Skip to main content

Ksatria PENA

By: MF. ARIEF

Persembahan buat seorang wanita berkerudung biru. Seorang yang terus saja menari-nari dalam alam bawah sadarku. Mendekat, berlenggak-lenggok dan sebentar kemudian pergi. Dialah sosok impian yang menyertai perjalananku.

Nanda Sekarwati, dialah sang wanita berkerudung biru. Sahabat kecil yang kini pergi begitu saja meninggalkanku. Menjadi sahabat, rekan, teman dekat untuk sekian lama belasan tahun dari kecil hingga menginjak dewasa. Benar juga kata orang Jawa tresno jalaran saka kulino.

Sosok anggun, keibuan cantik tak salah jika banyak yang mengejarnya. Kalau Napoleon masih hidup ketika melihatnya dia akan bertekuk lutut mengaharap cintanya. Ksatria-ksatria dadakan telah hadir, datang untuk menjemputnya bak seorang putri di istana. Diantara yang mengejarnya ada seorang sosok yang terus berjuang dijalannya dengan aksara-aksaranya itulah diriku seorang penulis dadakan yang ingin merengkuh sukses dalam sesaat seperti seorang Bandung Bondowoso yang berhasil membangun sembilan ratus sembilan puluh sembilan candi dalam semalam. Itulah diriku : Marten Kartodikromo.

Nama yang aneh jika dikaji secara asal usul namanya Paduan antara nama asing dan Jawa totok, inlander, pribumi asli. Tak tahu alasan pengambilan nama itu tetapi embel-embel nama belakang mengingatkan nama seorang penulis buku student hidjo Marco Kartodikromo. Mungkin saja orang tua menginginkan diriku mampu menuliskan aksara yang mampu merubah sesuatu. Marten sang penulis dadakan. Menulis untuk mencari sebuah citra diri yang dipersembahkan buat sang dewi pujaannya Nanda Sekarwati.

Ada satu alasan lain pemilihan jalan tersebut, mungkin saja karena tahu diri jika di bidang lain dia sudah akan kalah terutama jika dipandang dari kaca-mata akademik. Begitu terobsesi dengan buku-buku yang dibaca. Gila-gilaan dalam membaca dan mengkaji sastra tak seperti saat disuruh belajar tentang teori-teori yang sering disampaikan dosen dalam kuliah-kuliah yang diikutinya. Kartodikromo orang aneh. Jika ditanya tentang kesukaannya baca dia lebih suka baca orang-orang proyeknya Ahmad Tohari daripada Manajemen Proyek, lebih asyik melototi Bumi Manusianya Pram daripada capek-capek belajar ilmu bumi. Sudah menjadi kebiasaan dan menjadi jalannya seorang penulis mempunyai banyak sekali topeng. Itu juga yang sering dikatakan Kartodikromo ini yang selalu digunakan saat berselancar, meluncur, berjoged dalam tiap karya-karyanya.

Seperti saat ini sang ksatria pena sedang berputar-putar dengan segala imajinasi tentang dewi pujaannya. Dipandangi, dipelototi fotonya, gambar yang tak ubahnya hanya sebuah benda mati. “Tak ada yang bisa diharapkan dari orang macam aku ini dewiku! Apalah aku ini seorang yang mengaku sebagai penulis, walaupun itu hanyalah pelarian terhadap ketidakberdayaannya oleh jaman.” Kartodikromo ngoceh sendirian dihadapan foto itu. Pernah suatu masa, tepatnya kapan sudah terlupakan pastinya. Rentang masa itu pernah merekam masa-masa indah Kartodikromo dengan dewi pujaannya Nanda Sekarwati.

Saat itu dengan yakin dan PedEnya seorang Kartodikromo berkata pada dewi pujaanya. “ Aku sangat yakin, akulah sang ksatria itu. Aku akan mendapatkanmu dewiku.” Marten Kartodikromo, seorang penulis ingusan yang masih menjalani perploncoan oleh jaman. Saat ini mungkin ia sudah lupa kata-katanya dimasa lalu. Yang jelas dia masih terbelenggu dengan impiannya merenggut citanya menjadi sang ksatria pena. “Tak patut aku mendapatkannya. Aku saat ini masih bukan apa-apa.” Kata-kata yang seringkali diucapkannya. Sang Ksatria pena terus saja berusaha menggapai cita dan cintanya. Mewujudkan mimpinya menjadi seorang ksatria pena yang sesungguhnya, penulis terkenal dengan penghasilan tinggi. “Aku akan kembali menulis, biar saja apa kata mereka yang jelas aku akan terus melakukannya.” “Kali ini keberuntungan akan menyapaku dan memelukku.

Aku akan benar-benar dikenal sebagai penulis.” Kata-kata sama persis juga ia katakan sebulan yang lalu. Kartodikromo kinipun sibuk mencari ide-ide untuk menulis. Ia sedang memeras otak dan menuangkan dalam sebuah tulisan. “Apa ya yang akan kutulis?” orang aneh itupun kebingungan tentang apa yang akan ditulisnya. Matanya melirik kesana dan kemari. Pelilak-pelilik begitu kata orang Jawa seperti sedang mencari sesuatu. Dilihatnya kumpulan buku-bukunya yang tersusun tapi tidak menunjukkan kesan rapi. “Aku akan jadi seorang plagiat saja. Pembajakan itu kan sudah merupakan hal wajar yang sering terjadi. Cari buku orang, artikel, karya orang dirubah sedikit lalu jadilah.”

Sejenak dia berhenti dan kemudian terdiam. Sebentar kemudian ia tersenyum-senyum sendiri mirip orang sinting kali. Ya entah ada apa dengan itu orang mungkin agak sinting. Dari rak diambilnya beberapa buah buku. Sepertinya dari penerbit yang tidak terkenal dan pengarang yang tak diketahui publik. “Wah yang seperti ini yang gampang dibajak. Orang juga nggak tahu.” Iapun terdiam kembali, sebentar kemudian ditaruhnya kembali. “Ah aku bukan seperti itu. Tak mau perjuanganku dikotori oleh perbuatan seperti ini.” “Sulit juga saat ini aku sudah kering ide. Semuanya sudah terperas pada tulisan-tulisanku yang dulu pernah kuterbitkan."

Kartodikromo bangkit. Ditaruhnya buku kembali diraknya. Kertas dan pena itu dibiarkannya tergeletak begitu saja. “Apa ini aku terlalu terobsesi, bahaya bisa-bisa jadi penghuni baru wisma Porong.” Begitu kata-katanya dalam hati. Ia kini melangkah keluar rumah. Disusuri jalan sekitar kosnya. Dudul dan tertegun dipinggiran pematang sawah. “Satu, dua, tiga, empat ah sudah berapa saja karyaku yang dibalikkan, ditolak. Beberapa tulisanku kemarin juga belum ada tanggapan. Akankah aku terus melangkah jalan ini.”

Orang aneh itu kini kembali tersenyum sendirian. Ia namapk sedang menikmati segala kesunyiannya. Lucu, mirip orang sinting, makin hari makin aneh saja tindakannya. Tiba-tiba saja ia melompat kegirangan, seperti sedang mendapat sesuatu yang sangat berharga. Dia berlari sambil tersenyu-senyum, sepanjang jalan orang yang melihatnya terheran-heran. “Ada apa, ada apa?” pertanyaan sebagian dari mereka “Dasar gila .” Komentar sebagian lagi Tak lama ia sudah terduduk kembali di depan komputer dikamar kumuhnya.

Begitulah dia mulai menulis dan menulis, terkadang ia tersenyum-senyum sendiri. Satu jam, dua jam, tiga jam waktu berlalu begitu saja. Dengan cukup susah payah akhirnya berhasil dituntaskannya sebuah tulisan. “ Ah aku memang seorang ksatria pena. Aku akan menggapai impianku.” Lembaran naskah itupun kini ia masukkan pada amplop coklat. Besok cerita itu akan segera dikirim ke redaktur sebuah surat kabar harian. “Besok akan kukirim tulisan ini. Bulan depan kau akan mengenalku di koran-koran harian yang terkenal itu.” Sekali lagi si sinting itu tersenyum-senyum.

Dihinggapi bayangan manis dalam fikirannya. Awal bulan yang ditunggu-tunggu Marten Kartodikromo sang ksatria pena. Harusnya surat-surat jawaban itu sudah diterima. Memang semua balasan ia terima. Satu demi satu datang, sengaja ia mengumpulkannya dulu dan ingin membukanya pada saat yang bersamaan. Harapan untuk mendapat imbalan dan sedikit ketenaran sebagai mesiu untuk mendapatkan dewi pujaannya. Selembar demi lembar ia buka surat surat itu hingga tuntas dibacanya. Semuanya kini sudah disusun kembali dan dimasukkan dalam amplop seperti semula. Kini ia raih sebuah buku yang berjudul “belajar dari sebuah kegagalan”. Sejenak dia baca buku itu. Tak lama kemudian ia kembali menghidupkan komputer dan kembali menulis meretas mimpinya.


Ruang Gelap, Oktober 2005



Comments