Skip to main content

Mengenang Pak Baedhowi Dari Guru Kecil Hingga Guru Besar (Bag.1)

Dampak Pandemi Covid benar-benar luar biasa. Pandemi ini merenggut begitu banyak jiwa  menyisakan duka mendalam. Siang ini seperti biasa saya bersantai sambil membuka story di akun IG saya. Ada satu berita duka di akun resmi Universitas Sebelas Maret. Hal yang cukup mengagetkan rupanya yang telah berpulang adalah Prof Baedhowi, orang asli Boyolali yang pernah menjadi narasumber saat saya masih menjalani profesi sebagai seorang wartawan.

Sosok yang sangat menginspirasi menurut saya. Karena itulah saya mencoba membuka file di laptop mencari tulisan tentang beliau dan ada baiknya saya bagi sebagai inspirasi bagi semua orang. 

Karena cukup panjang tulisan ini nanti akan saya psoting secara berseri dalam beberapa bagian.

Membangun Usaha Keluarga Menghilangkan Fikiran Ngeres

Satu waktu menjelang pindah tugas dari Bangkok ke Jakarta Baedhowi merenung. Penyebabnya tak lain adalah bagaimana kelangsungan stabilitas perekonomiannya selepas kembali ke tanah air. Mendapat kesempatan menjadi pegawai di pusat, di satu sisi merupakan peluang baginya, namun di sisi lain balik ke Indonesia artinya ia menjadi pegawai golongan III a dengan gaji perbulan Rp.37.000,-.Gaji tersebut artinya hanya seperlima dari yang ia dapatkan selama di Bangkok.

Selama tahun 1977 hingga 1978 ketika menjadi guru sekolah Indonesia di negeri Gajah putih rata-rata sebulan ia bisa mendapatkan penghasilan ratusan ribu rupiah tepatnya mendekati Rp. 150.000,-. Nilai yang pada saat itu terbilang tinggi. Memang selama di sana Baedhowi tak hanya sekedar menerima penghasilan dari gaji bulanan, namun juga komisi. Komisi itu berasal dari membantu apa saja selama di sana. Waktu itu ia juga bertugas sebagai protokol. Tugasnya antara lain mengantar pejabat yang sedang berkunjung kesana. Karena pengalaman itu pulalah hingga sekarang jika berkunjung ke daerah Baedhowi juga tak bisa lepas dari dari protokol. Ternyata menurut Baedhowi hasilnya lumayan juga. “ Meskipun ia dapat sedikit demi sedikit namun karena berupa dolar akhirnya terkumpul banyak,” ujarnya.

Baedhowi terus merenung dengan besaran gaji tersebut bagaimana ia bisa hidup di Jakarta. Dengan gaji sebagai golongan III a artinya memiliki penghasilan yang jauh dibandingkan dengan yang didapatkan selama di Bangkok. Ketakutan yang ternyata juga dialami rekan-rekan Baedhowi hingga ada yang sampai 10 hingga 20 tahun tidak balik ke Indonesia alasannya takut tak bisa bertahan hidup. “Saya hitung secara matematik dengan gaji 37 ribu untuk transportasi dan macam-macam apalagi nanti untuk mengurusi istri kan tidak cukup.”

Baedhowi mencoba mencari jalan keluar dan solusi dari segala kebimbangannya. Dalam kebimbangannya ia meminta petunjuk sang Khaliq. Ia khusus berdoa dan menjalankan sholat Tahajud di sepertiga malam. Ternyata ia mendapatkan sebuah jawaban atas kegelisahannya selama ini. Baedhowi pun mulai tersadarkan. Ia terbayang ada seorang pegawai negeri dengan golongan I memiliki anak tiga saja ternyata mereka masih bisa tertawa. Ia tersentak merasa diingatkan oleh Allah dan menyadari bahwa kehidupan manusia tak bisa dihitung dengan cara Matematika seperti itu. Iapun merasa malu karena dirinya yang sudah sarjana kenapa harus takut pulang ke Indonesia. Padahal di Jakarta ternyata ada pegawai golongan 1 punya tiga anak masih bisa hidup.

Dengan penuh keyakinan Baedhowi akhirnya mantap kembali ke Indonesia. Ia membuang jauh-jauh segala ketakutannya ketika mencoba menghitung-hitung. Karena menghitung dengan cara apapun tidak pernah cukup. Ia meyakini adanya kebesaran Tuhanlah itu yang membuat semuanya cukup. Baedhowi memulai dengan membangun satu keyakinan jika mau berusaha pasti ada jalan keluar. Ia teringat sebenarnya di Bangkok gajinya sebenarnya juga tak sebesar itu namun kenyataanya masih bisa bertahan dan hidup bahkan mendapat tambahan penghasilan. Ia yakin dirinya yang sarjana dan bakal memiliki istri saya sarjana bisa bertahan hidup.

Iapun mencari usaha yang bakal menjadi penopang. Dengan keyakinan Baedhowi kembali ke tanah air. Gemblengan bertahun-tahun jauh sebelum ketika masih remaja membuatnya kembali berfikir untuk memiliki usaha untuk menopang kehidupan keluarganya. 


Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments