Skip to main content

Merjan-Merjan Air Mata

Sebuah mobil van, warna silver, melaju kencang dari arah Utara, sebuah ruas jalan pinggiran ibukota. Di depan halte, seratus meter di samping kiri, dekat hotel tiba-tiba saja van berhenti. “citttssss,” suara rem mobil, membuat beberapa pengendara motor yang berada di sampingnya terkaget-kaget dan spontan saja dari mulut mereka terucap.”Anjritt, oi hati-hati dong.”

Dari mobil keluar seorang wanita, berkulit kuning langsat, berparas cantik, berambut sebahu dengan rok mini dan tanktop warna merah muda. Sambil terisak, ia keluar,dengan tas kecil warna coklat di tangannya, lalu menyusuri jalan di dekat hotel itu. Ia terus berjalan sementara mobil yang membawanya terus menjauh hingga akhirnya hilang dari pandangan.

“Ojek-ojek,” 

“Ojek-ojek non,” 

Bergantian, beberapa tukang ojek menawarkan jasanya pada wanita itu, namun ia terus melangkah, tanpa menoleh, dan hanya berjalan dengan langkah gontai. Sesekali badanya goyang kekiri dan kanan, bau alkohol tercium dari nafasnya.

Lepas tengah malam, suasana sekitar hotel tersebut mulai sunyi. Di sekitar tempat itu terlihat beberapa pengemudi taksi dan tukang ojek, mereka duduk-duduk, merokok dan menikmati segelas kopi, sambil menanti calon penumpang yang mungkin saja bakal memakai jasa mereka. Ada pula wanita gelandangan dengan dua anak kecil di sampingnya tengah terlelap di halte kosong, beralas bekas kardus air mineral. Mereka mendengkur, meringkuk, sesekali mendesis, nampak senyuman dari wanita gelandangan itu, entah apa yang tengah diimpikanya.

Wanita itu terus saja berjalan, dengan langkah gontai, hingga akhirnya di depan sebuah toko yang sudah tutup. Kini langkahnya seperti tertahan, berhenti sambil terus terisak-isak. Butiran air matapun menetes dari sepasang mata yang indah itu.

Wanita itu terus saja menangis. Ia menepi kejalan ketika dari arah kejauhan melaju taksi berwarna putih. Pelan-pelan taksi itu berhenti, selepas melihat seorang wanita berdiri sendiri melambaikan tangan. Taksi itu tak langsung membuka kaca, nampaknya sang sopir ragu apakah harus menerima penumpang itu atau tidak. Beberapa saat kemudian perlahan kaca mobil terbuka, seorang lelaki muda berkumis tipis, berada di depan kemudi. Wanita itupun langsung naik kedalam mobil.

 “Mau pergi kemana mbak?” dengan sopan sang pengemudi menanyakan alamat tujuan.

“Jalan saja dulu pak,” jawabnya.

Taksi itu melaju perlahan. Dari kaca depan sang sopir taksi melirik penumpangnya. Wanita itu masih terisak, dengan kertas tisu ia menghapus air mata yang terus mengalir dan matanya pun makin sembab.

Meski dipenuhi dengan tanda tanya, sopir taksi terus mengemudikan mobilnya. Namun taksi itu hanya melaju pelan. Berkali-kali ia melirik melihat penumpangnya. Setelah melaju beberapa saat ia kembali bertanya pada penumpangnya. 

“Mau pergi kemana mbak?” tanya sang sopir, kali ini ia memberanikan diri kembali bertanya,

“Kemana saja pak, keliling saja, nanti pasti saya bayar,” jawab wanita itu. Wajahnya masih kusut, matanya memerah, namun kini ia sudah tak lagi terisak.

“Aku lagi bingung pak, tak tahu apa yang harus kulakuan,”

Lelaki itu hanya diam. Ia hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi dengan wanita itu hingga seperti ini. Ia mencoba menghubung-hubungkan dengan berbagai kisah yang pernah ia alami. Ia merunut cerita demi cerita dari para penumpangnya sebelumnya.

“Baiklah. Kalau mbak punya masalah cerita saja! Siapa tahu saya bisa membantu. Atau minimal bisa meredakan kesedihan mbak,” ujar Sopir Taksi.

Taksi terus berjalan, meski kecepatanya kurang dari 70 km/jam. 


Wanita itu sambil mengusap kedua matanya yang masih sembab dan setelah sesaat terdiam iapun mulai lagi bercerita. Sopir taksi melirik wanita tersebut dan mengemudikan mobilnya mengelilingi jalanan ibukota.

***

Namaku Sari, baru satu setengah tahun aku tinggal di Jakarta. Sebelumnya aku bekerja sebagai babby sitter di Hongkong selama dua tahun. Lebih dari 5 tahun aku tak pernah pulang ke kampung halamanku, di Jepara. Entah kenapa aku enggan bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah kukenal meskipun itu Ibu dan Bapakku. “Aku anak durhaka,”.

Hidup jauh dari rumah tanpa ada kesempatan kembali sebenarnya bukanlah keinginanku, tapi semua sudah terlambat. Mungkin waktu itu aku memang terlalu hijau untuk merantau sendiri. Aku baru lulus Madrasah Aliyah di kotaku ketika mbak Yeni tetanggaku yang sudah 3 tahun kerja di Hongkong mengajaku kerja di sana. Siapa yang tak tergoda dengan ajakannya,aku melihat sendiri tetanggaku yang dulu selalu berpakaian dekil menjadi begitu modis dengan perhiasan gaya masa kini.

Sebenarnya aku sudah dengan baik-baik mengutarakan keinginanku ke Hongkong kepada Bapak dan Simbok. Namun apa kata mereka? Mereka bahkan langsung marah besar bahkan sambil berteriak bapak berkata “Jadi kau ingin ikut pelacur itu?” Aku hanya bisa menangis tersedu-sedu waktu itu. Bahkan bapak sudah berencana menjodohkanku dengan mas Daliman, putra pak Kadus, namun aku tetap menolak.

Tapi tekadku sudah begitu bulat apalagi mbak Yeni bilang, aku tak usah mengeluarkan biaya sepeserpun. Semua biaya ditanggung oleh calon majikanku di sana. Di sana semua fasilitas sudah disiapkan dan semua persyaratan bakal dibantu diurus mbak Yeni.

Akhirnya hari itu aku benar-benar kabur naik mobil sewaan mbak Yeni ke Jakarta. Tak lama kita berada di ibukota, hanya sehari semalam, sebelum naik pesawat terbang berjam-jam ke tempat yang begitu asing bagiku. Di sana ternyata sudah ada yang menjemput kami, lelaki gendut berkulit agak gelap mirip dengan yang sering kulihat di film-film India. Lelaki itulah di kemudian hari kuketahui sebagai pacar mbak Yeni.

Mbak Yeni benar-benar menepati kata-katanya. Aku mendapat seorang majikan yang luar biasa baik, seorang janda beranak tiga. Suaminya baru meninggal setengah tahun sebelumnya karena serangan jantung. Nyonya Feng, begitu aku sering memanggil majikanku cukup beruntung ia menerima warisan berupa apartemen, mobil, tabungan dan asuransi dari suaminya yang berprofesi sebagai broker properti.

Setahun kerja bersama Nyonya Feng semua masih baik-baik saja. Ia begitu baik bahkan tak jarang memberikan bonus padaku, meski ia tak pernah bilang darimana uang tersebut berasal. Tahun kedua semua mulai berubah, apalagi setelah majikanku ditangkap di Singapura karena kedapatan membawa beratus-ratus gram heroin.

Setelah Nyonya Feng dipenjara aku bingung harus bagaimana. Beberapa Minggu aku sempat tinggal berpindah-pindah. Saat itulah aku berkenalan dengan seorang pria Filipina. Lelaki itu begitu baik awal mulanya dan entah kenapa diam-diam aku menyukainya. Tapi ternyata lelaki itu bajingan, nyaris saja dia memperkosaku. Untung saja ada seorang teman yang membantuku, namanya Lita.

Peristiwa itu sungguh membuatku trauma. Aku makin tidak betah hidup di sana dan berniat balik ke Indonesia meski pada mulanya sempat bingung harus balik kemana. Pulang kerumah rasanya tidak mungkin. Aku tak sanggung menanggung malu di hadapan keluargaku. Akhirnya kuputuskan tinggal di Jakarta. Aku masih punya tabungan jumlahnya, lumayan buat modal usaha kecil-kecilan. Dari semua jenis usaha akhirnya kupilih mendirikan salon di daerah sekitar Pancoran. Ternyata lumayan juga hasil dari usahaku sampai aku punya 3 orang karyawan salon.

