Skip to main content

Pelangi Di Langit Bogor


Hujan masih menyisakan rintik-rintik lembut ketika langkah kaki saya melewati jalanan di dekat Kebun raya Bogor. Saya berjalan dengan ekstra hati-hati karena sandal yang saya pakai ternyata cukup licin ketika menyentuh tegel trotoar. Maka ketika kondisi memungkinkan saya lebih memilih berjalan melewati pinggiran jalan diatas permukaan aspal.

Di sekitaran Kebun Raya kendaraan masih Nampak ramai. Minggu ini kota ini memang tengah memiliki acara besar. Ada pawai dalam rangka peringatan Cap Go Meh. Pawai yang membuat masa berbondong-bondong mendatangi sebuah Vihara yang terletak di jalan Surya Kencana. Masyarakat cukup antusias menikmati pawai ini. Meskipun sempat diguyur hujan yang cukup deras ternyata jumlah penonton tak banyak berkurang.


Sebenarnya acara pawai dimulai pukul 4 sore. Namun sempat tertunda ketika hujan deras turun. Penonton dan peserta sempat berlarian mencari tempat berteduh. Termasuk diantara mereka saya mencari tempat berlindung dari hujan. Namun ternyata hujan makin deras saja. Saya sempat basah kuyup. Untung saja ada seorang ibu yang nampaknya salah satu umat di Vihara tersebut. Ibu itu menawarkan payungnya karena dia sudah terlindungi dengan mantel hujan yang menutupi tubuhnya. Sesaat payung tersebut cukup bermanfaat. Namun hujan yang makin deras membuat saya memilih berlari berteduh di halaman Vihara. Di sana banyak juga peserta lain yang berteduh. Hujan makin deras saja dan perlahan air mulai menggenangi halaman Vihara.

Karena waktu terus berjalan meski hujan masih enggan berhenti panitia memutuskan acara tetap dimulai apapun yang terjadi. Pawaipun kembali dimulai diawali dengan pertunjukan silat ketika waktu mendekati pukul 5. Beragam bentuk atraksi dipertunjukkan mulai dari Barongsay dari berbagai perwakilan, Naga, dan masih banyak lagi.

Dengan badan yang mulai letih dan baju yang masih basah aku terus melangkah. Menikmati masa-masa jelang senja di kota yang sempat ditinggalkan penghuninya ketika kerajaan Padjajaran dihancurkan ini. Hingga perhatianku tertuju pada sesuatu yang sudah lama tak kulihat. Nampak pelangi menghiasi langit Bogor. Fenomena alam ini sudah lama tak kulihat. Mungkin lama sekali. Dulu sewaktu maih duduk di bangku SD saya sering melihat fenomena ini tiap kali main hujan. Sering sekali. Entah kenapa sekian lama tak bisa kulihat pelangi.

Akupun terus melangkah menuju stasiun Bogor. Sempat berhenti sebentar di pedagang kaki lima. Mengisi perut dengan mie Ayam sekedar mengisi perut yang belum sempat makan siang. Ternyata cukup murah juga selembaran uang warna merah itu masih ada kembalian selembar warna coklat.

Dari pedagang mie ayam aku kembali melangkah. Hanya beberapa puluh langkah kaki di samping kana kulihat seorang ibu pengemis dengan balita kecilnya. Mereka masih duduk di pinggir trotoar meskipun kondisinya basah dan hujan masih jatuh meskipun hanya rintik-rintik. Melihat mangkok plastik didepan mereka hanya berisi recehan secara spontan selembar uang kembalian mie ayam berpindah ke mangkok mie tersebut. Semoga saja mereka lekas berteduh dan mencari tempat istirahat yang lebih layak.

Di stasiun Bogor antrian penumpang terlihat memanjang di depan pintu loket. Namun loket untuk kelas ekonomi AC belum dibuka. Waktu itu hari sudah menjelang Maghrib. Sambil menunggu saya mampir ke gerai yang dikenal dengan donutnya. Saya memesan kopi panas dan donut coklat. Di dekat tempat saya duduk terlihat seorang ibu muda dengan anak kecilnya. Si anak berbaju hangat menunggu ibu cantiknya menyuapinya dengan donut dan minuman hangat. Kembali saya teringat ibu pengemis dan anak kecil di pinggir jalan tadi. Beruntungnya anak kecil di depan saya. Meskipun ketika saya lewat di depan pengemis tadi tak terlihat duka di wajah bocah kecil anak pengemis. Masih tersirat keceriaan di wajahnya.

Tak mau terlambat kereta saya bergegas menghabiskan kopi dan donut setelah melihat pintu tiket mulai dibuka. Kereta AC ekonomi yang paling dekat diberangkatkan adalah jurusan Tanah Abang. Karena waktu masih cukup lama saya masih cukup leluasa untuk menjalankan kewajiban Sholat Maghrib.

Dengan tubuh yang mulai letih dan pegal saya memilih tempat duduk di sebuah gerbong. Di samping saya seorang ibu dengan anak laki-laki kecilnya. Nampak perbincangan diantara mereka namun kurang jelas apa yang dibicarakan. Kecuali ketika si ibu dan dan anaknya melafalkan bacaan sholat. Ketika si anak berhasil membaca dengan lancar si ibu memuji putra kecilnya.

Kereta terus melaju hingga akhirnya saya turun di stasiun Pasar Minggu baru. Ada beragam orang, beragam sosok yang saya amati hari ini. Mereka memiliki kisah yang berbeda. Mereka berwarna-warni. Paduan kisah merekalah yang membuat indah kehidupan. Seperti pelangi yang nampak di langit Bogor sore ini.

Bogor 28 Februari 2010

Fathoni Arief

What A Wonderful World (Luis Amstrong)

Comments