Skip to main content

Pulang


“Le bagaimana kabarmu? Sehat kan. Simbok, Mas dan Mbakyumu semua sehat. Alhamdulillah jika tak ada kendala, sebentar lagi sawah milik Simbok sudah siap dipanen. Oiya sapi dan kambing kangmasmu sudah beranak pinak. Masmu sudah bernadzar Insya Allah beberapa bulan lagi bisa disembelih buat syukuran lulusanmu nanti “.

SMS terakhir dari Simbok melalui Mbak Sri dua bulan masih tersimpan di ponselku.

Setiap kangen rumah, membaca pesan singkat dari keluargaku mampu jadi pengobat rindu dan penyemangatku menyelesaikan studiku. Meskipun tak bisa kupungkiri, sebenarnya aku sudah begitu rindu dengan mereka, ingin pulang, atau setidaknya menghubungi simbok dan saudara-saudaraku lewat telfon. Namun simbok selalu melarang. Kata Simbok jadi lelaki harus kuat, tidak cengeng, selain itu tak ingin konsentrasiku terpecah sehingga mengganggu saat-saat menentukan di akhir studiku. Aku harus kuat sebulan lagi tugasku selesai.

Kerinduan membawa keping-keping kenangan akan kampung halamanku. Semuanya mirip pecahan kaca warna-warni dan menyatu menjadi sebuah mozaik yang indah.” Aku rindu kampung halamanku,”. Kini, Ingatanku kembali pada peristiwa malam itu, di sebuah rumah gebyok, berdinding bata, warna putih kusam dengan halaman seluas lapangan voli, tempat anak-anak kecil setiap sore bermain kelereng. Di rumah itulah, aku dilahirkan dan dibesarkan.

Ba’da Isya para tamu undangan telah berdatangan. Simbok menunaikan nadzarnya, jika aku lolos beasiswa keluar negeri seperti cita-citaku, beliau bakal menyembelih seekor lembu jantan dan mengundang warga untuk syukuran. Simbok memang bukan orang kaya raya, tapi untuk urusan berbagi aku begitu salut pada beliau.

Di depan rumah Mas Anto sibuk menerima tamu undangan. Di sampingnya berdiri Pak Lurah yang sudah seperti orang tuaku sendiri. Pak Lurah merupakan sahabat karib Bapak semasa kecil hingga meninggalkanku sepuluh tahun yang lalu.

Ternyata Pak Lurah melihat keberadaanku. Lelaki yang rambutnya sudah dipenuhi uban tersebut langsung menghampiriku. Segera aku menyongsong dan menyalaminya. Ia langsung menepuk pundakku dengan senyuman khasnya.

“Selamat ya le! Akhirnya ada juga putra asli daerah sini yang bisa kuliah sampai negeri landa,“.

“Suwun Pak Lurah, atas doa dan dukungan selama ini,”jawabku,

“Aku bangga le. To adikmu ragil ini memang hebat,”kata orang nomor satu di desa ini sambil melirik Mas Anto yang hanya tersenyum kecil.

Di kampungku memang belum ada pemuda yang kuliah hingga keluar negeri, apalagi lolos melalui beasiswa. Kalau lulusan sarjana sudah cukup banyak. Teman-teman sepermainanku juga ada beberapa yang sekolah hingga jadi guru SMK dan SMP. Ada juga yang kembali ke kampung selepas lulus memilih jadi petani. Jadi keberhasilanku kuliah ke Belanda menjadi kebanggaan tak hanya keluargaku tapi juga orang sekampungku.

Waktu terus berjalan, tamu undangan telah memenuhi ruang tamu dan teras depan. Mereka duduk bersila di atas tikar plastik. Mereka menanti acara dimulai sambil berbincang, ada saja tema yang dibahas mulai dari sepak bola, pemilihan kepala daerah hingga masalah hewan ternak. Riuh rendah suara mereka hilang ketika seseorang berbaju koko warna putih, berpeci putih dengan sorban melingkar di leher menyela pembicaraan mereka. Lelaki tua itu, Kiai Ahmad, tokoh agama di kampung ini mulai memimpin acara membaca surat Yasin. Setelah itu yang terdengar di rumah ini hanya lantunan ayat suci yang menyebar melalui pengeras suara milik Lek Yadi.

***

Dua bulan berlalu, setelah bekerja keras, fokus dan berdoa, selesai juga studiku di Belanda. Aku berhasil lulus cepat, dengan nilai yang cukup memuaskan. Aku memang tidak menjadi yang terbaik namun dengan nilai diatas rata-rata aku sudah bisa berjalan dengan tegak.

Orang pertama yang ingin kuberi kabar membahagiakan ini adalah Simbok. Aku sudah membayangkan betapa bahagianya Simbok, Mbak Sri, dan Mas Anto. Aku juga sudah menebak hal lain yang bakal mereka tanyakan selepas kabar lulusku. Satu pertanyaan yang pasti “ Wes ana calon durung Le?”.

Diantara putra-putri Simbok, memang tinggal aku sendiri yang belum berumah tangga. Mbak Sri sudah menikah dengan Mas Rusdi, seorang guru SD teman kuliahnya duabelas tahun lalu. Dari hasil pernikahanya mereka punya dua orang momongan, yang tertua sudah kelas 5 SD, sedangkan yang kecil masih duduk di bangku TK.

Mas Anto bahkan sudah menikah dua tahun sebelum Mbak Sri. Maklumlah kakak keduaku ini hanya lulusan SMP dan enggan melanjutkan sekolah. Ia memilih beternak dan mengurus sawah. Dalam jangka waktu beberapa tahun ternak Mas Anto sudah beranak pinak, mulai dari kambing, sapi hingga terakhir ia mulai memelihara sapi perah. Merasa sudah cukup mampu secara ekonomi, ia melamar mbak Jum tetangga desa kenalanya. Meskipun sudah menikah namun Mas Antolah yang banyak membantu biaya sekolahku.

Sebuah pesan pendek segera kukirim ke HP Mbak Sri. Karena rumah Mbak Sri yang terdekat dengan rumah Simbok. Pesan singkat itu tak jua terkirim, masih pending. Pesan yang sama juga kukirim ke Mas Anto namun ternyata sama juga.

Awalnya aku menganggap itu hanya gangguan biasa atau mereka semua sudah tidur semua. Namun fikiranku mulai was-was ketika setelah lima jam pesan itu tak jua terkirim. Aku bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi. Berkali-kali aku mencoba menghubungi nomor mbak namun jawaban yang kudengar sama “jaringan sedang sibuk”. Pesan singkatpun juga terus menerus gagal.

Badanku letih, akupun berusaha merebahkan badan dan sejenak memejamkan mata.

****

Malam telah berganti pagi. Akupun sudah memulai aktifitas hari ini. Seperti biasa duduk di depannetbook pemberian Mas Anto, yang menemaniku hingga lulus S2. Rasa penasaran masih menghinggapiku. Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluargaku. Satu demi satu mulai muncul dugaan demi dugaanku.

“Apakah penyakit simbok kumat lagi? Atau jangan-jangan simbok?”

“Lalu apa yang terjadi dengan Mbak Sri, begitupula Mas Anto?”
Ternyata apa yang menjadi kekhawatiranku terjadi. Tanpa sengaja aku membuka sebuah situs berita. Gunung Merapi meletus lagi dan jauh lebih dahsyat dibanding empat tahun lalu. Ribuan orang mengungsi, ratusan orang meninggal. Diantara Kecamatan yang terkena dampak erupsi termasuk tempatku. “Apakah itu termasuk kampungku? Apakah termasuk rumahku? Bagaimana dengan kondisi Simbok, Mbak Sri, Mas Anto?”

Aku mencari informasi lewat internet dan berita yang ditampilkan di jaringan TV berbayar. Bukanya membuatku lebih tenang ternyata justru membuat rasa was-was dalam hatiku makin bertambah. Apalagimulai banyak email dari rekan-rekan yang menanyakan kondisi keluargaku. Sumber yang bisa kuandalkan adalah berita dari Tv kabel dan internet. Sekali lagi kucoba menghubungi HP Mbak Sri, Mas Anto dan orang-orang desaku yang kukenal. Namun aku belum berhasil mencari informasi kondisi keluargaku.

“Innalillahi Wainna Ilaihi Rajiun, Ya Tuhan benarkah berita ini!” aku terperanjat dalam hati saat membaca berita dan foto-foto yang ditampilkan. Desaku porak-poranda, luluh lantak. “Apakah sedahsyat ini bencana itu? Bukankah desaku berjarak lebih dari 14 km dari puncak gunung,”

Daerah yang dulunya hijau ditumbuhi banyak pohon, kini tertutup oleh hamparan pasir dan batu-batu besar. Nampak pula rumah yang roboh dan hanya menyisakan puing-puing saja. Semakin lama membaca berita justru membuat jantungku berdetak makin kencang, aku makin panik. “Bagaimana kondisi keluargaku? Rumahku?”

Satu demi satu bayangan wajah-wajah orang yang kukenal muncul dalam ingatanku. Pak Lurah, Mas Jito, Lek Yadi, Budhe Jum, dan tak sadar air mata menetes menjatuhi keyboard netbook.

***

Pesawat yang membawaku dari bandara Soekarno Hatta sudah mendarat di bandara Adisucipto.Bandara ini baru saja dibuka dan melayani rute penerbangan, setelah lebih dari seminggu ditutup karena abu erupsi gunung Merapi. Aku melangkah menuju pintu keluar, beberapa sopir taksi dan tukang ojek langsung menyerbuku. Aku tak memperdulikan mereka, menolak dengan sopan dan terus melangkah. Ternyata Eko, adik ipar mas Anto, sudah menjemputku. Lewat dia aku dapat informasi,seluruh keluargaku selamat. Mereka hanya mengalami luka ringan akibat awan panas dan gangguan pernafasan. Mereka kini tinggal di balai desa 20 km utara Gunung Merapi. Namun Simbok mewanti-wantiku tak perlu terburu-buru pulang, sebelum semua urusanku selesai di kampus.

“Gimana kabarnya mas, sehat-sehat saja kan?” tanya Eko

“Ya Dik. Wah, piye kabare keluargamu?“,

“Alhamdulillah selamat semua mas. Meski rumahku habis diterjang awan panas. Ga ada yang tersisa,”

“Sing sabar ya Dik!”

“Terima kasih mas,”

Melihat ketabahan Eko diam-diam aku kagum. Tak bisa kubayangkan bagaimana rasanya berada dalam suasana mencekam seperti itu. Fikiranku masih tertuju pada simbok, Mas Anto, Mbak Sri dan rumah ketika Eko mengajaku menuju tempat parkir motor.

Motor bebek Eko akhirnya melaju meninggalkan Bandara, menuju balai desa tempat Simbok, Mas dan Mbakyu mengungsi. Sepanjang perjalanan masih nampak warna abu-abu di dahan-dahan pohon dan pengendara memakai masker.

Akhirnya sepeda motor Eko sampai di sebuah Balai desa yang dijejali banyak orang. Lalu lalang relawan dan petugas kesehatan juga nampak diantara mereka. Akupun melangkah dan kulihat seorang ibu-ibu tua tersenyum melihatku, dialah Simbok. Segera aku memeluk simbok dan bersujud di hadapanya.

“Le piye kabarmu? “

“Baik Mbok,”

“Rumah kita habis Le,”

“Sudahlah Mbok, nanti kita mulai lagi dari nol,”

Simbok tersenyum kecil lalu mengusap-usap kepalaku. Dari belakang Simbok muncul Mbak Sri dan Mas Anto, keduanya memeluku erat. Air mata menetes di pipi mereka, namun aku tak tahu apakah ini sebuah kebahagiaan atau air mata kesedihan.

Kedatanganku rupanya telah dinanti-nanti oleh para pengungsi yang sebagian besar adalah warga kampung asalku. Mereka satu demi satu bersalaman dan hanya ingin mendengar ceritaku tentang Eropa, apakah seperti yang mereka lihat di film-film.

***

Malam kedua aku tinggal di pengungsian bersama Simbok dan keluargaku. Seperti janji yang sudah diucapkan Mas Anto menyembelih seekor kambing miliknya. Dari 10 keor kambing miliknya 6 ekor mat terkena awan panas. Namun nadzar tetaplah nadzar, Mas Anto tak ingin mengingkari janjinya.

Di balai desa ini semua orang telah berkumpul. Mereka duduk melingkar. Di sana ada pak Lurah, Kiai Achmad dan tetangga-tetangga dekatku. Suasana yang sama seperti ketika aku menjelang berangkat sekolah keluar negeri. Ada orang-orang terdekat, doa-doa dan sebuah harapan tak hanya harapanku tapi harapan kami semua untuk bangkit dan memulai lagi kehidupan kami yang sempat porak-poranda oleh bencana.


Yogyakarta, 15 Januari 2011

Fathoni Arief









Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments