Skip to main content

Bintang Terindah

Bus dalam kota telah membawaku menuju stasiun kota itu. Sebuah tempat yang selalu saja membuatku tersenyum mengingat kembali peristiwa lebih dari enam bulan yang lalu. Kisah yang masih saja tersimpan rapi dalam album kenanganku.

"Pak kiri!", teriakku pada sopir bus

Bis itupun berhenti di perempatan jalan dekat stasiun di kota tua ini. Aku melangkah menyusuri jalan menuju tempat perhentian kereta tersebut. Sayup-sayup di sebuah rumah dekat tukang becak mangkal kudengar lagu Bang Iwan Fals ijinkan aku mencintaimu. Lagu yang selalu membuatku kembali tersenyum. Lagi-lagi masih berkaitan dengan peristiwa enam bulan yang lalu.

Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu di stasiun Lempuyangan. Salah satu dari dua stasiun di Yogyakarta. Stasiun yang lain adalah Tugu, tetapi disana hanya untuk perhentian kereta kelas bisnis dan eksekutif.

Kereta Api ekspress Pasundan yang kutunggu-tunggu belum juga datang. Seingatku saat terakhir kali naik kereta seharusnya jam setengah tiga kereta api jurusan Bandung-Surabaya ini sudah datang. Sekarang sudah jam tiga, tapi kereta api itu belum juga datang.

“Kereta api Pasundan mengalami perubahan jadwal mas. Per Februari kemarin tiba di stasiun Lempuyangan Jam tiga lebih lima” begitu jawaban petugas stasiun saat kutanyakan kejelasan jadwal kedatangan kereta tersebut. Aku jadi ingat sindiran dalam lagu Iwan Fals “Biasanya kereta terlambat, dua jam mungkin biasa.” Moga aja terlambatnya ngga nyampe dua jam, sekarang sudah jam tiga lebih seperempat, berarti udah lebih sepuluh menit.

Heran juga jika bayangin pelayanan yang diberikan oleh fasilitas-fasilitas negara. Mengapa kualitasnya masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara lain? Atau memang begini nasib warga kelas bawah. Warga yang tiap kali naik kereta hanya mampu jadi penumpang kelas ekonomi. Haruskah kaum-kaum seperti ini selalu nrima? Harus nrima saat terjadi keterlambatan, nrima minimnya fasilitas, nrima ketika ditengah perjalanan harus ngalah sama temannya yang lain kelas: Bisnis dan Eksekutif.

Aku teringat dengan kuliah yang pernah disampaikan dosenku, tentang transportasi di luar negeri. Katanya sih di negara lain pelayanan begitu baik dan penggunanya juga cukup tertib dan disiplin dalam menggunakan segala fasilitas yang ada. Akhirnya kejengkelanku tetap saja berakhir walaupun ada banyak kelemahan yang dimiliki fasilitas transportasi ini, dari segi ongkos tentunya paling murah diantara sarana transportasi darat yang ada. Pasrah menerima yang bisa dilakukan oleh masyakat kelas bawah seperti aku ini. Kereta belum juga datang, perut ini sudah merasa lapar saja.

***

Dari kursi tunggu stasiun kupandangi kemegahan maha karya sang pencipta itu disampingku kira-kira lima meteran sekelompok pengamen menyanyikan lagu ijinkan aku mencaintaimunya Bang Iwan Fals. Begitu mempesona, menakjubkan sekali lagi menakjubkan belum ada kata-kata lain yang terfikir olehku untuk menggambarkannya. Andai bisa aku ingindekat, ingin mencium tangannya, memeluknya, mendekapnya ah tidak seperti itu fikiran kotor yang sering diobral dalam cerita stensilan.

Sesuatu yang membuatku tak kuasa untuk memberi gambaran lain tentangnya. Kuamati dan kulihat sekelebat awan kelabu yang terlintas. Sesuatu yang membuatku ingin tahu dan semakin memunculkan sebuah tanda tanya besar dalam diriku.

Dia menoleh kearahku. Pelan tapi pasti detak jantungku semakin kencang, nafasku mulai tersendat. "Ah sialan ketahuan", umpatku dalam hati. Sepertinya dia mengerti sedari tadi aku mencuri-curi kesempatan memandanginya.

Sebenarnya baru hari ini aku bertemu dengannya. Secara kebetulan di bis kota yang sama menuju stasiun dan kebetulan lagi tujuan kita sama.

Namanya bunga, persis seperti bayangan tiap-tiap manusia terhadap bunga dia juga seindah itu. Setidaknya itu penilainku.

Sejak pertama kali kenalan ia hanya sedikit sekali mengeluarkan kata-kata dan hanya sesekali menjawab ya, tidak, belum dan terkadang dengan senyuman kecilnya. Sebuah misteri yang makin membuatku bertanya-tanya tentang dirinya.

Sedari tadi aku yang menguasai pembicaraan. Kuceritakan perjalananku dan aku menyebut diriku seorang penulis" Cuih" sangat memalukan sebenarnya. Aku bangga dengan diriku sendiri sebagai orang dengan profesi yang sering dianggap tak punya masa depan cerah.

"Aku suka sekali menulis cerpen. Saat melakukannya aku seakan terbang dalam alam yang kusuka sesuai dengan imajinasiku", kataku. Ceramah tak bermutu yang sering dianggap angin lalu oleh sebagian rekanku kini mulai menarik perhatianya.

"Jadi benar kau seorang penulis? Sorry siapa namamu tadi?", ia mulai memperhitungkan keberadaanku,

"Panggil saja namaku aksara", jawabku,

"Aksara? Sungguh nama yang aneh mungkin seaneh dengan sikap dan tingkah lakumu. Sebenarnya sedari tadi aku juga memperhatikan semua ceritamu. Mungkin lebih baik aku menyebutmu dengan mas aneh saja", sedikit senyuman mulai terpancar dari wajah itu.

Senyuman yang membuatku makin bergejolak dalam konflik rasa. Sedemikian cepatkah rasa ikut bermain?.

"Terserahlah asal membuatmu nyaman terserah kau mau panggil aku apa aja", jawabku

Cerita demi cerita canda demi canda semua terlontarkan di atas kursi tunggu stasiun ini.

"Kau baru pertama kali naik kereta ya?" kataku

"Kok kau bisa tahu? Paranormal ya", tanyanya balik keheranan.

"Pasti aku tahu dari semua ceritamu tadi sudah bisa memberiku info yang cukup",

"Memang ini yang pertama tapi bukan seumur hidupku. Ini yang pertama kualami dalam kehidupan baruku", jawabnya

Jawaban yang makin membuatku bertanya-tanya tentang dirinya.

Kereta jurusan Jawa bagian Timur mulai melaju. Saatku mulai melanjutkan semua ceritaku. Entah kenapa sesuatu tanda tanya terpampang dalam sisi hatiku. Ada semacam perasaan aneh yang mulai muncul.

"Sebenarnya saat pertama kali ngobrol di bus tadi aku ingin menuju terminal. Entah kenapa aku tiba-tiba ingin naik kereta juga padahal aku belum pernah dari kota ini menuju kota kita dengan kereta",

Aku mulai menjadi pendengar yang baik. Satu demi satu ceriat muncul. Ada semacam kepuasan setelah dia ungkapkan semuanya. Aku yakin ia seorang yang terluka.

"Kau penulis kan?" katanya

"Ya aku penulis seperti juga dirimu", dia ternyata juga seorang penulis sepertiku.

Dia mulai lagi sebuah cerita. Jika aku bisa menulis semua yang dipaparkannya mungkin saja sudah jadi berhalaman cerpen. Keberadaanku sebagai seorang penulis makin membuatku ingin tahu segalanya. Ada sebuah misteri dalam dirinya. Sesuatu yang ingin kuungkapkan.

Dan tiba-tiba saja ia terdiam tertegun dalam lamunannya.

"Kenapa kau tiba-tiba diam?" tanyaku

"Tak ada apa-apa. Aku hanya marah saja", jawabnya singkat

"Marah pada siapa?" aku terus mengejarnya dengan berbagai pertanyaan

"tak tahulah pada siapa aku marah. Mungkin saja pada nasib atau tak tahulah kenapa aku marah",

Sejenak dia memandangi deretan rumah-rumah yang nampak dari kaca jendela kereta. Aku tak mau mengganggu dan membiarkanya terlelap dalam dunia lamunannya.

Namanya bintang, ia juga mahasiswa sepertiku. Dari apa yang diceritakan pastilah ia seorang aktivis. Ada satu hal yang sama diantara kita; seorang penulis. Sekali lagi dari matanya aku bisa membaca ia sedang memendam luka batin yang harui demi hari makin bertambah saja.

Kereta terus melaju membelah gelapnya malam. Dia mulai terlelap tak sengaja kepalanya tersandar di pundakku. Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang aneh. Tiba-tiba saja aku bisa membaca dia wanita yang tengah menanggung luka. Dalam perjalanan ini aku tiba-tiba saja ingin mengobati lukanya. Dia tetap cantik, mempesona dalam ketidak berdayaannya.

Fikiranku kini campur aduk akan bayang-bayang masa laluku. Menelusuri lagi bagaimana rasanya jadi orang yang tengah terluka. Kurasa mungkin hal itu yang tenagh ia rasakan dan aku bisa memahami.

Kereta mulai sepi walau kadang ada satu dua pedagang yang menawarkan dagangannya. Kebanyakan penumpang telah terlelap dalam perjalanan ini. Aku masih terjaga rasanya tak ingin cepat sampai ke tempat tujuan.
Dari kereta ini aku mengenal bintang.


****

Bintang itu telah pergi.Telah lama ia menghilang. Mungkin saja ia telah menemukan jalan hidupnya mengikutii roda kehidupan.

Jangan pergi.akhir2 ini aku sudah begitu akrab dengan hidup baru yang dibawa oleh seorang aksara.apa kau tak mau menjadi seperti kemarin yang selalu di sampingku?

Kata-kata yang masih kuingat saat aku ingin mengakhiri semua. Setelah aku bertahan semuanya akhirnya hancur juga. Bintangku telah menghilang.

Begitulah sebuah kisah berawal dan berakhir tanpa bisa ditebak kapan dan bagaimana hasilnya. Ada berbagai macam kisah yang dialami oleh manusia ada suka, duka semua bergonta ganti tanpa bisa ditebak dan jalan cerita ada di tangan Sang pemilik rahasia.

Ada sesuatu yang menurutku sebenarnya kurang adil tapi kenyataan memaksaku untuk menerima semuanya dengan tanpa syarat apapun. Adil-tak adil yang jelas semuanya adalah kenyataan yang harus kuterima. Menerima walaupun ada sisi hati yang enggan untuk mengatakan ya.

Sebuah pesan ia tulis di lembar kenangan itu. Sebuah kenangan terukir di gerbong kereta itu.

Kereta yang kutuju telah datang dan segera bersiap menuju tempat tujuan. Tak jauh dari bangku yang kupilih kulihat sepasang anak manusia yang kepala sang wanita tersandar di pundak dan sang lelaki tatapannya membelah jalan kesunyian. Dalam hati aku tersenyum


Keretapun terus berjalan dan aku dengan lelap tertidur menikmati kesendirian perjalananku.

Kehidupan punya cerita, semua punya kisah…

Kisah punya makna dan makna punya sebuah pelajaran…

Entah itu sakit, entah itu bahagia semua harus diterima. Semuanya adalah pembelajaran mencapai sebuah proses menuju manusia yang benar-benar manusia…

Hanya manusia yang bisa memanusiakan manusia yang layak untuk dianggap sebagai manusia.

Terima kasih buat bintang kecil terindahku dari mas anehmu yang tetap akan menjadi mas yang aneh…

Pogung, Juli 2006

( Bintang itupun menghilang dan tergantikan oleh angin malam….)

Comments