Rumus Kebahagiaan Ternyata Sesederhana Itu
Langit Salatiga makin menghitam. Rintik-rintik hujan mulai membasahi Kota di lereng Merbabu ini. Tak mau terguyur air hujan saya dan istri mencari tempat berteduh. Karena kebetulan pas jam makan siang, kami singgah di tempat makan dekat Pusat Perbelanjaan Ramayana.
Sambil menanti menu tersaji pandangan saya tertuju keluar, hujan makin deras saja. Saya kembali teringat materi Khutbah Jum'at hari ini, tentang hikmah. Isi ceramah ini saya akui mengena dengan diri saya khususnya. Ada begitu banyak peristiwa, kejadian yang seharusnya menjadi pelajaran khususnya bagi diri sendiri dan keluarga saya.
Ada satu peristiwa menarik yang bisa jadi alasan bagi saya untuk selalu bersyukur. Beberapa waktu lalu sekira selepas Isya, rintik-rintik hujan masih jatuh di sekitaran Karanggede, tempat kami tinggal, namun karena di rumah tak ada sesuatu yang bisa disantap kami memutuskan keluar ke kaki lima tak jauh dari tempat kami. Ketika saya baru saja menyalakan motor di seberang jalan lewat seorang lelaki usianya saya perkirakan 30an. Lelaki itu membawa pikulan berisi krupuk. Sekilas saya amati barang dagangan lelaki tersebut masih utuh. Lelaki itu terus berjalan menyusuri jalanan Kecamatan di Boyolali bagian Utara tersebut lalu menghilang.
Melihat lelaki tersebut saya sempat ngobrol dengan istri saya. "Lihat lelaki itu. Kita hujan-hujan begini masih memiliki rejeki yang cukup, bisa membeli sebungkus makanan hangat lalu bisa tidur dengan nyenyak. Coba bandingkan dengan lelaki itu, masih harus membanting tulang mencari receh demi receh,"
Istri saya mengiyakan, kami bernostalgia kembali ke masa lalu, mengingat masa-masa awal pernikahan saat masih berjuang.
"Maaf pak pesanannya sudah lengkap!" rupanya makanan pesanan kami sudah siap, steak yang tersaji di atas hot plate sudah tersaji. Sambil menikmati sajian yang masih panas ini kembali fikiran saya masih tertuju pada satu kata "syukur". Benar, tak ada alasan untuk tidak bersyukur. Kami hujan-hujan begini masih bisa berteduh, bersantai sambil menikmati sajian nikmat sementara di luar sana masih banyak pedagang, tukang becak, pengamen, sales, tukang dan masih banyak lagi yang jangankan menikmati steak berteduh saja mereka tak sempat demi memburu receh demi receh. Rumus kebahagiaan ternyata hanya senantiasa bersyukur, bersyukur dan bersyukur.
Berbagi takkan pernah membuatmu merugi
Sambil menanti menu tersaji pandangan saya tertuju keluar, hujan makin deras saja. Saya kembali teringat materi Khutbah Jum'at hari ini, tentang hikmah. Isi ceramah ini saya akui mengena dengan diri saya khususnya. Ada begitu banyak peristiwa, kejadian yang seharusnya menjadi pelajaran khususnya bagi diri sendiri dan keluarga saya.
Ada satu peristiwa menarik yang bisa jadi alasan bagi saya untuk selalu bersyukur. Beberapa waktu lalu sekira selepas Isya, rintik-rintik hujan masih jatuh di sekitaran Karanggede, tempat kami tinggal, namun karena di rumah tak ada sesuatu yang bisa disantap kami memutuskan keluar ke kaki lima tak jauh dari tempat kami. Ketika saya baru saja menyalakan motor di seberang jalan lewat seorang lelaki usianya saya perkirakan 30an. Lelaki itu membawa pikulan berisi krupuk. Sekilas saya amati barang dagangan lelaki tersebut masih utuh. Lelaki itu terus berjalan menyusuri jalanan Kecamatan di Boyolali bagian Utara tersebut lalu menghilang.
Melihat lelaki tersebut saya sempat ngobrol dengan istri saya. "Lihat lelaki itu. Kita hujan-hujan begini masih memiliki rejeki yang cukup, bisa membeli sebungkus makanan hangat lalu bisa tidur dengan nyenyak. Coba bandingkan dengan lelaki itu, masih harus membanting tulang mencari receh demi receh,"
Istri saya mengiyakan, kami bernostalgia kembali ke masa lalu, mengingat masa-masa awal pernikahan saat masih berjuang.
"Maaf pak pesanannya sudah lengkap!" rupanya makanan pesanan kami sudah siap, steak yang tersaji di atas hot plate sudah tersaji. Sambil menikmati sajian yang masih panas ini kembali fikiran saya masih tertuju pada satu kata "syukur". Benar, tak ada alasan untuk tidak bersyukur. Kami hujan-hujan begini masih bisa berteduh, bersantai sambil menikmati sajian nikmat sementara di luar sana masih banyak pedagang, tukang becak, pengamen, sales, tukang dan masih banyak lagi yang jangankan menikmati steak berteduh saja mereka tak sempat demi memburu receh demi receh. Rumus kebahagiaan ternyata hanya senantiasa bersyukur, bersyukur dan bersyukur.
"Fabiayyi ‘ala irobbikuma tukadziban"
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”Karanggede, Februari 2015
Berbagi takkan pernah membuatmu merugi
Post a Comment for "Rumus Kebahagiaan Ternyata Sesederhana Itu"
Ingin Memberi komentar