Skip to main content

Kisah Nenek Lestari Di Pojok Salemba

Waktu baru menjelang pukul 04.30 pagi, Lestari, nenek berusia 77 tahun, sudah bangkit dari tempat tidurnya. Setelah sekedar rapikan diri ia pun melangkah keluar menuju jalan kecil di depan rumah dia tinggal di daerah Salemba.

Di sepanjang jalan kampung, Lestari berjalan santai menyusuri beberapa kali bolak balik. Selepas jalan santai ia kembali ke tempatnya tinggal dan sekedar melakukan olahraga ringan. Setelah cukup mengeluarkan keringat iapun berhenti menuju dapur. Ia menuang air putih di sebuah gelas besar warna putih bening. Dan perlahan menikmati kesegarannya setelah lelah berolahraga.

Saat matahari sudah mulai meninggi, setelah hilang rasa lelah dan capek ia berjalan menuju sebuah pasar yang terletak tak jauh dari tempatnya tinggal. Pasar itu letaknya di Jalan Kramat 4, tak samapi satu kilometer dari tempatnya tinggal. Sehari-hari memang sudah menjadi tugas Lestari untuk belanja, dan menyiapkan makanan buat dirinya sendiri dan 14 orang lain seusianya yang tinggal di rumah tersebut. Sementara rekan-rekan yang lain juga memiliki tugas masing, ada yang mencuci pakaian, bersih-bersih rumah dan sebagainya.

Rumah Tinggal Korban 65

Nenek Lestari merupakan penghuni Panti Jompo Waluyo Sejati Abadi. Di panti inilah Lestari dengan rekan-rekan korban peristiwa 1965 habiskan sisa masa tuanya. Sebuah panti menempati sebuah rumah kecil berlantai dua di Jalan Kramat V, No. 1C, Salemba, Jakarta. Rumah dua lantai berukuran 10 kali 10 meter persegi itu baru dibangun kira-kira lima tahun yang lalu. Menurut Lestari adanya rumah di Jalan Kramat raya tersebut tak lepas dari peran rekannya Sulami, yang beberapa tahun lalu telah meninggal dan pertemuan dengan Taufik Kiemas.

Tahun 2003 dalam sebuah acara yang digelar oleh Presiden Megawati kebetulan Gerwani diundang, termasuk para eks tapol yang jumlahnya banyak sekali. ”Jadi pada tahun 2003 para korban 65 diundang oleh pak Taufik Kiemas.
Lestari mengingat pada saat acara ramah tamah ada Taufik Kiemas yang duduk berdekatan bahkan satu meja dengan ibu-ibu Gerwani. ” Pak Taufik bicara dengan bu Lami hanya dalam bentuk pertanyaan. ” Bu Lami apa ya yang dibutuhkan?” Lestari meniru Taufik. Waktu itu Lami hanya menjawab beberapa kalimat. ” Kalau bisa kantor DPP Gerwani di Jalan Matraman nomor 51 saya minta kembali,” kata Lami seperti ditirukan Lestari. Menurutnya Sulami itu dulunya sekretaris DPP Gerwani bahkan pernah juga menjadi wakil Gerwani di Gerakan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS) di Jerman

Kenang Lestari waktu itu Sulami berterus terang pada Taufik Kiemas ingin sekali mewujudkan sebuah panti Jompo bagi para korban peristiwa tahun 1965. Dalam bayangan Sulami kalau bekas kantor DPP Gerwani yang terletak di jalan Salemba bisa mereka miliki lagi, akan diwujudkan jadi suatu panti untuk membantu para korban dari 65, utamanya bagi yang sudah tidak punya apa-apa. Karena banyak diantara mereka yang rumahnya juga sudah disita dan tak punya keluarga.

Namun ternyata keinginan Sulami untuk memiliki kembali rumah bekas DPP Gerwani di jalan Salemba tak kesampaian. Meski sebenarnya Taufik juga tersentuh dan berusaha membantu namun karena satu hal niat tersebut belum terwujud.

Akhirnya Sulami, Lestari dan sesama rekan korban 1965 lain mencari tempat yang lain. Di Jalan Kramat Raya V mereka mendapatkan sebuah rumah dari keluarga Manado. Menurut Lestari awalnya rumah yang kini sudah direhab itu sangat jelek dan kondisinya mengenasakan. ”Tahun 2003 pindah rumah sini, tapi rumahnya tak sebagus ini. Sudah reot, semua bocor. kalau hujan ya sudah, ngeri pokoknya,” kata Lestari.

Berkat bantuan berbagai pihak akhirnya rumah reot itupun dibangun lagi. Setelah memakan waktu beberapa bulan rumah itupun selesai dibangun. Prosesi peresmian waktu itu oleh Abdurrahman Wahid. ” Memang menjadi suatu berkah dari Tuhan yang maha agung telah memberi pengayoman kepada para korban 65,” kata Lestari.

Tahun 2005 Sulami berpulang. Sejak saat itu pengelolaan panti ini berpindah tangan. Saat ini Ketua yayasanya Dr. Ribka Tjiptani seorang Anggota DPR yang pernah menulis aku bangga menjadi anak PKI.


Di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi ini 15 orang korban peristiwa 65 yang menikmati masa-masa senjanya. Meski rata-rata usianya hampir mendekati 80 tahun mereka masih aktif dengan berbagai kegiatan. Mereka masih menyempatkan membaca koran tiap pagi, mengikuti berbagai program televisi dan berita sebagai acara favorit. Namanya mantan aktivis meski sudah jompopun mereka juga masih sering diskusi dengan beragam tema, mulai sosial, budaya sampai politik, ada pula di antara mereka yang rajin mengikuti seminar, maupun turun ke jalan mengkritisi kebijakan pemerintah. Bahkan tak jarang diantara mereka diundang menjadi pembicara ke berbagai daerah.

Untuk operasional Panti Jompo ini menurut Lestari Yayasan memberi dana satu juta rupiah tiap bulannya. Jumlah tersebut sebenarnya menurutnya tidak cukup namun untungnya ada pihak lain yang membantu. ”Ada semacam donatur seperti yang memberi kursi ini tak mau disebut namanya. Kalau yayasan secara kontinyu tidak ada tapi banyak donatur. Terutama kawan-kawan yang dulu korban terus sekarang masih bisa kembali itu ingat kepada kami. Apakah kadang-kadang sembako, kadang-kadang uang untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi itulah kemurahan Tuhan. Kami tiap hari bisa makan, bisa minum tidak merasa kekurangan,” kata Lestari.


Kisah Masa Lalu Yang Memilukan

Mereka yang menjadi penghuni panti jompo Waluya Sejati Abadi semuanya para korban peristiwa 65. Ada banyak cerita memilukan yang mereka alami. Seperti yang dialami oleh Lestari. Ia berasal dari Bojonegoro Jawa Timur.

Dengan pandangan menerawang masa lalu dan ekspresi pilu Lestari bercerita kisah masa lalunya.” Ceritanya awal saya ditangkap ngeri,” katanya.

Lestari muda seorang aktivis Gerwani. Memang sejak muda ia sudah senang berorganisasi. Waktu usianya baru menginjak 20 tahun bahkan ia sudah ikut konggres Gerwani di Surabaya. Pada waktu itu namanya belum Gerwani, tapi masih Gerwis ( Gerakan Wanita Indonesia Sedar). Ia aktif di organisasi itu selama 15 tahun hingga pernah menjabat sebagai ketua cabang di tanah kelahirannya, Bojonegoro, Jawa Timur.

Selama bergabung dengan Gerwani, Lestari memiliki banyak kegiatan, mulai dari memperjuangkan buruh dan petani perempuan, memperjuangkan undang-undang perkawinan yang melarang poligami dan perceraian yang merugikan perempuan, juga membuat pendidikan untuk perempuan. Bahkan menurutnya waktu itu Gerwani berhasil mendirikan sekolah dan taman kanak-kanak di setiap cabang.

Setelah peristiwa 30 September 1965 meletus, nasib Lestari sekeluarga juga berubah. Mereka, dimasukkan dalam kategori yang harus ditangkap. Ia melarikan diri bersama anaknya yang baru berumur dua tahun. Suaminya kebetulan juga seorang pimpinan PKI yang juga masuk dalam daftar tangkap. Selama melarikan diri anaknya yang baru lahir dia titipkan kepada tetangganya. Pada tahun 1967, Lestari tertangkap oleh tentara di pantai Blitar Selatan. Dalam peristiwa itu Lestari kehilangan anaknya yang baru berumur dua tahun untuk selama-lamanya. Ia kemudian ditahan selama 11 tahun di Malang. ” Saya ditahan di LP khusus perempuan, jalan Merdeka Timur ,Malang. Sekarang sudah berubah menjadi Ramayana. Itu dulu simbah ditahan di situ mulai tahun 1968 hingga tahun 1979,” kata Lestari.

Ia dibebaskan tahun 1979, namun sang suami divonis mati dan mendekam di penjara Surabaya hingga meninggal pada 1984 karena sakit. Perkenalan Lestari dengan tokoh Gerwani Sulami, mengantarkannya ke Jakarta pada awal 2000. Ia diajak membantu Sulami mengurus Panti Waluyo Sejati Abdi di Kramat, Jakarta Pusat.

Senasib dengan Lestari, Pujiati (77) juga mengalami masa-masa harus hidup di bui, selama 14 tahun. Nenek kelahiran Purworejo ini ditahan tanpa proses akibat keikutsertaannya dalam Serikat Buruh di tempatnya bekerja, PT. Unilever.

Pujiati juga sosok yang aktif disamping kegiatannya di Serikat Buruh ia juga sebagai ketua Rukun Warga di tempat ia tinggal waktu itu yaitu daerah Sunter. ” Daerah Sunter dulunya semak belukar, jalan setapak tempat jin buang anak. Sekarang sudah jadi kota,” kenangnya.

Keaktifan Pujiati itu justru membawa malapetaka waktu pecah peristiwa 1965. Ia mulai ditahan pada 10 oktober 1965 tanpa proses dan keluar juga tanpa proses. ” Saya selama 14 tahun menjalani masa tahanan. Pada tahun 1979 waktu peringatan 100 tahun ibu kartini sebagai hadiahnya saya dikeluarkan. Menjalani tahanan di LP Bukit Duri 4 tahun. Kemudian di plantungan kendal 10 tahun. Terus jelang bebas dibwa ke Semarang,” katanya.

Setelah bebas Pujiati mencari nafkah dengan keliling jualan gado-gado. Suaminya sebenarnya aktivis juga tapi karena tak begitu aktif seperti dirinya jadi diberikan kebebasan. Semangat nenek yang pada waktu gerilya juga berada di garis depan sebagai palang merah, dapur umum, tak surut.

Berlatar belakang nasib yang sama penghuni panti Jompo Waluya Sejati Abadi Jalani kesehariannya. Di rumah ini Lestari dan 15 orang sepuh lainnya berlindung dan berbagi. Mereka memiliki kesamaan nasib sebagai korban peristiwa 1965, mereka pun hidup bersama di Panti Jompo Waluyo Abdi Sejati.

Bertemu Keluarga

Selain harus hidup bertahun-tahun di bui, menanggung stigma negatif dan dikucilkan dari masyarakat banyak diantara para korban yang terpaksa harus berpisah bahkan kehilangan orang-orang yang dicintainya. Beban tersebut tak hanya dirasakan oleh korban tapi juga keluarganya. Banyak anak-anak mereka yang tidak bisa menjadi pegawai negeri karena saat pelaksanaan litsus diketahui bahwa orang tua mereka mantan tapol.

Lestari termasuk yang harus kehilangan dua orang anaknya. Waktu di Blitar selatan ada operasi yang gencar oleh militer yaitu ada operasi Trisula. Anak Lestari waktu itu yang paling besar namanya Genduk. Waktu ditinggal, dia berumur 4 tahun, sampai sekarang belum bertemu.

Tigapuluh tahun ia bertemu seorang anaknya yang hilang itu. Saat bertemu anaknya ia sudah memiliki cucu. Saat ini anaknya tinggal di daerah Blitar. ” Saya bersyukur sekali kepada tuhan Yang Maha Esa ternyata yang bisa menerima anak saya termasuk ayah ibu angkatnya termasuk bijaksana. Anak saya disekolahkan hingga SPG. Itu yang saya sangat terima kasih,” katanya.

”Anak saya termasuk yang berhasil artinya hingga saat ini bisa menekuni menjalani tugasnya dengan baik,” kata Lestari.

Ternyata anak Lestari yang hilang itu dirawat hingga besar oleh keluarga guru. Bahkan anaknya disekolahkan hingga lulus SPG. Lulus SPG sempat ia bekerja di Tunjungan Plasa Surabaya sampai kira-kira cukup untuk biaya kuliah lagi. ” Akhirnya anak saya mengajar di madrasah hingga saat ini. Bagi saya yang penting anak saya mencintai profesinya. Kalau seorang guru itu boleh dikata pengabdian di bidang pendidikan,” katanya.

Meski sudah tahu keberadaan anaknya lestari memilih tetap tinggal di Jakarta. Ia tak ingin membebani anaknya dengan dirinya. ” Karena situasi masih belum memungkinkan kalau di desa stigma PKI masih kuat. Beda dengan Jakarta itu,” katanya.

Jakarta, 2008

Fathoni Arief

Comments

Anonymous said…
duka mu adalah kesalahan kami yg tak tau makna hidup. kesedihan mu adalah beban kami yang terlena atas keramaian. semangat mu adalah perlawanan bagi kami yang mencari kebenaran
Anonymous said…
ada puluhan ribu nenek-nenek kita bernasib sama bahkan lebih menderita, orde baru menanggung dosa yang sangat berat, saatnya pengadilan akherat nanti yang akan memutuskan seadil-adilnya. Ini hanya dunia, bukan kehidupan yang sesungguhnya, sementara akherat adalah kehidupan sesungguhnya dan kekal abadi, masuk nerka ataupun syurga ditentukan dari raport kita di dunia ini, semoga Orde Baru dan anteknya menyadari dan meminta maaf pada mereka, supaya terkurangi dosa beratnya.
Fathoni Arief said…
Setuju. Ada banyak nenek-nenek lain yang nasibnya jauh lebih buruk.