itu bukan hanya tiadanya kelas bisnis yang melewati tempat saya tinggal

Catatan Perjalanan dari Rangkasbitung

Terik Sang Surya rasanya kian menyengat, saat kami keluar dari stasiun Rangkasbitung. Tak mau berlama-lama saya dan seorang rekan dari Tulungagung terus melangkah menyusuri jalan pinggir rel ke arah jalan raya. Dari pengamatan saya nampaknya area di dekat stasiun merupakan pusat perekonomian di kota kecil ini. Saya bisa menjumpai pasar, ruko, pertokoan dan sebuah pusat perbelanjaan. Di sebuah minimarket kami mampir membeli minuman dingin, teh dalam kemasan botol. Segar benar rasanya ketika minuman dingin itu melewati kerongkongan. Waktu terus bergeser mendekati tengah hari mengingat ini bertepatan hari Jumat kami memutuskan mencari Masjid dulu menunaikan sholat Jumat. Kami berjalan menjauh dari stasiun dan memasuki wilayah perkampungan. Akhirnya kami mendapatkan masjid untuk sholat sambil memulihkan tenaga sebelum berjalan menyusuri kota ini. Selepas memulihkan tenaga, kamipun kembali menelusuri kota ini. Kami berjalanan menyusuri pinggir jalan sepanjang kota lengang ini. Di

Atap Asbes dan Bola Plastik

Sepak bola, permainan yang sudah saya kenal sejak berusia 5 tahun. Saya masih ingat waktu itu memang tengah ramai-ramainya orang membicarakan olahraga ini. Tahun 1986 perhatian masyarakat dunia tengah tertuju pada Meksiko tempat dilangsungkannya piala dunia. Waktu itu saya belum mengerti betul apa itu sepak bola. Saya hanya tahu dari poster-poster yang saya lihat di sebuah toko yang sering saya lewati tiap kali sholat Jumat ke masjid Agung di tengah kota. Poster seorang pemain berambut agak kriwil yang suatu saat saya ketahui sebagai Maradona. Entah kenapa saya ikut-ikutan ngefans dengan pemain yang di tahun itu pula bakal dikenal dengan gol tangan Tuhannya. Bahkan saking ngefansnya saya sempat juga diakali oleh orang tua. Waktu itu saya tidak suka makan sayuran khususnya bayam. Entah dapat ide darimana orang tua saya bilang ” Makanya banyak makan bayam biar bisa jadi seperti Maradona!”. Yah tapi saya tetaplah saya. Hingga saat ini saya tak begitu suka makan bayam mungkin

Gloomy Sunday, Cinta, Kepedihan dan “Akhir Hidup”

"Sunday is gloomy, my hours are slumberless; Dearest, the shadows I live with are numberless; Little white flowers will never awaken you, Not where the black coach of sorrow has taken you; Angels have no thought of ever returning you; Would they be angry if I thought of joining you? Gloomy Sunday. Lirik di atas adalah penggalan dari tembang lawas Gloomy Sunday yang pernah dipopulerkan oleh penyanyi jazz Amerika, Billie Holiday. Lagu ini ,mungkin hanya segelintir diantara kita pernah mendengarnya, dinyanyikan salah seorang peserta ajang pencarian bakat X-Factor Indonesia, Yudi asal Cilacap. Penampilan Yudi kontan mengundang decak kagum para juri yang sempat “meremehkan” dengan berbagai pertanyaan konyol. Penampilan pria Cilacap yang terkesan “culun” dan tak meyakinkan ini rupanya berbanding terbalik 180 derajat dengan pengetahuan musiknya. Terbukti tak hanya bisa menyanyikan lagu Gloomy Sunday ia juga tahu sekilas asal muasal tembang tersebut tercipta. Melihat penampi

Prof Hardjoso Projopangarso Membagi Ilmu Hingga Senja

Prof. Ir. Hardjoso Prodjopangarso Di usia 84 tahun masih mengajar program S-2 dan melakukan penelitian tentang teknik sipil hidro tradisional. Pensiun dini di usia 56 tahun agar bisa melanglang ke sejumlah daerah untuk memecahkan masalah pengairan. Menciptakan Tripikon, Pinastik A, Nyi Bunga Sihir, dan Nalareksa Bak Jantung. Tak haus tropi dan penghargaan. Resep bugarnya, mengangkut air di tengah malam. BEBERAPA mahasiswa nampak duduk santai di halaman depan gedung Laboratorium Teknik Tradisional Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Mahasiswa S-2 Program Teknik Sipil Hidro itu tengah menunggu kuliah yang diberikan Profesor Ir Hardjoso Prodjopangarso. Tepat pukul 09.00, sesuai jadual, nampak Pak Dosen dengan perawakan kecil dan terlihat sangat uzur itu berjalan mendekati kerumunan mahasiswa itu. Profesor Hardjoso menyapa mereka dengan ramah. Ia berjalan pelan menuju ruang terbuka di sebelah gedung. Para mahasiswa mengikutinya. Selama 45 menit dosen sangat senior itu memberikan penje