Seiring dengan majunya salonku perlahan aku bisa memulai kehidupan baru. Namun semuanya tak berlangsung lama. Ternyata ada saja orang yang tak suka dengan kesuksesanku. Muncul berbagai gosip miring terkait dengan keberadaan usahaku. Mereka bilang salonku jadi tempat prostitusi terselubung. Tapi aku selalu menyangkal, semua itu tidaklah benar. Satu hal yang memuatku sedih, ternyata penyebar isu itu adalah Lita. Semua isu tersebut berawal dari hubunganku dengan mas Pram, pemilik ruko yang kusewa. Seiring berjalanya waktu isu itupun tak terdengar lagi. 


Sebulan lalu Mas Pram mengutarakan niatnya untuk melamarku. Akupun tak kuasa menolak tawaran tersebut. Rencananya bulan depan bakal mengantarku pulang kampung sambil melamar ke orang tuaku. Rencana yang awalnya aku tolak dengan alasan aku malu dengan kedua orangtuaku. Namun rupanya kegigihan Mas Pram meluluhkan hatiku. Semua rencanapun kami susun dengan matang.

Lama tak terdengar kabarnya tiba-tiba sore tadi Lita datang padaku. Ia memberi selamat rencana pernikahanku dengan mas Pram. Semula, kukira Lita sudah melupakan persoalan itu. Tapi rupanya dugaanku salah. Ia mengajakku ke sebuah club malam. Awalnya aku menolak, namun ia terus merayuku.

Akupun pergi bersama Lita, aku dikenalkan dengan teman-teman Lita, semuanya lelaki berwajah sangar. Kitapun duduk di salah satu sudut dan pesan minuman. Sebenarnya aku hanya pesan cola saja namun entah kenapa tiba-tiba saja aku tak sadarkan diri. Ketika siuman aku sudah telanjang, tanpa pakaian, di dalam sebuah mobil. Badanku terasa remuk redam dan perih di sekitar kemaluanku. Aku, mencoba berteriak namun mereka menutup mulutku dengan lakban. Aku bisa melihat mereka namun tak bisa mengenali mukanya karena semua memakai topeng. Setelah memaksaku memakai pakain kembali mereka lalu menurunkanku di tempat tadi.

Hampir dua jam wanita itu bercerita hingga adzan Subuhpun mulai terdengar berkumandang dari berbagai penjuru. Sang sopir hanya bisa terdiam, tak bisa berkomentar apapun dan hanya menarik nafas panjang.

“Berhenti di sini saja Pak,” wanita itu menyerahkan beberapa lembar uang ratusan ribu kepada sopir taksi. Beberapa saat taksi itu masih berhenti di tempat. Sang sopir melihat wanita itu melangkah gontai, menyusuri jalan masuk ke perkampungan penduduk. Setelah wanita itu menghilang, pengemudi taksi menutup kaca mobil, sambil menguap ia menghidupkan mesin mobilnya. Taksi itupun menghilang di telan gelap.


****
Malam mulai tergantikan oleh pagi. Di sebuah masjid yang sudah dijejali para jamaah sebuah taksi berhenti, memarkir mobilnya diantara deretan sepeda motor dan mobil yang tertata rapi. Ia melangkah ke tempat wudhu membasuh badan, mensucikan dirinya. Lalu langkah kakinya tertuju ke dalam masjid, ia berdiri menghadap kiblat mengangkat tangan memulai Sholat Subuh. Namun kali ini ada sesuatu yang terus mengganggu sholatnya, bayangan penumpang taksi yang baru saja diantarnya. “Apa yang bakal terjadi dengan wanita itu” kata-kata itu yang terus mengganggu kekhusyukanya. Namun tanda tanya itupun menghilang dan kini fikiranya tertuju pada sosok wanita, kekasihnya dulu, yang dipaksa kawin oleh orang tuanya.

Yogyakarta, 2 Maret 2011

Fathoni Arief

Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments