Skip to main content

Cerita Pendek : Mbah Giman


Sang Surya mulai tampakkan bentuknya. Bulatan cahaya kekuningan, semula kecil, perlahan mulai membesar, dan menyebarkan radiasi yang mampu memberi kehangatan suasana pagi. Apalagi dengan iringan suara burung yang berkicauan dan sesekali terdengar suara kokok ayam. Sekarang ini, cuaca memang tengah cerah, tak seperti kemarin hingga seminggu terakhir. Setiap pagi cahaya keemasanya tak pernah bisa mewarnai semesta, karena selalu tertutup awan tebal. Belum lagi udara dingin dan tak jarang gerimis sudah mulai membasahi bumi.

Semangat pagi ini pula rupanya telah mengilhami penduduk desa Karangjati, desa kecil dimana sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani. Di masing-masing rumah, penduduk tampak asap dari dapur yang mengepul dan ibu-ibu yang sibuk menyapu dedauan jatuh dengan sapu lidi. Makin riuhlah suasana pagi di desa pelosok tersebut.

Di salah satu rumah, di sudut desa, Mbah Giman termenung, sambil menatap hamparan padi di persawahan samping gubuknya. Benih yang sejak beberapa bulan lalu ditanam,diairi,dipupuk, kini sudah menjadi bentangan tanaman padi yang sudah menguning. Beberapa hari lagi suasana persawahan bakal makin meriah. Petani memanen padi dan sebagai isyarat gudang logistik mereka akan dipenuhi gabah dan persedian beras untuk beberapa waktu kedepan dijamin aman. Mereka lebih memilih menimbun padi dan tak menjual semua karena turunya harga gabah.

Seperti turut merasakan kebahagiaan para petani, yang ia amati dari kejauhan, Lelaki kurus, dengan rambut sudah memutih, itupun tersenyum tipis. Nampak tatapan matanya berbinar-binar. Sesekali tangan kanannya memegangi dagu sambil mengangguk-angguk. Sementara di sela-sela jari kirinya terselip sebatang rokok tingwe dan gelas blirik berisi kopi tubruk ada di samping tempat ia duduk, serta beberapa pisang goreng.

“Permisi mbah,” seorang lelaki berbadan tegap berkulit legam menyapa Mbah Giman. Ia salah seorang kuli yang bekerja di proyek bendung Karangjati. Sosok lelaki tua itu memang cukup disegani di desa ini.


Tak jauh dari lokasi persawahan, nampak sekumpulan kuli bangunan, tukang dan para mandor sudah bersiap dengan pekerjaan hari ini. Sekarang memang tengah berlangsung pembangunan bendung Karangjati II, prasarana irigasi baru, sebagai pengembangan dari bangunan sebelumnya yang dianggap sudah sangat uzur. Bangunan lama itu bahkan usianya hampir sama dengan Mbah Giman.

Sudah hampir 5 tahun ini Mbah Giman hidup sendiri. Selepas Mbah Lastri meninggal dan Parto kuliah di Jogja Praktis lelaki tua ini tinggal sebatang kara menikmati masa senja. Dulu sewaktu istrinya masih ada setiap hari tak lupa membuat minuman kesukaanya, kopi tubruk. Selalu tersedia gelas blirik berisi kopi dengan racikan selalu tepat setiap pagi dan sore hari. Sajian yang menemani aktifitas sehari-harinya di sawah miliknya. Untung saja semenjak sebulan lalu Parto balik ke kampung halaman.

Sejak masih muda, sawah, rumah, dan langgar adalah 3 tempat dimana mbak Giman menghabiskan hari-harinya. Jika ada hal yang membuat Mbah Giman bahagia sawah, kopi tubruk dan keberadaan sosok Parto, satu-satunya cucu lelaki yang dimilikinya. Parto, anak laki-laki Sami’un yang kebetulan juga putra semata wayangnya. Sami’un sendiri kini tak diketahui dimana kabarnya. Samiun tiba-tiba saja menghilang saat istri tercintanya meninggal waktu melahirkan Parto.

Sebenarnya banyak kabar simpang siur muncul tentang keberadaanya. Ada yang bilang Samiun pergi ke Jakarta menjadi salah satu korban penembakan misterius di awal tahun 80an. Ada pula kabar Samiun gila dan hilang entah kemana. Yang jelas Parto seakan jadi anak yatim piatu. Mbah Giman dengan segala kasih sayang membesarkan Parto. setia sempat membantu dosen penelitian keliling Indonesia namun baru setahun ia balik ke kampung halaman. Ia memutuskan membuka kios kecil di pasar menjadi agen beras.


“Ada apa mbah, kok sedari tadi hanya termenung saja di teras?” Parto tiba-tiba saja muncul dari samping rumah sambil membawa koran lokal dan sebungkus krupuk bawang kesukaan siMbahnya.


“Ngga ada apa-apa le,” jawab Mbah Giman sambil menarik nafas dan mengatur posisi duduk di kursi lincak.

“Ini Mbah krupuk pesananya tadi,”

Parto meletakkan sebungkus krupuk bawang tersebut di kursi lincak. Mbah Giman hanya mengangguk lalu tangannya merogoh saku baju, mengeluarkan kertas rokok dan plastik berisi tembakau,kertas serta kemenyan. Sesaat kemudian lelaki tua itu dengan cekatan melinting rokok. Rokok tingwe itu kini sudah ada di antara bibir tuanya. Rokokpun menyala dan bau tembakau bercampur kemenyan menyebar kemana-mana.

Parto duduk disamping sang kakek. Ia mengeluarkan sebungkus rokok, keluaran pabrik rokok dari sebuah kota di daerah Jawa Timur. Tak lama terdengar sesuatu yang terbakar dan rokokpun menyala. Pelan-pelan ia hisap tembakau campur cengkeh yang dibungkus kertas tersebut.

“Bagaimana dagangan berasmu le?” tanya Mbah Giman sambil mengeluarkan asap dari kedua lubang hidungnya.

“Lumayan mbah, lagi banyak orang punya gawe,” jawab Parto

Mbah Giman kembali terdiam, begitupula dengan Parto. Lalu lelaki tua itu meraih bungkusan krupuk bawang dan membukanya. Jari-jarinya menjebit beberapa krupuk dan terdengar bunyi sesuatu yang tengah dikunyah.

“Kamu sudah dewasa le. Sudah bisa cari duit sendiri. Lalu kapan kowe rabi le?” Mbah Giman mendesah,

“Oalah mbah mbah pertanyaane kok aneh-aneh wae,” jawab Parto,

“Cepet rabi le. Bagaimana dengan Sri anak pak dukuh apakah masih kurang cantik ?”

“Hehehe mbah mbah...,” Parto hanya tertawa,

“Mbahmu ini sudah sangat tua le. Dunia ini rasanya sudah tidak cocok bagi mbah. Dulu mbah hafal kapan bakal terjadi hujan, kapan kemarau. Sekarang coba perhatikan, sudah lebih dari tengah tahun masih sering hujan,”

“Jangan berfikir yang aneh-aneh mbah. Mbah mungkin terlalu capek. Istirahat yang cukup,” ujar Parto.

Mbah Giman menghisap rokok tingwe yang hampir habis. Dihisapnya rokok tersebut dalam-dalam, lalu dari mulutnya keluar asap menggumpal-gumpal membumbung tinggi terbawa angin. Rokok itupun akhirnya tinggal tersisa beberapa senti. Mbah Giman lalu mematikan puntungnya dengan cara ditekan ke kursi lincak selanjutnya dilempar begitu saja ke halaman. Pisang goreng yang tersisa satu diraih dan pelan-pelan ia mengunyahnya, dan tangan kirinya meraih gelas blirik berisi kopi tubruk, yang sudah dingin.

Sementara Parto hanya terdiam. Ia mulai menduga-duga sesuatu tengah menjadi fikiran simbahnya,ini tak sekedar memikirkan mendiang mbah putri, atau pernikahan Parto. Memang sejak beberapa bulan ini sikap dan perilaku simbahnya jadi sedikit aneh. Sang Kakek jadi sering uring-uringan sendiri bahkan seringkali dipicu oleh permasalahan sepele. Parto masih ingat kejadian terakhir selepas pembagian kompor gas konversi. Kompor yang menggantikan kompor minyak butut di dapur. Mbah Giman selalu marah tiap kali Parto berusaha menyingkirkan kompor tuanya. Memang meskipun bobrok, kompor tersebut menyimpan banyak cerita. Kompor yang sudah puluhan tahun berada di dapur dan dipakai simbah putrinya. Namun akhirnya Mbah Giman nurut-nurut saja.

“Parto,” Mbah Giman mengerutkan dahinya memanggil cucu satu-satunya,

“Apa Mbah?” jawab Parto

“Tolong ambilkan kertas bekas, pena dan kacamata simbah!”

Parto menuruti perintah kakeknya, meskipun ia sendiri masih belum tahu apa yang akan dikerjakan sang kakek. Mbah Giman menanti Parto, sambil mulutnya komat-kamit seperti tengah menghitung sesuatu dan jarinya bergerak-gerak sebul mulutnya terdiam ketika rokok tingwe terselip di bibirnya. Ini adalah rokok tingwe terakhir yang tersisa.

“Ini Mbah kertas, pena dan kaca matanya,” Parto keluar dari dalam rumah membawa kertas lusuh berwarna coklat bekas bungkus gorengan dan kaca mata tebal.

Mbah Giman meraih kertas, pena dan kacamata yang dibawa Parto. Semuanya langsung ditaruh di sebelhnya, bagian kosong lincak bambu tempat ia duduk. Lalu ia melanjutkan menghisap rokok hingga menyisakan seperempat bagian dan langsung ia tusukan ke lincak sampai mati apinya. Bagian pinggir dari lincak itupun menyisakan bulatan-bulatan hitam bekas rokok.

“Coba tolong bantu Simbah menghitung,”

“Menghitung apa mbah?” tanya Parto,

“Sudah tulis saja dulu,”

“Baik mbah,” Parto masih belum mengerti apa maksud dari siMbahnya,

“Sekarang harga gabah kering berapa?”

“Ya antara 200 sampai 250 rupiah perkilonya Mbah,” jawab Parto

“Kalau satu bahu menghasilkan 3 ton dikali itu hasilnya berapa?”

Parto terus mencatat dan menghitung apa yang Mbah Giman ucapkan. Hingga akhirnya muncul angka-angka yang tidak ia ketahui untuk apa kegunaanya.

“Sudah selesai ngitungnya?” tanya Mbah Giman,

“Sudah mbah,” jawab Parto,

“Nanti tolong setelah panen usai dan gabah sudah terjual tugasmu ngurusi itu. Itu bagian pertama kasihkan ke langgar Pak Nyoto, lalu ke jandanya Mbah Wiro yang buta itu, jangan lupa juga nanti belikan kompor baru buat Mbah putrimu”

“Baik mbah,” Jawab Parto lalu ia terdiam. Kini ia baru menyadari, rupanya simbahnya sudah mulai pikun. Sawah Mbah Giman sudah kena gusur proyek pelebaran jalan 5 tahun lalu tak lama setelah Mbah Lastri meninggal dan nama-nama yang disebut simbahnya sudah tiada semua.

Parto tersenyum melihat simbahnya. Ia baru tahu kenapa sedari tadi simbahnya termenung. Banyak hal sudah dilupakan oleh Mbah Giman kecuali ingatanya akan keinginan selalu berbagi setiap mendapat rejeki. Sementara Mbah Giman kini bersandar di dinding, tersenyum menatap hamparan padi yang sebentar lagi panen.


Yogyakarta, 22 Februari 2011 

Langgar : surau, mushola kecil 

Tingwe : singkatan dari nglinting dewe (bahasa Jawa) atau melinting sendiri 








Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments