Skip to main content

Dari "Pelabuhan Kecil" Tempat Chairil Mencari Cinta

Waktu baru menunjukkan pukul setengah sepuluh, namun cuaca panas sudah mulai terasa di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Di sepanjang dermaga pelabuhan yang terlihat hanya kumpulan kuli-kuli yang membongkar muatan bersak-sak semen dari truk-truk ke perahu-perahu yang telah bersandar. Semen-semen tersebut hendak dikirim ke pulau Kalimantan.

Sunda Kelapa memang memegang peranan cukup penting dalam lalu lintas pengiriman barang ke pulau Borneo tersebut. Selain semen terkadang datang juga material dari sumber daya alam Kalimantan berupa kayu-kayu bahan bangunan. Tak hanya satu dua kapal yang bersandar di dermaga pelabuhan Sunda Kelapa namun sampai puluhan. Diantara kapal itu bisa dijumpai kapal pinisi yang dianggap sebagai warisan kejayaan masa lampau.




Berjalan berkeliling pelabuhan yang sudah sangat tua ini sudah sulit suasana kejayaannya seperti di masa lampau. Pelabuhan yang dulu memegang peranan penting semasa kerajaan Pakuan Pasundan hingga masa pendudukan Belanda kini tak lebih hanya sebagai pelabuhan biasa yang kotor dan tak terawat.

Penduduk keturunan Bugis

Di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa ini banyak terdapat penduduk keturunan suku Bugis, suku yang begitu terkenal sebagai pelaut. Keberadaan perahu Pinisi tak lain juga menjadi pertanda keberadaan mereka. Bahkan banyak diantara mereka yang sudah bertahun-tahun mendiami wilayah sekitar pelabuhan Sunda Kelapa.



Tempat Chairil Mengenang cintanya

Dalam sebuah sajaknya Chairil Anwar pernah bercerita tentang "Senja Di pelabuhan kecil". Satu sajak yang ia persembahkan buat Sri Ayati. Menurut Sri Ayati, Sunda Kelapalah pelabuhan kecil yang dimaksud dalam puisi Chairil. Dalam Sajak itu dengan satu imajinasi bisa dibayangkan indahnya pelabuhan saat itu. Membayangkan Chairil yang sedang kasmaran berjalan diantara perahu-perahu yang tertambat tidak berlayar dan dari kejauhan nampak elang yang terbang mengitarinya.


Saat ini sulit membayangkan hal itu. Berjalan di pelabuhan ini bukan kesan indah yang didapat namun debu-debu yang tertiup oleh angin yang seringkali membuat batuk-batuk mereka yang melintasinya. Belum lagi melihat kumuhnya pemukiman yang ada dan bertolak belakang dengan bangunan-bangunan megah yang memberi satu kesan jurang perbedaan antar kelas.


Meski tak seperti dulu lagi diantara udara berdebu, cuaca panas serta air yang dikotori sampah masih tersimpan begitu banyak cerita yang ada dari dulu hingga kini. Tempat sangat bersejarah yang jadi saksi berbagai peristiwa-peristiwa penting.

Sang Surya terus begerak menuju ke tengah. Cuaca makin panas namun pelabuhan tua ini belum menghentikan aktivitasnya. Orang-orang yang sibuk mengangkut semen dan suara besi yang dipukul-pukul masih terdengar. Pelabuhan tua ini meski tertatih-tatih masih tetap berjalan.

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
1946

Catatan dari Pelabuhan Sunda Kelapa, 17 Mei 2008







Comments