Skip to main content

Mudik Itu Urusan Rindu dan Rindu Itu Seperti “Dendam Yang Harus Dibalas”

Seorang kawan sambil membersihkan motor mengirim pesan ke salah satu grup Whats App.

"Persiapan mudik". Karena penasaran saya pun bertanya,

"Mau mudik naik sepeda motor bro?".

Rasa penasaran muncul karena kawan saya ini tinggalnya di Jakarta dan punya 4 orang anak. Bayangkan saja, bagaimana jika harus mudik dari Jakarta ke Tulungagung naik sepeda motor. Kira-kira bagaimana dengan anak istrinya.

"Kalau sudah terpaksa bro," jawab teman saya setelah beberapa saat. Membaca balasan tersebut, hati saya masih khawatir dan berharap teman saya ini memilih angkutan umum saja.

Kerinduan akan kampung halaman memang membuat orang berusaha mati matian untuk bisa mudik. Mirip judul film seperti dendam, rindu juga harus dibalas. Benar, setelah dua tahun "dilarang" mudik karena pandemi, nampaknya tahun ini jutaan orang bakal mudik ke kampung halaman. Jauh hari, Kementerian Perhubungan sudah memperkirakan ada 79,4 juta orang yang akan mudik di musim Lebaran 2022. 

Para pemudik tersebut berasal dan menuju berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Sebagian besar pemudik tahun ini diperkirakan berasal dari Jawa Timur, sekitar 13,6 juta orang. Urutan kedua adalah dari Jabodetabek dengan 13 juta pemudik. Selanjutnya, 11,2 juta orang berencana mudik dari Jawa Tengah. Pemudik dari Jawa Barat juga cukup tinggi yaitu 8,6 juta. Dan sisanya dari Sumatera dan wilayah lain.

****

Saya sendiri pernah merasakan bagaimana suka maupun dukanya saat mudik. Saya pernah merasakan seperti apa rasanya berjam-jam mengalami kemacetan di atas bus Harapan Jaya di daerah Pantura. Saya juga pernah merasakan sesuatu yang cukup getir juga, saat di awal-awal pernikahan kami berdua “ketipu” naik bus dari Jogja ketika hendak mudik ke Tulungagung. Padahal saat itu uang yang kami punya sebenarnya sudah mepet.

Meskipun demikian mudik tetaplah berkesan karena tak hanya duka saja, ada banyak suka yang saya alami ketika mudik dulu. Semua duka saat berangkat entah karena macet atau apa bisa tertutupi dengan nikmatnya berbuka di perjalanan. Bagaimana rasanya ketika bus yang saya tumpangi melintas perbatasan kota kelahiran atau ketika kereta jelang beberapa ratus meter dari stasiun tujuan. Semua hal yang ga enak-enak menyingkir.

Tidak berhenti sampai disini tapi bahagianya mudik juga hadir ketika sudah sampai rumah. Inilah justru yang paling utama. Semuanya masih teringat jelas ketika jelang Subuh saya dan istri naik becak ke rumah dan sudah dinanti bapak dan ibu. Tak hanya itu saja, ada banyak cerita lain yang bakal mengisi saat saat mudik seperti berjumpa kawan lama, kawan masa kecil, mengunjungi tempat tempat kenangan dan masih banyak lagi. Dengan agenda yang begitu banyak waktu berhari-hari terasa begitu cepat.

Begitu berartinya "mudik" saya jadi faham bila sampai "dibela belain" dengan segala cara asal bisa pulang ke kampung halaman. Seperti yang terjadi tahun lalu saat kasus korona masih tinggi, meski ada larangan mudik tetap saja mereka mencari segala cara. Jalan utama ditutup bisa saja mereka menemukan rute-rute baru yang aman.

Dulu ada tetangga saya di Tulungagung yang mudik menggunakan motor niaga roda tiga dari Lampung. Tetangga saya berada di depan sedangkan anak istri di gerobak barang bagian belakang.

Ada juga senior saya waktu kerja di Jakarta naik motor dari Jakarta ke Surabaya, padahal waktu itu sedang musim penghujan. Dengan tekad kuat bisa bolak balik Jakarta Surabaya meski harus korban beberapa jas hujan yang terkoyak terkena hujan dan angin.

Satu lagi peristiwa mengerikan saat mudik terjadi di tahun 2016. Waktu itu di exit tol Brebes terjadi kemacetan sangat parah. Kemacetan parah dan menakutkan terjadi pada simpang jalan setelah gerbang keluar tol di Brebes Timur, Jawa Tengah. Kemacetan ini dikenal dengan tragedi Brebes Exit (Brexit). 

Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 17 orang meninggal dunia akibat kemacetan parah tersebut, korban meninggal karena mengalami stres dan kelelahan serta akibat kecelakaan lalu lintas akibat macet yang tak bisa terurai di badan jalan tersebut.

Dengan terjadinya beberapa kejadian tak mengenakkan saat mudik apakah minat orang turun? Jawabannya tidak. Tetap saja, mereka rela berdesakan di kendaraan umum, bermacet macet dan Berjam jam di mobil atau sampai naik motor ratusan kilometer jaraknya. Karena itulah serba serbi mudik, setelah berbulan bulan bekerja di rantau mudik menjadi momen untuk mengisi "baterai" lagi. Meskipun dengan segala halangan dan rintangan yang harus dihadapi. Mudik itu memang berat tapi tak seberat "rindu". Meskipun harus keluar biaya, tenaga dan menyita banyak waktu harapan untuk bisa mudik dan bisa berlebaran dengan keluarga tetap jadi pilihan utama.


Fathoni Arief


Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments