Skip to main content

Atas Nama Sepakbola

Sepak bola, permainan yang kian mendunia. Olahraga yang tak hanya dimainkan bangsa Eropa namun juga Amerika, Asia hingga Afrika. Mulai dari kota hingga desa semua tahu permainan ini. Semenjak cikal bakal ditemukan di Inggris di abad 19 kini permainan ini telah menyebar hingga pelosok pedalaman. Sekarang football, atau soccer kata orang Amerika, tak sekedar permainan belaka hingga masuk ke ranah bisnis hingga politik. Coba saja perhatikan sederet nama mulai dari Roman Abramovich, Tom Hicks, hingga Sheikh Mansour yang rela mengeluarkan koceknya untuk membeli tim di Liga Premier Inggris dan mendatangkan pemain dengan harga yang luar biasa. Uang menjadi salah satu faktor yang turut bermain maka tak heran betapa luar biasanya perputaran uang di olahraga ini. 

Tak usah jauh-jauh hingga Eropa di Indonesia saja jumlah uang yang beredar juga luar biasa. Coba saja hitung saat ini di kompetisi Liga Super Indonesia (ISL) terdapat 15 klub. Jika diambil rata-rata tiap klub memhun butuhkan dana operasional katakanlah 10 miliar setahun berarti total ada 150 miliar dan sebagian besar berasal dari dana APBD. Padahal klub besar seperti Persija Jakarta bisa lebih besar lagi. Itu belum termasuk penerimaan dari FIFA sebesar US$ 1 juta/tahun, penjualan hak siar televisi serta pendapatan lain. Belum lagi jika kita menghitung perputaran uang di semua divisi. 
Begitu banyak orang berkepentingan dengan pundi-pundi uangnya sampai-sampai membawa permainan ini ke sejumlah skandal. Sebenarnya skandal dalam sepakbola bukanlah hal baru. Bahkan negara sepakbola macam Italia juga pernah mengalami skandal hebat. Sejarah pernah mencatat daftar skandal yang menghebohkan di tahun 1980, skandal perjudian totonero, yang melibatkan beberapa klub elit di Serie A dan B. Akibat skandal ini pula AC Milan dan Lazio harus degradasi ke kasta kedua kompetisi di Italia. Tahun 2006, kembali skandal Calciopoli juga melanda klub-klub di Serie A. Akibatnya Juventus harus menyerahkan mahkota gelar juaranya dan turun ke Serie B. Tak cukup dengan menghukum klub, Luciano Moggi sang Presiden Juventus juga harus kena getahnya. Klub lain yang terlibat diantaranya AC Milan, Fiorentina, Lazio dan Reggina. 

Seperti di Eropa sana, sepakbola negeri ini juga tak lepas dari skandal dan intrik. Seperti yang kini banyak menjadi topik yang menjadi bahan berita di berbagai media baik cetak, elektronik, maupun internet beberapa hari terakhir. Semuanya mengupas kisruh menjelang pemilihan bakal calon ketua umum PSSI. Bahkan tak hanya di media saja, di berbagai jejaring sosial dan forum publik lagi gandrung membicarakanya. Kali ini bukan soal permainan tim nasional kita tapi mengenai pro kontra bakal calon ketua umum PSSI. Kisruh pemilihan ketua umum PSSI ini pula, memancing Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng bicara. Menpora bahkan sampai mewarning PSSI agar mentaati peraturan yang berlaku. Keterlibatan Menpora ternyata makin memanaskan suasana hingga ada kesan persaingan antara dua partai besar di kedua pihak dan permainan si kulit bundar ini telah terseret ke jalur politik. 

Seperti di negeri asalnya, di Indonesia, sepakbola tak hanya melibatkan pemain dan wasit dalam tiap-tiap permainan tapi juga telah merambah kepentingan uang hingga politik. Berbagai upaya pun dilakukan mereka yang ingin menarik simpati masyarakat melalui sepakbola, miliaran rupiah uang lenyap dalam satu kompetisi. Tak hanya itu saja klaim seseorang bahwa keberhasilan tim sepakbola atas campur tangan partai tertentu juga tak malu untuk diucapkan. 

Meski baru sekedar isu, dugaan suap yang melibatkan para petinggi PSSI dan penjudi kelas kakap Malaysia dalam putaran pertama Final piala AFF patut untuk ditelusuri. Konon, menurut seseorang dengan nama samaran Elly Cohen, miliaran rupiah masuk ke kocek mereka yang terlibat. Belum lagi adalah dugaan penyuapan wasit, pengaturan pertandingan dalam kompetisi di bawah PSSI. Terbaru adalah rekayasa dalam pemilihan bakal calon ketua Umum PSSI. George Toisutta dan Arifin Panigoro digagalkan oleh tim verifikasi dalam upayanya maju sebagai bakal calon ketua umum PSSI. Ada dugaan kegagalan mereka terkait dengan pencalonan kembali Nurdin Halid. Inilah yang memicu aksi demo suporter di berbagai daerah menentang majunya Nurdin Halid sebagai ketua umum periode mendatang. 

Dengan segala intrik, skandal dan kasus yang terjadi di negeri ini sudah saatnya mengembalikan sepakbola pada posisi semula. Sepakbola menjadi ajang pemersatu bangsa. Saat inilah momen yang tepat untuk mengembalikan sepakbola kembali ke khittahnya. Dimulai dari memperbaiki dan membersihkan noda-noda dari kepengurusan PSSI. Keputusan komite banding menolak banding dari empat bakal calon ketua umum dan exco dan keputusan tim verifikasi meski dilihat dari sisi positif. Semua proses kembali ke titik awal lagi, sehingga memungkinkan munculnya nama-nama lebih banyak yang berkompeten dan jauh dari politik. Aspirasi suporter dan masyarakat juga perlu untuk didengarkan karena sepakbola adalah milik rakyat, bukan milik PSSI, Nugraha Besoes, atau Arifin Panigoro. 

Permasalahanya meskipun diserang dengan berbagai demonstrasi apakah mampu menjamin pemilihan ulang lebih transparan dan terbebas dari akal-akalan pihak yang berkepentingan. Jika ternyata hal itu masih tejadi pemerintah wajib turut campur mengembalikan olahraga ini sesuai pada tempat yang semestinya. Pemerintah tak usah peduli ancaman FIFA. Apalah arti dicoret dari keanggotaan dan tak bisa mengikuti pertandingan tingkat internasional, bukankah selama ini tanpa ada perubahan itu hanya berarti buang-buang duit saja. Jangan jadikan ancaman sanksi sebagai alasan untuk tidak melakukan perombakan besar di tubuh PSSI. Meskipun ternyata harus mengalami kenyataan pahit terkena sanksi saya tetap yakin sepakbola tetaplah sepakbola dan tak bakal kehilangan magnet untuk menarik minat para penggemarnya. 

*)Pemerhati Bola, Tinggal di Yogyakarta 





Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments