Skip to main content

Cerita Dari Leningrad

St. Petersburg malam ini begitu dingin. Kota bersejarah di Rusia yang selama beberapa puluh tahun pernah berganti nama menjadi Leningrad masih diselimuti salju tebal yang turun sejak beberapa hari lalu. Suhu rendah, dingin yang terasa hingga tulang. Sesuatu yang menyiksa terutama bagi orang-orang yang tak biasa dengan suasana seperti ini, khususnya orang-orang yang hidup di negeri dengan dua musim seperti aku ini.


Kota yang relatif aman terutama semenjak suasana politik berubah secara drastis dinegeri ini. Perubahan yang terjadi sejak runtuhnya superioritas kaum komunis yang ditandai dengan pecahnya Uni Soviet pada tahun sembilan puluhan awal yang lalu. Awal mulanya ditandai dengan Glasnot dan Perestroika yang justru sebagai titik awal kejatuhan saat itu negeri titai besi dipimpin oleh Mikail Gorbachev.


Semenjak sore tadi aku masih berada didalam apartemenku. Biasanya aku lebih banyak menghabiskan waktu berada didekat perapian sambil membaca buku dan menikmati minuman hangat berupa the atau terkadang kopi. Saat ini aku sedang nikmati kopi asli Indonesia pemberian seorang rekan dari KBRI yang baru kembali dari tanah air. Tinggal dinegeri yang jauh resiko mengalami saat-saat kesepian harus ditanggung.

"Tok..tok..tok”. Terdengar bunyi pintu apartemenku yang diketuk.

Segera kulangkahkan kaki membuka pintu, memang pagi tadi ada beberapa rekan yang katanya mau berkunjung. Mungkin saja ini mereka. Pintupun telah kubuka.


"Selamat malam kawan! Maaf agak telat, ada keperluan yang harus kuselesaikan tadi”. Yuri salah seorang dari mereka. Mereka datang bertiga. Yuri Baturenko teman dari Rusia, seorang keturunan Yunani Stavros Baxevanos dan rekan dari Paraguay Gustavo Parades. Selain Yuri kami tinggal di apartemen yang sama.

Bertukar cerita, dis

kusi tentang apa saja adalah hal yang kita lakukan tiap kali berkumpul. Mereka semua adalah orang hebat dalam bidangnya masing-masing banyak ilmu dan pengetahuan yang telah kudapatkan dari mereka. Topik yang kami bicarakan tiap kali diskusi memang beraneka ragam meskiopun begitu kami tak pernah merencanakan tentang apa yang akan kami bicarakan semua mengalir begitu saja. Hal yang terkadang aneh tapi menarik terjadi tiap kali kami diskusi adalah diantara kami selalu menggunakan bahasa yang berbeda-beda campuran dari berabagai bahasa walaupun mulanya adalah Ingghris tapi kami semuanya mengerti. Mungkin karena seringnya kami berkumpuk hingga telah mengenal satu sama lain. Diantara bahasa yang kami pakai tak lupa kita juga menggunakan bahasa Rusia, walaupun aku masih belum lancar seratus persen.

Waktu memang berjalan dengan begitu cepat tak terasa hampir lima tahun berada dinegeri ini. Dari waktu datang pertama hanya seorang sarjana teknik dari universitas lokal kini aku adalah seoarang calon doctor dalam bidang Geoteknik dari Universitas Leningrad. Susah payah, capek dan semua kerja kerasku akhirnya membuahkan hasil.


Diskusi kami malam ini dibuka oleh cerita dari Stavros. Rekan asal Yunani ini dengan semangat dan berapi-api menceritakan semua tentang mitologi Yunani. Dia paparkan semuanya, mulai dari dewa-dewa, cerita tentang kepahlawanan, percintaan dan semua yang berbau Yunani. Selain cerita tentang mitologi Yunani tak lupa ia menyinggung keberhasilan timnas negaranya menjuarai piala Eropa beberapa tahun yang lalu.


Kisah percntaan, persahabatan memang hal yang indah sejarah akan mengenangnya. Cerita-cerita tentang persahabatan yang Stavros berikan mengingatkanku pada seseorang yang kukenal beberapa tahun lalu, saat pertama kali aku menginjak negeri beruang merah ini. Tak terasa hampir empat tahun kami berpisah sejak pertemuan terakhir kami ditepi sungai Neva.

"Saudara Fath tentu masih ingat kesuksesan negara kami dalam ajang piala Eropa beberapa waktu yang lalu?” Tanya orang Yunani ini padaku, ia seakan meyakinkanku tentang superioritas tim nasional sepak bolanya saat itu. Tentu saja aku tahu, ya sebenarnya dalam hati aku kecewa dengan kemenangan Yunani, soalnya yang dikalahkan adalah negara yang kujagokan Republik Ceko. Kuakui Yunani memang tim hebat kekompakan dan percaya diri yang tinggi mampu membungkam semuanya.


"Tentu saja aku tahu. Greece kampiun kejuaraan Erpa kala itu. Terus terang salut, soalnya aku tahu tim anda tak diunggulkan meskipun menjadi tuan rumah”. Pemuda Yunani itu sejenak menghentikan ceritanya diraihnya secangkir kopi dan menyeruputnya.

"Oh ya ayo silahkan diminum kopinya! Seperti biasa kopi dari Indonesia”.

Pelan tapi pasti kuhirup secangkir kopi panas dari cangkir ini. Betapa nikmatnya, hawa dingin terasa hilang seiring dengan mengalirnya cairan kopi kedalam tubuh ini. Kopi minuman favoritku, sesuatu yang selalu kupesan jika rekan-rekan bertanya “ Mau minum apa?”. Terkadang mereka menawariku denagn Vodka minuman keras asal Rusia itu. Aku dengan halus menolak dan berusaha menjelaskan posisiku yang tidak diperbolehkan meneguk cairan beralkohol itu. Bagaimanapun aku adalah seorang muslim, dengan tegas agamaku melarang mengkonsumsi minuman seperti itu.


Kini yang menguasai pembicaraan adalah Yury. Dia mulai bercerita tentang sastra dan sejarah jatuhnya kekuasaan komunisme dinegeri ini.

"Saudara-saudara pernah dengar nama Leo Tolstoy?” Yury memandangi kami bertiga, satu persatu matanya menatap mulai dari aku, Stavros hingga Gustav. Pandangannya mnecoba meyakinkan ketenaran orang yang bernama Tolstoy itu.

"Leo Tolstoy dan semua karya-karya emasnya aku yakin saudara-saudara sudah banyak tahu tentangnya. Salah satunya novel “War and Peace” yang pernah diangkat dalam sebuah film. Novel tentang jatuhnya Napoleon di negeri Rusia dan tentunya bumbu-bumbu percintaan yang menyertainya”.

"Sorry teman, terus terang aku tak tahu banyak tentang sastra. Tapi ceritamu tentang itu menarik bagiku. Terus apa hubungannya dengan sejarah negerimu?” Gustav memeotong cerita dari Yury.

"Sebentar kulanjutkan sedikit ceritaku. Aku akan memulai dari tahun 1917, sebuah peristiwa besar yang terjadi saat itu, revolusi Bolsyevik”. Yury nampak asyik dengan cerita-ceritanya. Kini ia bercerita tentang sebuah kapal, kapal Aurora. Sebuah kapal bersejarah, dimanadari kapal ini para pelaut pendukung revolusi Bolsyevik menembakkan meriam sebagai tanda mulainya penyerbuan kaum komunis ke istana musim dingin. Sebuah peristiwa yang nantinya akan mewarnai sejarah bangsa Rusia hingga tujuh puluh tahun kedepan.

"Ah menarik ceritamu! Aku teringat kembali masih berhubungan dengan ceritamu. Sebuah film berjudul Dr. Zivhago, tentang awal mulanya berkuasanya kaum komunis”.

"Ya benar, sebuah film sangat terkenal. Seorang dari Argentina pernah memberiku film itu”. Gustavo masuk dalam pembicaraan ini.

"Sebuah revolusi besar-besaran. Negara ini dikuasai oleh kaum buruh. Keadaan yang berlangsung cukup lama. Jika saat ini kita berada dalam rentang waktu itu diskusi tentang hjal seperti ini jika terdengar intelejen negara kita bisa ditangkap. Anda tahu sendiri kan tentang sejarah dari agen KGB?”

"Wow, sebuah interbensi dari negara”. Komentarku dengan keheranan.

"Ya memang begitulah keadaan yang terjadi saat itu”. Yury langsung menimpali.

Begitulah sepanjang malam ini kami berdiskusi seputar semuanya. Tentang Rusia, Yunani, Paraguay dan Indonesia tanah airku. Pembicaraar asyik ini membawa waktu berputar serasa cepat. Benar, kini sudah hampir tiga jam, sekarang jam sepuluh malam waktu Rusia.

Ketika kami tangah asyik kembali melanjutkan cerita-cerita kami datang lagi seorang rekan dari Armenia (negara pecahan Uni Soviet) Sarkis Organesyan. Rekan yang kedatangannya membawa ide gila bagiku. Dalam suhu sedingin ini ia mengajak jalan-jalan keluar rumah menuju pinggiran sungai Neva.

Berlima kami menuju sungai itu. Ya dengan terpaksa aku mengikuti mereka . Mumpung masih berada dinegeri ini minggu depan aku harus kembali ketanah air. Masa studiku sudah berakhir.

Tepian sungai Neva, kira-kira tiga tahun yang lalu. Ketika baru setahun aku berada di negeri beruang merah ini. Masih ingat peristiwa itu; sebuah pertemuan.

Sore yang cukup cerah. Memanfaatkan momen yang bagus ini aku berjalan-jalan sendiri menyusuri sungai Neva. Menikmati pemandangannya. Aku terduduk di pinggiran sungai. Perhatianku tertuju pada permainan musik sekelompok seniman jalanan yang sedang memainkan balailaaka. Segera aku mendatangi mereka. Perunjukkan seni musik tradisional Rusia yang menarik buatku. Sebuah alat musik yang selama ini hanya kudengar difilm dan acara televisi.

Aku terbayang kembali dengan kesenian asli daerahku. Suara gamelan aku jadi merindukannya, kesenian yang mulai kugandrungi semenjak kuliah di kota Pelajar Yogyakarta. Setahun terasa begitu lama padahal aku masih belum separuh perjalanan dalam mengambil gelar S2 dan S3ku.

Lamunanku dibuyarkan dengan sentuhan dari seseorang dipundakku. Ya kukira ia orang Indonesia sepertiku. Dia memandangiku dan dengan ragu-ragu mencoba menyapaku.

"Are you from Philipines?” Dia bertanya dalam bahasa Inggris.

"No, I'm an Indonesian.” Dia terlihat malu saat tahu bahwa aku bukan orang Filipina.

"I'm sorry Mr I thinked you were Philipines people”.

Ada kesamaan antara orang Filipina dengan Indonesia. Kemiripan yang seringkali salah tebak. Warna kulit, postur hampir sama karena sebagian penduduk negeri itu juga merupakan keturunan Melayu.

"My Name is Gloria, nama saya Gloria”. Dia mengacungkan tangan mencoba menjabat tanganku. Dia bisa berbahasa Indonesia meskipun terbata-bata.

"My name is Fath”.

Kami berkenalan satu sama lain. Itulah awal dari perjumpaan kami. Dia bercerita banyak tentang asal usulnya. Katanya ia juga seorang muslim sama sepertiku. Keluarganya ada yang tinggal didaerah Filipina Selatan. Disini ia sedang menghadiri konferensi yang diadakan di kota ini. Tak dia jelaskan secara pasti konferensi apa yang ia maksudkan.

Selepas konferensi waktunya dihabiskan mengunjungi tempat-tempat menarik dinegeri ini, utamanya dikota ini. Gloria, gadis Filipina ya terus terang kuakui dia cantik. Dengan postur yang cukup ideal dan kulit bersihnya tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan kekagumanku padanya yang jelas She is so pretty.

Gadis Filipina ini menurutku orang penting. Selain cantik ia juga cerdas sekilas bisa dilihat dari caranya bercerita. Tak hanya itu ia juga menguasai beberapa bahasa asing Indonesia salah satunya walaupun dengan terbata-bata dan terkadang campur dengan Inggris.

"My Friend Fath, nampaknya sudah hampir malam aku ditunggu rekan-rekanku. Secepatnya harus kembali ke penginapan. Kalau ada waktu anda bisa berkunjung ke hotel tempatku menginap. Kamu tahu gereja St. Issaac dua ratus meter disebelah barat ada sebuah penginapan, aku tinggal disitu. Kutunggu kehadiran anda. Masih ada hal yang ingin kubicarakan dengan anda. Kebetulan aku baru balik ke Filipina Minggu depan”. Dia tersenyum ramah padaku dan sesaat kemudian telah hilang dari pandanganku.

Senin pagi selepas kuliah Foundation Engineering yang disampaikan seorang dosen tamu dari Polandia, Profesor Radoslaw Bilinsky kusempatkan mampir ketempat Gloria menginap. Gereja St. Isaac yang dikatakannya telah nampak. Bangunan ini kata Yury merupakan gereja tertinggi nomor dua setelah Vatican. Bangunan yang pernah bertahun-tahun berada dalam kekuasaan komunis.

Aku terus melangkahkan kakiku. Dua ratus meter sebelah barat seperti apa yang dikatakan oleh Gloria kemarin. Sebuah penginapan satu-satunya diblok ini. Tak salah lagi pasti ini tempat ia menginap. Segera aku menuju tempat resepsionis berada.

"Maaf tuan apakah ada seorang tamu asal Filipina menginap disini?” Tanyaku pada resepsionis itu.

"Oh ada tuan. Satu rombongan. Anda mencari siapa?” resepsionis tersebut menunjukkan daftar nama yang tertera dibuku tamu.

"Ini tuan saya mencari nona Gloria!” kutunjuk nama Gloria yang tertulis dalam buku tamu tersebut.

Resepsionis itupun segera menunjukkan ruangan dimana Gloria berada. Hotel atau mungkin tak terlalu besar untuk disebut sebagai hotel. Menurut resepsionis kamar Gloria ada di lantai tiga, paling ujung sebelah jendela.

Kamar didekat jendela. Pintunya segera kuketuk. Cukup lama aku menunggu. Tak tahu kenapa hatiku rasanya berdebar-debar. Pertemuan yang berkesan, timbul sensasi dalam hati. “Apakah aku sedang jatuh cinta?”.Apakah secepat itu aku tertarik pada Gloria? Akhirnya pintu kamar inipun dibuka.

"Hai Fath anda datang juga!” Gloria, ia tersenyum namapak gembira melihat kedatanganku.

"Apa kabar Gloria?” Saat itu juga aku menyapanya.

"Come ini please! Maaf agak lama menunggu. Tadi saya baru saja mandi. Ayo silahkan duduk!”

Sejenak pandangan mataku menyapu keseluruh ruangan. Kulihat barang-barang yang nampaknya mulai dikemasi.

"Tidak masuk kuliah ya kok sepagi ini sudah sampai sini?”

"Kebetulan aku hanya ada kuliah satu kali jadi waktuku agak longgar hari ini”.

"Eh maaf! Mau minum apa?”

"Terserah, apa aja boleh asal jangan yang beralkohol.”

Gloria melangkahkan kakinya mengambil soft drink dari meja di bagian sudut.

"Silahkan diminum! Maaf tak ada minuman hangat adanya cuma ini”.

"OK, terima kasih”. Gloria hanya tersenyum ketika melihatku minum soft drink dengan begitu cepat. Maklum selepas berjalan aku begitu kehausan. Kenapa rasa itu semakin menjadi? Benar aku dibuat jatuh cinta oleh Gadis Filipina satu ini.

"Eh kok bengong lagi mikir apa?”

"Maaf tidak ada hanya kefikiran sesuatu. Katanya kamu pingin cerita-cerita ayo aku ingin dengar! Nanti giliran aku”.

"Aku panggil namamu Fath saja ya!

