Manisnya Hidup Memang Tak Semanis Segelas Teh nasgitel
Salah satu makanan favorit orang saya adalah nasi Pecel. Setiap saya pulang ke Tulungagung makanan ini selalu menjadi menu wajib yang tak boleh terlewatkan karena di Jogja atau Boyolali susah sekali mencari warung nasi pecel yang memiliki “rasa” seperti pecel yang dijual di daerah Jawa Timur. Di Karanggede, Boyolali ada satu warung yang menurut saya memiliki “rasa” nasi pecel yang sama dengan daerah aslinya.
Petang itu,
selepas Maghrib, saya mencari makanan favorit saya di sebuah warung di
perempatan patung kuda pusat kecamatan Karanggede. Warung ini sebenarnya adalah
Angkringan namun menyediakan menu tambahan nasi pecel.
“Bu,
pecelnya ada ?” Tanya saya
“Ada, mas”
jawab ibu-ibu penjaga angkringan.
“Saya pesan
dua porsi tidak pakai nasi,”
Ibu itu
segera meracik pecel pesanan saya. Di saat ibu itu sedang menyiapkan pesanan
saya, seorang lelaki berjaket parasite hitam muncul dari salah satu sudut
angkringan.
“Saya pesan
teh nasgitel satu,”
“Ga usah
manis-manis ya, ati-ati kena gula,” kata ibu penjual angringan
“Ah, manis
ya gapapa. Masa kenyataan hidup sehari-hari sudah pahit kok minumnya juga
pahit,” sahut lelaki itu dengan suara parau
Si ibu
menyeduh the pesanan lelaku itu dan setelah gelas the panas diterima lelaki itu
keluar duduk di bangku dekat warung tempat tukang ojek biasa mangkal.
Mendengar
jawaban lelaki tentang kehidupan yang “pahit” saya kembali disadarkan tak semua
orang menikmati “manis” nya perkembangan pesat Karanggede. Daerah tempat saya
tinggal ini memang mengalami banyak perubahan dalam sepuluh tahun terakhir.
Saya masih ingat ketika awal tinggal di sini.
Pertama
kali dating, mencari rumah sewa atau kontrakan susah. Sebenarnya ada namun ya
kondisinya seadanya. Saya dulu sempat mengalami menyewa rumah yang belum 100
persen jadi. Rumah itu dindingnya baru diplester belum semuanya diaci, begitu
juga dengan lantainya hanya dipelur saja tanpa keramik. Tinggal di rumah itu karena atas belum
diplafon ya setiap hujan deras seperti ada titik-titik air yang masuk. Ya
memang rumah “seadanya” maklum waktu itu harga sewanya baru dua setengah juta
per tahun.
Bandingkan
dengan sekarang, ada begitu banyak kos, kontrakan namun jangan harap harga
miring seperti rumah sewa pertama saya. Seiring dengan perkembangan wilayah ini
hal yang turut meroket adalah harga sewa rumah dan tempat usaha.
“Sudah
mas,”
Rupanya
pesanan saya sudah siap. Setelah mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribu
sayapun kembali ke rumah dengan membawa menu favorit saya.
Post a Comment for "Manisnya Hidup Memang Tak Semanis Segelas Teh nasgitel"
Ingin Memberi komentar