Skip to main content

Wajah Ibukota di 100 Tahun Kebangkitan Nasional


Matahari di atas ibukota sudah mulai condong ke Barat menuju Senja. Namun rasa terik serta panas masih begitu terasa. Selepas lelah menikmati pelabuhan kecil Sunda Kelapa saya bersama 3 orang rekan menyusuri kampung-kampung pinggir rel dekat Stasiun jakarta kota. Berjalan melihat sisi lain kota jakarta.

Melihat mereka terbayang puisi Rendra. Mereka, Orang-orang miskin di jalan,yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan,yang diledek oleh impian,janganlah mereka ditinggalkan.(orang-orang Miskin WS. Rendra). Mereka memang berasal dari berbagai wilayah di indonesia. Hal ini bisa diketahui dari bahasa dan logat mereka. sepanjang pemukiman kumuh di pinggir rel saya banyak melihat orang-orang Jawa perantauan yang mengadu nasib di Jakarta.

Lorong-lorong sempit, rumah berhimpit, jemuran hal yang paling sering ditemui dan identik dengan kawasan seperti itu. Namun satu hal yang justru patut dibanggakan adalah rasa kebersamaan, kekeluargaan yang begitu erat dan solid diantara mereka. Coba saja bandingkan dengan warga lain yang menempati pemukiman2 mewah di sudut-sudut kota Jakarta.



Menyusuri rel dan menyapa mereka...Mereka diantara segala resah gelisah sulitnya hidup namun tetap berusaha tegak..

Jakarta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu

kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga
(Sajak 3 kota, Emha Ainun Najib).

Catatan, 17 Mei 2008

Comments

yah memang masih begitu banyak yang mesti dibenahi...
semoga kita bisa dan kita harus bisa!!!

mengutip yang pak hatta rajasa (bener gga ya namanya? hhe yang mentri itu loh? yang ubanan??)

"kalau melihat kegagalan terus pasti akan membuat kita pesimis.. mari kita buat tantangan menjadi peluang!" :)
Fathoni Arief said…
yah emang harus dibangun pertama kali adalah sikap optimis dan ga terus terusan mengeluh..