Skip to main content

Lelaki Penjaga Masjid Bayah

Suasana Dalam Masjid

Bapak tersebut bergabung dengan kami. Pembicaraan awalnya hanya dimulai dengan sekedar basa-basi tentang keberadaan kami. Namun makin lama topiknya ternyata makin menarik. Dibalik sosok lelaki berpeci, dengan kacamata tebal, baju gamis lusuh dan sarung tersimpan beragam kisah yang membuat kami manggut-manggut mengikuti ceritanya.

Lelaki itu kira-kira usianya jelang enampuluh tahun. Intonasi suaranya tegas. Dari cerita dan hal-hal yang disampaikan menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Dia mengerti tentang batu-bara mulai dari proses perijinan, kelengkapan menambang, kualitas, cara menambang dan jenis-jenisnya. Pembicaraan tentang batu bara ini dipicu dari banyaknya tumpukan batubara yang kami lihat di sepanjang jalan menuju bayah. Di daerah Bayah menurut bapak ini memang penghasil batu-bara. Namun batu baranya belum terlalu tua selain itu kandungan sulfurnya juga tinggi sehingga kualitasnya masih jauh jika dibandingkan dengan batu-bara misalkan dari Kalimantan.

Kalimantan, di pulau terbesar di Indonesia ini lelaki itu pernah mengadu nasib. Ia mencoba peruntungan berbisnis batu-bara. Namun apalah daya. Karena persaingan tak sehat bisnisnya hancur. Benar-benar hancur menurutnya hingga ia tak punya apa-apa lagi dan memutuskan hidup dari masjid ke masjid.

“Saya hancur karena perempuan. Maka kalian-kalian yang masih muda ini jangan pernah main perempuan,” kata sang Bapak kepada kami.

Sempat saya bertanya tentang keluarganya. Lelaki itu terdiam sesaat hingga kemudian berkisah tentang masa lalunya. Dulu ia bukanlah orang yang miskin bahkan termasuk berkecukupan. Punya beberapa rumah dan mobil. Ia sempat tinggal di Jakarta bekerja di sebuah instansi. Karena suatu hal yang dipicu kebiasaan buruknya main perempuan semuanya perlahan hancur, termasuk keluarganya. Bahkan puncaknya ia memutuskan keluar dari kerjanya dan pergi ke Kalimantan mencoba bisnis batu-bara. Namun semuanya tak selalu seperti yang diharapkan.

Di Kalimantan ia gagal hingga ia menemukan cahaya memutuskan mengikuti jalan Allah. Ia hidup dari masjid ke masjid lepas kontak dari keluarga, termasuk kedua anaknya sejak beberapa tahun lalu. Ia menikmati sisa kehidupannya di jalan yang dulu sangat jauh darinya, jalan Agama.

“Rencananya kalian nanti menginap dimana?”

Awalnya kami berencana tinggal di penginapan. Alasannya kemarin kami sudah menginap di sebuah masjid di daerah Pelabuhan Ratu. Kami istirahat kurang nyenyak sehingga cukup berpengaruh pada stamina kami.

“Nanti menginap disini saja. Kalian bisa istirahat santai,bersih-bersih dan beribadah!”

Tawaran bapak tersebut rupanya cukup menggoda kami. Meskipun terletak di kecamatan yang jauh dari kota Masjid itu sangat bersih, kamar mandinya tidak terlalu bagus namun tidak berbau, tidak licin dan airnya bagus. Apalagi bapak tersebut sempat bercerita banyak yang sering singgah untuk menginap di masjid ini.

Lelaki itu kembali bercerita tentang aktivitas kesehariannya. Setiap hari ia tinggal di masjid ini. Sudah hampir dua tahun ia tinggal. Ia sebenarnya bukan merbot di sini. Ia cuma sekedar numpang tinggal dan minta ijin ikut membersihkan masjid sambil menghabiskan harinya dengan beribadah.

Kami memutuskan mempertimbangkan tawaran dari lelaki tersebut. Jika memungkinkan selepas berkeliling mencari hal-hal menarik di sekitar Bayah untuk diabadikan lewat kamera digital kami akan balik ke masjid ini. Selain masih banyak hal yang ingin kami ketahui. Masih banyak pelajaran tentang hidup yang belum saya dapatkan.



*****

Akhirnya kami memang benar-benar bermalam di masjid itu. Selepas lelah berburu foto kira-kira jam setengah Sembilan malam kami tiba di masjid itu. Ternyata lelaki tua itu sudah menunggu. Menyambut dan mempersilahkan kami bermalam di masjid.

Lelaki itu duduk di belakang Masjid sambil mendengarkan radio transistor. Inilah hiburan satu-satunya ketika dia merasa rindu akan keluarga. Siaran radio membuatnya tidak merasa sendiri. Salah satu radio yang rutin ia dengarkan adalah radio netherland dan Suara Amerika yang biasanya disiarkan pada pagi hari. Dari sini menurutnya ia bisa mendapatkan perkembangan dunia yang paling mutakhir.

Meskipun bukan hotel yang mewah rasanya menginap semalam cukup nyaman. Kami semua tertidur pulas sebelum terbangun oleh adzan Subuh.

Pagi hari itu pula kami berpamitan dengan lelaki itu. Sesaat sebelum pamit saya bertanya siapakah namanya. Hmm dia menyebut nama aslinya, namun ia lebih suka dipanggil Mang Uban. Sayapun juga tidak akan menyebut nama asli dan jatidiri Mang Uban demi ketenangan hidupnya.

Pernah ada penduduk yang bertanya sampai kapan ia akan tetap tinggal di masjid? Ia menjawabnya sampai tugasnya selesai jawabnya. “Anggap saja ini semua sebagai kegiatan yang saya lakukan sebagai penebus dosa di masa lalu. Penjara sebelum saya dinyatakan bersih dan berhak masuk sorga” katanya.

Ia juga tidak berniat kembali ke anak-anaknya. Menurutnya sudah terlalu banyak kesalahan yang ia perbuat. “ Saya sudah terlalu banyak wanprestasi terhadap anak-anak saya”. Selama ini anak-anak dan keluarganya tidak ada yang tahu jika ia berada di Bayah.

“Jika berjodoh semoga suatu saat bisa bertemu lagi. Pesan saya bagi kalian-kalian yang masih muda jangan pernah main perempuan”

Senyum Mang Uban melepas kepergian kami. Dari senyumnya saya membayangkan sejuta kerinduan akan anak-anaknya yang menurutnya usianya tak jauh beda dengan kami. Keinginannya hanyalah mendekatkan diri dan menebus segala kesalahan di masa lalu.

Bayah, 26 Desember 2009


Fathoni Arief

Comments