Skip to main content

Mencari jejak Manusia Wajak...

"Homo Wajakensis, manusia purba yang pertama kali ditemukan di Indonesia. Namun sayang aset bangsa itu saat ini tak berbekas. Bahkan bisa dibilang lenyap meskipun dulu sempat menggegerkan dunia."

Usaha menguak misterinya bukannya tak ada namun ada banyak hal yang tak tahu harus dimulai dari mana..berikut berita dari indomedia.com .

*****

Tabir Gelap Lokasi Penemuan Fosil "Homo Wajakensis"

BEKAS lokasi penemuan fosil tengkorak "Homo Wajakensis" di Kabupaten Tulungagung, Jatim, hingga kini masih gelap. Banyak penduduk di desa sekitar Wajak, Kecamatan Boyolangu, tidak tahu tentang sejarah penemuan fosil purbakala itu.
Demikian pula orang-orang yang mendiami kawasan Tulungagung selatan. Padahal seabad lalu, daerah mereka menjadi pusat perhatian dunia dalam pengembangan ilmu paleontologi [ilmu tentang fosil]. Daerah berbatu gamping tersier itu pernah menjadi area perburuan ahli kepurbakalaan untuk mencari "missing link" [mata rantai yang hilang] asal-usul manusia.
Tidak hanya masyarakat awam yang tidak mengenali lokasi bekas penemuan fosil Homo Wajakensis. Para guru sejarah dan pejabat yang membidangi cagar budaya pun tidak bisa menunjukkan tempat salah satu fosil manusia purba itu ditemukan.
Uniknya, dalam manuskrip data Benda Cagar Budaya [BCB] yang disusun kantor Depdikbud Tulungagung ditulis, situs penemuan manusia purba terletak di Dukuh Nglempung, Desa Gamping, Kecamatan Campurdarat, sekitar delapan kilometer selatan Desa Wajak.
"Tempat penemuan fosil Homo Wajakensis memang perlu dibuat monumen," demikian bunyi rekomendasi manuskrip data BCB kantor Depdikbud Tulungagung yang dibuat tahun 1995.
Kenyataan tersebut berbeda dengan nasib area ditemukannya Pithecantropus Erectus [manusia kera berdiri tegak] oleh ahli paleontologi Belanda, Eugene Dubois, di lembah sungai Bengawan Solo dekat Trinil, Oktober 1891.
Di lokasi bekas ditemukannya "Manusia Trinil" yang pernah menjadi perhatian dunia lebih seabad lalu itu hingga kini masih bisa disaksikan buktinya. Seabad silam, Dubois telah menancapkan prasasti di sebelah kanan Bengawan Solo bertuliskan "P.e.—175 M.ONO—1891/93" yang menandakan arah geografis dan jarak prasasti dari titik ditemukannya Phitecanthropus.
Selain itu, dia juga meninggalkan foto-foto suasana Bengawan Solo, peta asli dan situs-situs ekskavasi fosil penemuannya tahun 1891-1893.
Dan pada November 1991, seabad peringatan penemuan Phitecantropus, telah diresmikan Museum Trinil atas bantuan lembaga Dubois oleh Gubernur Jatim saat itu, Soelarso.
Banyaknya bukti otentik mengenai tempat-tempat penggalian fosil di lembah Sungai Bengawan Solo yang ditinggalkan Dubois tampaknya merupakan kunci untuk merunut kembali lokasi penemuan "manusia purba dari Jawa" sebagai aset wisata budaya.

Perlu data baru
Hasrat untuk menyisir kembali tempat penemuan fosil tengkorak Homo Wajakensis bukannya tidak ada. Pemda Kabupaten Tulungagung melalui Dinas Pariwisata yang dibentuk April 1998 sudah mulai berpikir menjadikan tempat tersebut aset wisata budaya.
Akan tetapi keterbatasan tenaga ahli sejarah, dana, dan tidak adanya bukti dan buku pendukung menyebabkan rencana tersebut tinggal angan-angan belaka.
Mengapa Dubois tidak meninggalkan bukti-bukti otentik berupa peta, foto, ataupun prasasti tempat ditemukannya Homo Wajakensis seperti yang dia lakukan untuk hal yang sama saat penemuan Pithecanthropus?
Apakah daerah Wajak yang memberinya temuan fosil Homo Wajakensis tidak begitu penting bagi kontribusi risetnya, sehingga Dubois lupa mencatat dalam buku hariannya?
"Kami memang kesulitan untuk mendapatkan bukti-buktinya, sehingga tempat itu belum masuk dalam peta wisata Tulungagung," ujar Kepala TU Dinas Pariwisata Tulungagung Wahyuadji Gunawan.
Dia mengaku, rencana menguak kembali tempat ditemukan Homo Wajakensis baru muncul pada Oktober 1998 setelah Dinas pariwisata setempat menerima berita rencana kedatangan turis Belanda yang disampaikan seorang pemandu wisata dari sebuah agen perjalanan wisata.
Orang Belanda tersebut, lanjut dia, mengaku keturunan Dubois dan ingin napak tilas ke tempat-tempat tersebut.

Jejak Dubois
Fakta bahwa di sekitar Desa Wajak memang pernah ditemukan Homo Wajakensis sebenarnya bisa dilacak dari buku-buku mengenai perjalanan riset arkelogi dan antropologi Dubois.
Daerah Wajak sendiri kini merupakan sebuah desa di Kecamatan Boyolangu. Padahal pada prasasti peninggalan Belanda di lereng bukit Nglempung, Desa Gamping, Kecamatan Campurdarat, yang berangka tahun 1850 tertulis bahwa kawasan tersebut masih disebut Wajak.
Dalam buku Pithecanthropus karya Richard E Leakey dan Jan kkerveer, ditulis, di sekitar Desa Wajak ditemukan fosil tengkorak manusia oleh seorang insinyur tambang batu gamping berkebangsaan Belanda, BD van Rietschoten, 24 Oktober 1888.
Fosil tengkorak yang dianggap ganjil itu kemudian diserahkan kepada CP Sluiter, kurator dari Koninklijke Natuurkundige Vereeniging [Perkumpulan Ahli Ilmu Alam] di Batavia saat itu.
Hampir bersaman dengan waktu itu, Dubois mendarat di Jawa untuk melanjutkan riset arkeologinya yang tidak memuaskan di Sumatra. Sluiter menyerahkan fosil tengkorak Wajak kepada Dubois.
Bagi Dubois, fosil temuan Rietschoten membuka harapan baru untuk menemukan "missing link" asal-usul manusia. Ini sesuai teori ahli geologi Verbeek yang sepakat bahwa pegunungan batu gamping tersier di Jawa sangat menjanjikan bagi riset Dubois.
Dubois akhirnya tinggal di Tulungagung, yang saat itu masih merupakan kota kecil bagian Kediri, selama lima tahun. Dia menyusur kembali tempat Rietschoten menemukan fosil tengkorak manusia, yakni di cekungan bebatuan sekitar Wajak.
Di sekitar tempat itu ia selain mendapatkan sisa fosil reptil dan mamalia, juga menemukan fosil tengkorak manusia meski tidak seutuh temuan Rietschoten. Fosil temuannya sendiri dia sebut Homo Wajakensis sebagai salah satu ras manusia "recent".
Sesudah penemuan perdana fosil tengkorak manusia tersebut, Dubois makin berambisi melanjutkan ekspedisinya. Dia berpindah ke berbagai tempat di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Akhirnya dia memusatkan situs risetnya di lembah Bengawan Solo dekat Trinil yang memberikan begitu banyak temuan fosil. Di tempat baru itulah Dubois menemukan fosil Pithecanthropus Erectus yang menggemparkan dunia dan mengantarkan dirinya sebagai ahli paleoantropologi terkemuka.
Yang menarik, buku tersebut menjelaskan selama di Tulungagung Dubois sering ke perkebunan milik orang Skotlandia bernama Boyd di kaki gunung Wilis, yang sekarang merupakan perkebunan kopi Penampian Kecamatan Sendang.
Satu-satunya bukti bisu yang ada dalam buku tersebut adalah foto fosil-fosil yang dibiarkan berserakan di sebuah balai-balai rumah adat Jawa yang ditempati Dubois selama di Tulungagung.
Sekarang, ke mana harus bertanya untuk melacak situs penemuan Homo Wajakensis atau tempat-tempat yang pernah digunakan Dubois selama riset arkeologi dan paleoantropolgi di Tulungagung?
Lima puluh delapan tahun silam Dubois meninggalkan Indonesia. Kuburannya yang terletak di perkebunan De Bedelaer miliknya di kota Venlo hanya bisa diam membisu. Hanya batu nisannya yang bertahtakan fosil tempurung kepala dan dua tulang paha yang disilangkan dari Phithecanthropus yang berbicara bahwa dia adalah penemu fosil manusia purba dari Jawa tersebut.
Bapak paleoantropologi dan satu dari delapan kolektor terbesar di jagat itu kini cuma bisa berbicara kepada dunia lewat warisan monumentalnya berupa lebih 40 ribu macam benda yang tersimpan di Museum Nasional Sejarah Alam di Leiden Belanda.
Kini tinggal, apakah ada niat dan usaha untuk mewarisi dan menjaga peninggalannya, termasuk situs-situs ekskavasi fosilnya di Indonesia, seperti di Trinil dan Wajak. muhammad rifai/anspek.
****
Mencari jejak Manusia Wajak...

Comments

Anonymous said…
Hhhh...hanya satu kata yg bisa ku sampaikan buat kamu fren...salut..
Memang hidup manusia adalah sebuah petualangan, kita tau kalau petualangan gak pernah tau apa yang akan dihadapi didepannya...semua tak pernah terbayangkan...tak pernah terlihat...hanya sebuah rencana dari sebuah perkiraan...
Selamat berpetualang Fath...Semoga kita semua dapat menjadi petualang yang baik dan arif...seperti namamu...by me
Anonymous said…
mengapa situs Homo wajakensis tidak ketemu? jawabannya sangat jelas mas, karena H.wajakensis merupakan fosil "perusak pohon evolusi/asal-usul manusia" yang susah payah dicari-cari/dibuat?? oleh Dubois & evolusionis lainnya. Logikanya begini, Dubois nemu Pithecantropus erectus (Pe) atau disbt jg Homo erectus, artinya manusia yg berjalan tegak. Pe ini diyakini merupakan missink link antara kera purba dan manusia modern (Homo sapiens). Lha pada saat yg sama dia menemukan H. wajakensis yg notabene bentuknya merupakan manusia modern (orang wajak jaman dulu gitu lho.... nah bagaimana ungkin nenek moyang dan keturunanya hidup dalam satu wilayah dan waktu yang sama??? tanya kenapa??? jadi wajakensis ini memang tidak diekspos, karena akan erusak skenario para evolusionis. Terbukti kan sampeyan nemuin situs penggalian & dokumen2 pendukungnya susah? tambah lagi, coba deh cari di buku2 pelajaran, kebanyakan Pe di ekspos dibuku2 IPA tapi wajakensis ngga, cuma ada di buku2 sejarah. Tanya kenapa???
Fathoni Arief said…
Terima kasih mas atas commentnya. masuk akal itu mas dan logis. Saya memang butuh argumen-argumen seperti itu. Siapa tahu saya bisa bikin film tenatng misteri si Homo Wajakensis. Saya terus terang bukan ahlinya dan makasih atas masukan-masukan tambahan pengetahuan.
arul said…
hhmn...salam salut untuk sang petualang, manusia wajak harusnya menjadi sejarah dunia, dan sebagai studi banding apakah manusia afrika atau manusia wajak yang pertama di dunia, tapi karna sejarah pun disisipi politik jadi hangus semua, namun masih banyak harapan, penemuan terbaru pada tahun 2002 yang dipadalarang pun publikasinya kurang...padahal umurnya merupakah rentetan sejarah manusia dari semenjak Wajak,mojokerto,nganjuk dan bengawan solo, manusia padalarang isi kepala(besaran otak)nya sudah sama dengan manusia sekarang lho sekitar 1500 s/d 2000 cc...
Anonymous said…
Salam kenal Mas, sekedar masukan dari saya:
Saya heran juga dengan Tuan Dubois ini, sebab hanya dengan menemukan 1 bh tulang femur, 1 bh tulang tempurung, 1 geraham gigi. Koq bisa-bisanya dia buat rekonstruksi seperti yg bisa kita saksikan patungnya di museum2? Padahal masing-masing tulang ditemukan pada jarang yg berjauhan dan pada tahun yg berbeda pula.
Sedangkan H wojokensis, itu sebuah kesalahan si Tuan Dubois. Seharusnya dia tidak menemukan Hw itu, sebab akan jadi blunder buat dirinya sendiri. Karena sesuai tahapan evolusi, tidak boleh ditemukan manusia Hw itu. Tetapi kalau Dubois benar menemukan, artinya cerita Pe itu sebetulnya adalah sebuah kebohongan. Dan saat ini penemuan Pe oleh Dubois pun saat ini tidak lagi dianggap sesuatu yg penting.

Salam,
http://harjo.wordpress.com
Anonymous said…
Saya orang Jepan dan mau tau lokasi rumah yg keluarga Dubois pernah tinggal di Tulungagung, kalua masih ada.
Fathoni Arief said…
Salam. Oh Anda dari Jepang ya. Kalau rumahnya persis saya belum tahu pak. Tapi kalau lokasi saya tahu. Jika Anda berkunjung ke Tulungagung bisa kontak ke no saya. 081567611860 siapa tahu saya bisa membantu salam.