Skip to main content

Membangun Lumbung Daya Di Lereng Merbabu


"Hidup bersama itu enak. Tidak butuh biaya, malah menghasilkan uang pemasukan." (Ahmad Bahrudin)


Kesejahteraan sosial kuncinya kebersamaan dan keadilan. Komunitas bisa merasa sama berkat adanya lumbung yang menjadi sumber daya. Masyarakat produktif dengan dukungan lumbung.

Nun di lereng Gunung Merbabu. Sekitar 3 kilometer dari Terminal Tingkir, Kota Salatiga. Persisnya di Desa Kalibening, Kecamatan Tingkir, berdirilah komunitas Qoryah Thayyibah. Sesuai namanya, komunitas ini dimotori Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thayyibah.

Jangan remehkan ”embel-embel” petani. Bisa jadi akan tercengang setelah menyaksikan berbagai kegiatan kelompok yang beranggotakan banyak petani ini. Mereka punya kegiatan penguatan sumber daya alam, perekonomian, hukum, dan pendidikan alternatif.

Meski dekat dengan kota, namun suasana pedesaan Kalibening, Kecamatan masih terasa. Masih banyak sawah dan tegalan berundak-undak di sejumlah dusun di Kalibening. Namun jangan salah, teknologi komputer dan internet bukan hal asing bagi anak-anak desa, yang sebagian besar anak miskin.

Sosok di balik keberhasilan Qoryah Thayyibah memajukan masyarakat desa adalah Ahmad Bahruddin. Pria 43 tahun ini amat disegani karena ia anak sesepuh Desa Kalibening. Apa saja yang telah dilakukan alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga ini sehingga mampu mendorong masyarakat desa menjadi mandiri secara ekonomi? Bagaimana pula konsep kesejahteraan sosial menurutnya?

Berikut petikan wawancara wartawan Info Societa, Mochamad Fathoni Arief dengan Ahmad Bahruddin:

Bagaimana Anda bisa memberdayakan kelompok petani, baik secara ekonomi maupun pendidikan?

Kami memulai dengan agenda pemberdayaan di tingkat desa. Di desa ada sejumlah parameter, antara lain, memiliki kader-kader politik desa yang punya keberpihakan, jamaah kerja produktif, seperti koperasi serba usaha, unit processing. Saat punya produk pertanian, tidak langsung dijual tapi diolah dulu.

Kemudian mengembangkan pendidikan komunitas. Fungsinya lebih pada pemberdayaan desa. Warga desa menyelenggarakan pendidikan secara mandiri. Seolah-olah ini mereka punya sekolah sendiri. Kami tidak membangun institusi, tapi justru masyarakat yang langsung mengembangkan.

Qoryah Thayyibah sudah banyak dikenal, terutama model pendidikan alternatif. Apa tujuan ke depan Qoryah Thayyibah?

Ke depan, situasi ideal yang kami bayangkan adalah adanya learning society. Maksudnya bagaimana caranya masyarakat bisa belajar saling menghargai dan tidak tereksploitasi. Ada pemikiran, saat melihat sekolah: setelah lulus sekolah, lalu kerja, kan sama saja sekolah kok hanya untuk cari majikan? Saya malu melihat mentalitas lulusan sekolah yang sudah terpupuk sejak lama.

Namun kadang-kadang kebalikannya. Setelah lulus sekolah, ia inginnya di atas. Banyak orang bilang yang bagus adalah yang bisa menciptakan lapangan kerja. Namun bagi kami hal itu bisa jadi jahat. Cita-cita kok jadi majikan. Mereka sebenarnya bukan menciptakan lapangan kerja. Namun seringkali yang mengemuka adalah adanya eksploitasi pekerja.

Konsep pembangunan sosial Anda seperti apa?

Kami mempunyai cita-cita hidup bersama dengan keadilan. Dimana tidak terjadi yang namanya saling mengeksploitasi. Ketika ada yang mengatakan saya ingin jadi majikan, sebenarnya ada benih-benih kejahatan. Hal ini khas negara kapitalistik. Mereka berprinsip untuk sukses tetap harus ada korban. Dalam skala kecil, misalnya, untuk sukses usaha bakso, harus ada karyawan yang dieksploitasi.

Keadilan adalah kata kuncinya. Maksudnya dengan keadilan orang tidak akan serakah. Negara harus menjamin keadilan. Andai anak sudah dijamin, kita tak perlu berpikir bagaimana tujuh turunan kelak. Kalau masa tua kita sudah dijamin negara, ada keadilan, kita tak perlu numpuk-numpuk harta untuk bekal masa tua. Keserakahan itu sebenarnya bisa diminimalisir dengan keadilan.

Bagaimana caranya?

Konsep komunitas Qoryah Thayyibah sebenarnya lumbung, bukan sebagai sekolah. Anak-anak di sekolah Qoryah Thayyibah menjadi bagian dari lumbung, atau sebagai member dari lumbung. Mereka merupakan bagian dari masyarakat.

Lebih rinci konsep lumbung itu bagaimana?

Kami punya akses terhadap sumber daya yaitu lumbung sumber daya. Resource center berupa gedung 3 lantai tempat anak-anak belajar berbagai hal itu sebenarnya semacam lumbung sumber daya. Jadi tidak ada sekolah, yang ada adalah lumbung. Lumbung merupakan kelengkapan dari community learning itu.

Untuk mewujudkan community learning membutuhkan resource, bukan workshop, bukan perpustakaan. Resource ini termasuk sumber daya informasi yang tersedia di sana. Tapi beda dengan perpustakaan. Kalau perpustakaan hanya ada koleksi buku, member datang, terus pinjam atau sewa dan macam-macam. Sedangkan konsep kami, member ditaruh di lumbung agar bisa saling berbagi.

Di lumbung yang dibutuhkan bukan workshop, bukan bengkel. Yang dibutuhkan masyarakat umum dan anak-anak komunitas adalah alat produksi, resource-nya. Kalau ada resource mereka bisa langsung praktik, belajar, dan menghadapi masalah. Bagi anak yang ingin belajar pertukangan, langsung bikin meja belajar, misalnya. Yang dibutuhkan di antaranya gergaji. Anak datang ke lumbung mengambil alat produksi.

Konsep lumbung ini pernah saya sampaikan kepada Pak Ace Suryadi, sewaktu masih menjadi Dirjen Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat jangan dipusatkan. Sebab belajar bisa di mana-mana. Berkegiatan harus bersentuhan langsung dengan realitas kehidupan. Yang dibutuhkan adalah resource itu.

Sehingga PKBM menjadi pusat sumber daya bukan pusat kegiatan belajar. PKBM seharusnya tidak mengarah pada pembangunan institusi tapi lebih ke learning society. Memang ada yang harus dipusatkan, misalnya internet, studio musik, dll. Konsep awal kami, internet sebagai sumber daya informasi digital. Saya butuh undang-undang Sisdiknas, misalnya, bisa dilihat di internet.

Namun selama ini, jika ke warnet atau di rumah denagn sambungan internet, butuh biaya koneksi. Misalnya seribu rupiah. Namun bila nanti dikelola dalam data base di lumbung, orang lain butuh tak usah mengunduh lagi. Mereka bisa langsung ambil dari data base. Biayanya berapa? Bukan seribu, cukup seratus rupiah. Dengan cara seperti inilah kita berbagi.

Selama ini setiap orang butuh informasi, harus buak internet dan membayar sendiri. Hal itu terjadi karena tidak ada kebersamaan. Jika ada kebersamaan, maka bisa kita kelola, semuanya jadi enak. Di Qoryah Thayyibah kami mengelola uang lima ratus rupiah dalam beberapa bulan, bisa untuk membeli dua perangkat komputer.

Saya setuju dengan konsep tidak ada negara miskin dan negara kaya. Yang ada semuanya terkelola dengan baik. Tinggal bagaimana kita mengelola saja.

Konsep lumbung ini sudah berjalan baik di Qoryah Thayyibah?

Gara-gara membangun gedung, malah konsep lumbung belum bisa jalan seperti yang diinginkan. Termasuk mobil itu, nanti juga dikelola lumbung. Saya serahkan ke lumbung dengan prinsip disewa lumbung. Sementara ini, lumbung membayar dengan hitungan per kilometer Rp 1.500. Misalnya, ke kota Salatiga kira-kira lima kilometer, pulang pergi berarti sepuluh kilometer. Jadi membayar Rp 15.000, lebih murah dari bayar ojek. Hitung-hitungannya, biaya untuk bensin kurang lebih Rp 6.000. Untuk pemilik mobil Rp 2.500. Sisanya, untuk biaya perawatan, seperti oli, dsb menjadi tanggungan lumbung.

Apakah lumbung juga untuk mencari keuntungan?

Lumbung tidak mencari keuntungan. Yang penting lumbung jangan sampai rugi. Yang menaruh barangnya ke lumbung juga tidak rugi. Misalnya, mobil saya ditaruh di lumbung, jadi terawat kalau dipakai orang. Yang sewa, juga senang karena harganya murah sekali dan kalau ada kerusakan sudah menjadi tanggungan lumbung. Kecuali kalau ada keteledoran, misalnya menabrak, kesrempet, itu harus menjadi tanggung jawab penyewa. Kalau ban pecah, menjadi tanggungan lumbung. Karena ban pecah memang waktunya pecah tidak bisa disalahkan yang menyewa.

Selama ini masyarakat kalau ke rumah sakit dengan angkot, atau ojek, yang ongkosnya bisa sampai Rp 50.000. Dengan adanya lumbung, warga yang tidak punya kendaraan tidak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu. Masyarakat nyaman karena akses terhadap sumber daya enak.

Contoh lainnya, pukul besi. Saya bukan tukang tapi punya martil. Maka bisa dimanfaatkan oleh anggota lain yang tidak punya. Sewaktu-waktu butuh buat benerin apa, bisa meminjam. Begitu juga barang lainnya. Sewanya murah sekali, misalnya Rp 100. Uang itu untuk biaya operasional lumbung. Hitungannya, dari Rp 100, yang Rp 75 untuk saya pemilik martil. Sisanya Rp 25 untuk lumbung.

Konsep-konsep seperti itu yang perlu dipikirkan bersama. Sehingga semua sebenarnya kaya. Tidak perlu masing-masing numpuk alat-alat produksi. Begitu juga dengan buku, kenapa satu desa misalnya seratus orang, punya seratus judul buku yang sama. Kan hanya dipajang saja. Kalau dipajang hanya nambah-nambah dosa. Pamer! Taruh saja di lumbung, jadi bermanfaat tidak usah membuat atau beli almari buku.

Hidup bersama itu enak. Tidak butuh biaya, malah menghasilkan uang pemasukan. Dengan konsep itu, masyarakat jadi produktif karena tersedia alat produksi.

Orang mau berproduksi pasti butuh alat produksi. Kebutuhannya macam-macam. Artinya, kalau saya mau usaha bikin getuk, misalnya, butuh gilingan gethuk. Kalau membeli sendiri mahal. Jika lancar, usaha bisa jalan. Kalau tidak, malah tak jadi berproduksi. Jika menyewa di usaha persewaan alat bisa lebih mahal.

Sementara lumbung bukan perusahaan sewa, dan tidak cari untung. Mesin gilingan gethuk seharga Rp 1 juta, misalnya. Jika dipakai seribu hari, hitungannya setiap hari butuh Rp 1.000. Mungkin saja, ada tambahan biaya untuk menanggulangi kalau harganya nanti naik. Hanya itu saja perhitungannya. Lumbung itu memang tidak cari untung karena bukan perusahaan. Lumbung adalah media bersama.

Saya bisa coba-coba bikin gethuk. Misalnya menyewa sepuluh hari, hanya membayar Rp 10.000. Setelah lancar, mungkin saya akan beli sendiri. Artinya konsep ini akan memacu produkstivitas warga. Inilah yang dimaksud kerja itu sebenarnya berproduksi bukan kerja mendapat majikan.

Lalu kenapa praktiknya tidak seperti itu?

Pertanyaannya adalah kenapa tidak ada yang melakukan? Kenapa serba kapitalis? Justru kita ini lebih kapitalis dibanding dengan negara-negara kapitalis. Kalau kita lihat di negara seperti Inggris, transportasi publik betul-betul terkelola secara luar biasa. Bis itu penuh terus dan murah tarifnya. Sudah penduduknya sedikit, bus penuh, naik mobil juga enak karena kendaraan pribadi sedikit. Di negara kita, seperti Bogor itu macetnya karena angkot. Terlalu banyak pengusaha punya angkot.

Pemberdayaan masyarakat model ini sangat berbeda dengan yang sudah ada?

Jadi nanti ukuran masyarakat berdaya bukan masyarakat yang kaya, berapa jumlah mobil mereka. Tidak. Ukurannya adalah semua masyarakat tidak ada yang khawatir. Butuh apa tinggal ke lumbung, dengan harga murah, nyaman, enak. Tidak ada yang dirugikan dari konsep lumbung.

Jika tidak ada lumbung misalnya ada tetangga pinjam mobil untuk menjenguk orang sakit. Masak dipinjam untuk keperluan seperti itu, kita minta bayar. Tapi kalau sekalian dikelola lumbung, jadi enak semua. Mungkin ada kumpulan pemasukan Rp 2.500, Rp 5.000, hingga tidak terasa jumlah bisa untuk biaya perpanjangan surat kendaraan. Kerusakan barang bisa ditanggung lumbung.

Jadinya semuanya enak dengan adanya konsep lumbung.



Comments