Skip to main content

Atap Asbes dan Bola Plastik




Sepak bola, permainan yang sudah saya kenal sejak berusia 5 tahun. Saya masih ingat waktu itu memang tengah ramai-ramainya orang membicarakan olahraga ini. Tahun 1986 perhatian masyarakat dunia tengah tertuju pada Meksiko tempat dilangsungkannya piala dunia.

Waktu itu saya belum mengerti betul apa itu sepak bola. Saya hanya tahu dari poster-poster yang saya lihat di sebuah toko yang sering saya lewati tiap kali sholat Jumat ke masjid Agung di tengah kota. Poster seorang pemain berambut agak kriwil yang suatu saat saya ketahui sebagai Maradona. Entah kenapa saya ikut-ikutan ngefans dengan pemain yang di tahun itu pula bakal dikenal dengan gol tangan Tuhannya.

Bahkan saking ngefansnya saya sempat juga diakali oleh orang tua. Waktu itu saya tidak suka makan sayuran khususnya bayam. Entah dapat ide darimana orang tua saya bilang ” Makanya banyak makan bayam biar bisa jadi seperti Maradona!”. Yah tapi saya tetaplah saya. Hingga saat ini saya tak begitu suka makan bayam mungkin itupula yang membuat saya tak bisa menjadi Maradona.

Selain Argentina waktu itu saya mulai ngefans dengan tim bajul ijo Persebaya. Apalagi bapak saya sering mendengarkan siaran langsung dari radio transistor. Koran-koran yang saya baca (numpang di tempat tetangga) di tahun 80an akhir mengulas serunya kompetisi sepak bola perserikatan.

Saya lupa kapan persisnya namun sejak tahun itu saya makin suka bermain bola. Waktu itu banyak tanah kosong di sekitar rumah saya. Sehingga kami bisa leluasa bermain si kulit bundar dari plastik. Terkadang setiap sore saya sering ikut rekan-rekan bermain bola di alun-alun kota. ( Sekarang alun-alun itu sudah disulap menjadi taman kota). Selama bertahun-tahun di masa-masa kecil kami masih bisa menikmati bermain di lapangan-lapangan kosong berumput yang perlahan 15 tahun terakhir lenyap tergusur oleh pemukiman warga.

Sekarang 24 tahun setelah saya pertama kali mengenal sepak bola. Saya tinggal di sebuah pemukiman padat di Kalibata. Pemukiman pinggir rel yang jika ditelusuri masuk kedalam di kiri kanan yang dijumpai hanyalah pemukiman warga yang berdempetan. Tanah lapang menjadi sesuatu yang mewah bagi anak-anak untuk bermain bola. Sehingga ketika menemukan lahan kosong yang seukuran lapangan bulutangkis saja sudah menjadi kebahagiaan bagi mereka.
Seperti di samping tempat saya kos. Ada sebuah lapangan bulutangkis milik warga. Lapangan yang sejak saya tinggal setahun lalu tak pernah digunakan bermain bukutangkis. Lapangan yang justru setiap sabtu malam atau tiap libur digunakan anak-anak kampung bermain bola. Mereka seperti orang kehausan yang diberi air. Mereka bermain bola dari sehabis Maghrib sampai jam 10 malam terkadang lebih.

Awalnya saya jengkel melihat mereka bermain tak kenal waktu dan ternyata pemilik kos juga merasakan hal yang sama. Suara bola yang ditendang membentur dinding atau mengenai asbes atap rumah cukup mengusik suasana istirahat. Bahkan saking jengkelnya pemilik kos, sudah jatuh korban beberapa bola yang masuk ke samping rumah melewati pagar. Bola plastik harus berakhir di dalam bak sampah di dapur dengan kondisi terbelah.

Seiring berjalannya waktu saya jadi berfikir. Ah sebenarnya bola-bola yang membentur atau mereka yang tak kenal waktu bukan semata-mata salah mereka. Untunglah dulu ketika masih kecil di kampung masih banyak lahan kosong tempat bermain bola. Lalu mereka? Anak-anak kecil itu jika harus dilarang bagaimana nantinya? Apakah bukanya lebih buruk jika mereka bermain di pinggir rel, tawuran, atau bertindak hal bodoh lain.

Tanah lapang hanya tinggal cerita
Yang nampak mata hanya para pembual saja
Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepak bola menjadi barang yang mahal
Milik mereka yang punya uang saja
Dan sementara kita disini
Di jalan ini
Bola kaki dari plastik
Ditendang mampir ke langit
Pecahlah sudah kaca jendela hati
Sebab terkena bola tentu bukan salah mereka
(mereka ada di jalan, Iwan Fals)
Jakarta 23 Maret 2010

sosbud.kompasiana.com


What A Wonderful World (Luis Amstrong)

Comments