Catatan Perjalanan dari Rangkasbitung
Terik Sang Surya rasanya kian menyengat, saat kami keluar dari stasiun Rangkasbitung. Tak mau berlama-lama saya dan seorang rekan dari Tulungagung terus melangkah menyusuri jalan pinggir rel ke arah jalan raya. Dari pengamatan saya nampaknya area di dekat stasiun merupakan pusat perekonomian di kota kecil ini. Saya bisa menjumpai pasar, ruko, pertokoan dan sebuah pusat perbelanjaan.
Di sebuah minimarket kami mampir membeli minuman dingin, teh dalam kemasan botol. Segar benar rasanya ketika minuman dingin itu melewati kerongkongan.
Waktu terus bergeser mendekati tengah hari mengingat ini bertepatan hari Jumat kami memutuskan mencari Masjid dulu menunaikan sholat Jumat. Kami berjalan menjauh dari stasiun dan memasuki wilayah perkampungan. Akhirnya kami mendapatkan masjid untuk sholat sambil memulihkan tenaga sebelum berjalan menyusuri kota ini.
Selepas memulihkan tenaga, kamipun kembali menelusuri kota ini. Kami berjalanan menyusuri pinggir jalan sepanjang kota lengang ini. Di jalanan nampak lebih banyak didominasi angkot berwarna merah dibanding kendaraan pribadi. Tujuan kami adalah alun-alun Multatuli Rangkasbitung.
Sebagai kota yang pernah termasuk penting semenjak jaman peninggalan kolonial seharusnya banyak menyisakan bangunan-bangunan kuno. Namun sepanjang jalan dari stasiun hingga mendekekati alun-alun hanya 1,2 saja yang saya temukan. Dari cerita sejarah kabupaten Lebak saya pernah mendapatkan informasi Rangkasbitung sudah sejak 1851 menjadi pusat kota Lebak. Pemerintah kolonial melalui Surat Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, nomor 15 tanggal 17 Januari 1849, menetapkan memindah ibukota Kabupaten Lebak yang sebelumnya berada di Warunggunung ke Rangkasbitung.
Mungkin karena hari ini bertepatan dengan hari libur nasional sehingga tak banyak masyarakat yang bepergian. Berkali-kali angkot berwarna merah berhenti membunyikan klakson menawari kami. Namun kami memilih berjalan kaki menuju alun-alun yang lokasinya tak terlalu jauh. Sekira satu kilometer dari stasiun kami sempat melewati jalan Multatuli. Nama jalan yang mengingatkan saya akan cerita Edward Douwes Dekker. Asisten Residen Lebak yang terkenal dengan karya Max Haveelarnya sebagai bentuk keprihatinan terhadap kebijakan tanam paksa di Rangkasbitung.
Sekira 150 tahun lalu Edward Douwes Dekker menjabat asisten residen Lebak, Banten. Sebagai asisiten ia berkantor Gedung Negara di Rangkasbitung. Hingga kini gedung tersebut masih berdiri meskipun sudah dipugar. Gedung Negara tersebut kini diisi dengan berbagai koleksi foto masa lampau. Foto yang diambil di zaman penjajahan. Diantara foto tersebut terdapat foto kediaman Douwes Dekker di Rangkasbitung dan potret istrinya, Everdine van Wynbergen.
Saya masih saja terheran-heran. Saat ini waktu baru menunjukan pukul satu siang. Namun kenapa jalanan begitu lengang. Khususnya jalan menuju alun-alun hanya sesekali saya melihat kendaraan lewat. Bahkan lebih sering melihat angkot daripada kendaraan pribadi. Apakah hanya hari ini seperti ini. Atau sehari-hari beginilah kondisi kota ini? Jauh berbeda dengan jalanan kota Jakarta yang nyaris tak pernah sepi.
Sampai di alun-alun keadaan juga lengang. Sambil melepas lelah kami berteduh di bangunrbuka yang terletak di pinggir alun-alun tepat berhadapan dengan masjid. Alun-alun Rangkasbitung benar-benar sepi. Hanya lapangan rumput kosong yang menyimpan banyak peristiwa bersejarah diantaranya ketika Presiden Soekarno di tahun 1957 pernah memimpin rapat raksasa persatuan di hadapan ribuan massa.
Menghabiskan waktu dengan mengobrol membuat satu jam menjadi terasa. Cukup lama juga kami berada di alun-alun Rangkasbitung. Selepas mengambil foto masjid kami kembali menuju stasiun. Mengejar jadwal kereta yang lebih paling awal kembali menuju Jakarta.
Tiba di stasiun rekan saya langsung antri di loket yang baru saja dibuka. Sesuai jadwal keberangkatan menuju Jakarta menggunakan kereta Patas. Dari informasi petugas loket kereta perjalanan menuju Jakarta menggunakan kereta Patas butuh waktu dua setengah jam. Nampak antrian panjang dari banyak calon penumpang.
Tiketpun kami dapatkan. Kereta Patas tujuan Tanah Abang Jakarta seharga empat ribu rupiah. Yang masih menjadi pertanyaan seperti apakah wujud kereta Patas? Sebab mendengar kata Patas yang teringat oleh saya adalah bis cepat antar kota yang biasanya ber AC dan pedagang asongan tak leluasa keluar masuk. Kamipun menunggu kereta ini.
Jelang pukul empat keretapun tiba. Bayangan saya akan kereta ini salah kaprah. Ternyata tak jauh beda dengan kereta yang saya naiki ketika menuju kota ini. Kereta berhenti, ratusan penumpang langsung berebut masuk. Gerbong depan ternyata sudah penuh. Bukan penuh oleh manusia tetapi oleh tumpukan karung warna putih. Ketika ada yang berusaha naik penumpang yang duduk di pinggir melarangnya dan menyuruh naik di gerbong belakang.
Melihat gerbong yang penuh saya sempat berfikir menunggu kereta berikutnya. Namun dari seorang pedagang asongan kami mendapatkan informasi ini kereta terakhir menuju Jakarta. Kamipun bergegas lari ke gerbong agak belakang untung saja bisa naik meski saya harus berdiri. Namun kondisinya cukup lumayan karena tidak berdesak-desakan. Tak perlu menunggu lama kereta inipun berangkat. Kami kembali menuju Jakarta. Tak sampai setengah hari kami keluar dari sebuah kota megapolitan menuju kota pelosok. Ada banyak hal yang saya pelajari. Meskipun naik kereta api ekonomi dan harus berdiri semuanya bisa dinikmati. Seperti kata-kata seorang penjual minuman “Semua tergantung perasaan. Kalau perasaan manis ya manis,”. Kata-kata yang membuat saya tersenyum dan menikmati perjalanan pulang dengan kereta Patas ini.
Catatan Perjalanan Jakarta-Rangkasbitung PP di tahun 2008
Jakarta, 2 April 2010
Fathoni Arief
(Karena rumah yang selalu membuatku tegak adalah perjalanan dengan segala kisah dan serba-serbinya)
What A Wonderful World (Luis Amstrong)
3 comments for "Catatan Perjalanan dari Rangkasbitung "
Ingin Memberi komentar