Begitulah pertemuan kedua kami. Kami saling cerita tentang banyak hal. Aku sangat terkesima dari pengalaman-pengalamannya. Gadis cantik yang juga cerdas, rasanya aku makin jatuh cinta saja.

Pertemuan itu berlanjut pada pertemuan ketiga, keempat dan seterusnya hingga aku begitu yakin bahwa aku benar-benar jatuh cinta padanya. Hingga saat yang begitu berat itu tiba. Aku harus melepas kepergiannya ketanah airnya.

Saat yang begitu berat bagiku. Satu minggu terlalu waktu yang begitu singkat. Aku masih ingin bersama dengan Gloria. Kenapa disaat benih-benih cinta muncul dia harus pergi dia kembali ketanah airnya. Aku mengantarnya sampai ke Bandara. Sesaat sebelum ia melangkah pergi sebuah senyuman tertebar padaku. Semakin pedih rasanya hati ini.

Semenjak perjumpaan yang sesaat itu memang diantara kami sering saling berkirim kabar, meskipun hanya lewat e-mail. Kami bertukar cerita dan ada banyak hal yang dia tuliskan. Keadaan dirinya, negaranya, keluarganya, semuanya ia sampaikan. Dia sempat cerita konflik terakhir yang menimpa Presiden Arroyo.


Kabar terakhir yang kudengar ia berencana menikah. Calon suaminya adalah seorang lelaki asal Indonesia yang baru ia kenal di Manila. Tak disebutkan kapan ia menikah. Nama Gloria sendiri ternyata hanya nama samarannya. Azizah nama aslinya.

“Hei kawan jangan melamun saja!” Sarkis datang dari arah belakang dan membuatku kaget. Ia membawaku ke kerumunan orang yang sedang menikmati alunan balailaka. Tetap saja yang terbayang pada fikiranku adalah Azizah pertemuan singkat yang begitu indah.


Tiba saatnya aku harus meninggalkan negeri beruang merah. Kembali ketanah air dengan gelar doctor dalam bidang geoteknik. Dengan iring-iringan salam perpisahan teman-teman baikku kutinggalkan negeri ini. Yri dan Sarkis mereka yang mengantarku hingga bandara sedangkan Gustavo dan Stavros sedang ada keperluan penting di kampus.

“Tuan-tuan akhirnya kita harus berpisah. Aku tak akan melupakan persahabatan ini”.

“Jangan lupa kirim kabar lewat e-mail! Kita tetap bersahabat”. Sarkis merangkulku dan menjabat tanganku kemudian disusul Yuri. Aku bagaikan diapit oleh dua orang raksasa.

Dengan terpaksa kulangkahkan kakiku meninggalkan negeri ini dengan segala kenangannya.


“Salamku buat Gustav, Stavros dan yang lainnya!”

“Semoga Tuhan memberkatimu selamat sampai Indonesia!”

Lima tahun sudah sejak selesaikan studi di Rusia. Kini aku adalah seorang dosen disebuah Universitas tertua di Indonesia. Setelah sempat kerja disektor swasta akhirnya aku banting setir menjadi seorang pendidik. Dengan dua orang anak hasil pernikahanku dengan seorang anak Kiai terkenal dari Selatan Jawa Timur empat tahun yang lalu.

Selama lima tahun ini selalu kudengar kabar rekan-rekanku. Kami berbagi cerita lewat e-mail. Yuri kini menjadi seorang dosen di Universitas Moscow. Stavros menjadi seorang pembesar partai di Yunani, kini ia tengah bersiap-siap mencalonkan diri menjadi presiden termuda di negaranya. Sarkis orang Armenia ini banting stir menjadi pengusaha sukses dan menjadi pemilik saham klub sepak bola terbesar dinegerinya. Gustavo kembali kenegerinya kini ia menjadi aktivis lingkungan hidup, terakhir yang kudengar ia sedang menjalin hubungan dengan green peace. Begitulah sebuah cerita terjadi tanpa sepengetahuan akal manusia, berawal dan berakhir tanpa bisa diduga sama sekali oleh ruang fikiran kita.


MF ARIEF


Yogyakarta, Januari 2006

Comments