Skip to main content

Catatan Dari Bayah


Sebenarnya ada perasaan sedikit tidak enak jika harus makan di warung lain. Karena warung mami juga menyediakan makanan ringan seperti mie rebus dan goreng. Namun kami tetap memutuskan pergi keluar saja mencari warung lain. Sebelum kami pergi suami Mami mewanti-wanti kami jangan beli di warung di sebelah bawah seberang jalan.

Suasana jalan malam itu cukup gelap. Untung saja kami masing-masing memiliki senter kecil yang kami beli di perjalanan. Lumayanlah meski tidak terlalu terang. Maklum saja harganya juga Cuma 5000 rupiah. Senter kecil buatan Cina dengan lampu led warna putih dan sudah dilengkapi dengan korek gas.

Sekira 200 meter dari tempat Mami kami berhenti. Sebuah warung semi permanen berdinding bambu. Di depan warung nampak 3 orang lelaki tengah ngobrol entah apa yang mereka bicarakan.

Kami memesan mie rebus sambil menunggu pesanan salah satu bapak-bapak yang duduk di sisi sebelah Timur depan warung menyapa kami. Bermula dari sinilah kami mendapat cerita-cerita yang menarik. Lelaki itu saya perkirakan berusia sekitar 4o tahunan. Ia tinggal di daerah Pelabuhan Ratu. Sebelumnya selama bertahun-tahun ia pernah merantau mulai dari Jakarta hingga ke negeri Jiran Malaysia. Selama di Jakarta ia bekerja di sebuah hotel di daerah Gadjah Mada. Tak heran ia bisa membandingkan jumlah tamu hotel antara hotel di Pelabuhan Ratu dan daerah Gadjah Mada.

Di Pelabuhanratu memang terdapat sebuah hotel yang cukup legendaris. Hotel yang dibangun di era pemerintahan Presiden Soekarno, Hotel Samudera. Hotel ini konon didanai dengan harta pampasan perang Jepang. Namun kini pamor hotel tersebut mulai redup. Jumlah pengunjung menurut lelaki tersebut bisa dikatakan kurang sehingga harus disubsidi silang dengan hotel lain yang masih satu manajemen. Hotel Samudera, Pelabuhanratu dan sekitarnya pernah menjadi buah bibir. Dari lelaku itu saya dapat cerita Sultan Brunai pernah menawar untuk membeli dengan harga yang menggiurkan namun ditolak dengan pertimbangan tertentu.

Lelaki yang gaya bicaranya kalem tersebut ternyata punya kisah menarik ketika bekerja di Malaysia. Waktu itu ia bekerja di perwakilan pemerintah Indonesia di sana. Meskipun dibalik instansi yang besar saat itu gajinya relatif pas-pasan. Awalnya ia menerima apa adanya lalu perlahan ia mulai belajar dari sekitarnya. Ia belajar dari bagaimana rekan-rekannya mendapatkan penghasilan tambahan.

Akhirnya ia mendapatkan ide. Ia menjadi pemasok rokok-rokok dari Indonesia. Kegiatan yang menurut pengakuannya ilegal. Ia harus mengeluarkan upeti untuk memuluskan usahanya tersebut. Rokok yang ia masukkan tak hanya satu atau dua kardus. Berkardus-kardus. Kegiatan yang beresiko tinggi namun mampu menambah pemasukan yang sangat lumayan. Tak lama ia bertahan di sana. Lelaki itu akhirnya memutuskan kembali ke tanah air. Ia membuka usaha kecil-kecilan di Pelabuhanratu hingga saat ini.

Mereka juga bertanya tentang kegiatan kami. Apa saja yang kami lakukan, dimana kami menginap. Secara tak sengaja kami mendapat tawaran dari mereka untuk mengantar kami kembali ke Masjid di Bayah. Tentu saja kami tetap membayar namun mereka tak mematok berapa yang harus kami keluarkan.

Selepas mengambil barang-barang yang kami titipkan di tempat mami Kunti segera kami menuju ke Bayah. Rintik-rintik hujan yang makin membesar tak menghalangi motor-motor yang membawa kami melaju ke arah Barat. Untung saja kami masing-masing membawa tas yang kedap air sehingga barang-barang kami aman.

Jarak antara Karangtaraje menuju Bayah sebenarnya tidak terlalu jauh. Tak sampai sepuluh menit akhirnya kami tiba di Masjid tempat kami bakal menginap. Mendengar suara motor lelaki yang kami kenal selepas sholat Jumat sudah menyambut dan mempersilahkan kami bersih-bersih dan beristirahat.

What A Wonderful World (Luis Amstrong)

Comments