Skip to main content

Dunia Kecil Dalam Gerbong Kereta


Matahari mulai terbit dari ufuk Timur. Dari jauh nampak bentuknya yang bulat  berwarna kuning terang  muncul diantara rimbunnya pepohonan. Perlahan namun pasti cahanya memancar mengiringi aktivitas  semua mahluk yang ada di bumi. Setiap pagi, ada saja karyawan yang bersiap berangkat ke kantor, murid-murid sekolah dengan tergesa mengambil peralatan mandi dan membasahi tubuh mereka meskipun harus melawan dinginya udara pagi. Atau para pedagang yang asyik bersiap dengan barang daganganya.

Di salah satu bagian dari kehidupan ini yang mungkin terkadang tak masuk dalam perhitungan atau bayangan sebagian besar kita juga telah memulai pentasnya; Dunia kecil dalam gerbong kereta api kelas ekonomi.

Sebuah stasiun kereta di kota pesisir selatan Jawa telah dipenuhi oleh calon penumpang. Sebagian diantara mereka antri di loket dan yang lain bertebaran di tempat tunggu penumpang.

Seorang lelaki muda dengan tas ransel di punggungnya yang sesekali mengisap rokok kretek ,yang dari tadi dipegangnya, nampak mulai gelisah menunggu. Pedagang asongan mulai dari tukang koran, penjual rokok, penjual nasi dan masih banyak lagi sudah siaga menunggu datangnya kereta. Mereka berkerumun di pinggir rel dan ada juga anak kecil yang bermain-main didekat rel walaupun sesekali petugas meniup peluit dan mengusir mereka. Sesekali terdengar umpatan, umpatan dan teriakan di antara para penumpang.

Kereta yang ditunggu-tunggu itu pun mulai merapat di stasiun dengan suara rem yang sangat berisik bunyi logam yang bergesekan.

"Kereta terlambat dua puluh menit", ujar seorang calon penumpang yang nampaknya mahasiswa itu setengah mengumpat sebelum akhirnya ia membuang puntung rokoknya dan bergegas naik ke atas. Lelaki muda dengan tas ransel itupun sudah berada di atas menelusuri lorong gerbong mencari tempat nyaman.

"Maaf mbak kursi ini kosong ?" tanyanya

"Ya silahkan mas!", Di sebuah kursi ia duduk didekatnya cewek yang wajahnya cukup rupawan duduk sendiri. Saat lelaki itu datang iapun bergeser agak jauh darinya.

Para penumpang lainnya juga mulai menyerbu pintu demi pintu dan mencari gerbong dimana masih menyisakan kursi kosong. Semuanya dengan satu tujuan mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Semuanya berjejal dan saling berebut. Di antara mereka terdapat juga para pedagang asongan dan mahkluk dengan tangan cekatan yang sedang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan aksi mereka.

Kereta yang telah dipenuhi oleh penumpang itu dengan tertatih-tatih harus merangkak menuju stasiun tujuannya. Terkadang kuda besi ini harus mengalah pada saudara mudanya yang lebih gesit dan cekatan; Kereta api kelas bisnis dan eksekutif. Dia terus merangkak hingga sampai tujuannya walaupun harus menahan diri dari gonjang-ganjing yang diakibatkan aktivitas mahluk-mahluk yang ada dalam perutnya.

Kereta berjalan dan mulailah sebuah pentas di dunia dalam sebuah gerbong itu. Para pengamen mulai berjalan dari satu gerbong ke gerbong lain. Mereka mainkan lagu dengan gitar dan alat musik seadanya. Suara mereka yang melengking menerobos bising ruang akibat bunyi getaran mesin dan kereta yang sedang berjalan. Dua lagu yang mereka mainkan sesaat sebelum pertunjukan berakhir seorang diantara mereka mengeluarkan plastik bekas bungkus permen yang ia edarkan dari penumpang satu ke penumpang lain sebagai wadah recehan logam. Selesai di satu gerbong mereka pindah ke gerbong lain hingga nanti di stasiun terdekat mereka akan turun menunggu kereta berikutnya.

Di belakang gerombolan pengamen anak-anak muda itu datang dua orang yang lelaki memakai baju batik dan nampaknya buta.Ia dipapah oleh seorang wanita yang usianya kira-kira hampir sama mungkin istrinya.

"Assalamu'alaikum …ijinkan saya saya ngamen tanpa musik", sebuah kalimat pembuka dari pengamen buta itu. Ia pun bernyanyi lagu-lagu campursari sekali lagi ia tak menggunakan musik.

Seorang lagi yang nampaknya istrinya menuntunnya berjalan sambil mengedarkan kantong tempat penumpang bisa memberi recehan logam.

Habis para pengamen datang rombongan pedagang asongan. Mereka ada yang tawarkan koran, makanan, nasi bungkus hingga alat tulis. Dengan penuh semangat dan pantang menyerah satu demi satu penumpang mereka tawari. Diantara pedagang asongan muncul juga profesi yang juga sering ditemui di kereta api kelas ekonomi; tukang sapu. Dengan berbekal sapu yang sudah dipatahkan pegangannya mereka bersihkan sisa-sisa sampah yang ada di gerbong demi sereceh dua receh logam dari penumpang.

Lelaki muda yang sedari tadi duduk di kursi pojok bangkit saat melihat petugas pemeriksa tiket. Ia berjalan menjauhi petugas yang telah mendekat. Seorang berpakaian petugas mulai berkeliling. Orang dengan usia kira-kira empat puluhan yang berperut buncit itu mendatangi satu demi satu penumpang. Tangan kanannya membunyikan sebuah alat yang membangunkan penumpang yang didekatinya. Nampaknya ia petugas pemeriksa tiket. Penumpang pun menyerahkan kertas kecil tebal berwarna merah itu. Tak lama kemudian ia memakai alat yang ia bawa untuk memberi tanda pada tiket semacam lubang.

Di salah satu kursi seorang penumpang masih saja tertidur. Saat petugas pemeriksa tiket datang ia segera merogoh saku celananya. Bukan kertas merah yang ia keluarkan namun beberapa lembar uang ribuan yang dilipat-lipat kecil.

"Mau kemana mas?" tanya pemeriksa tiket sambil mengambil beberapa lembar ribuan yang diserahkan dan segera masuk saku celananya.

"Biasa pak", jawab penumpang itu dan pemeriksa tiket pun segera berlalu mendatangi penumpang yang lain.

"Copet-copet!" terdengar teriakan dari salah satu gerbong

Para penumpangpun segera berdiri dan melihat kearah datangnya suara itu. Termasuk diantara penumpang sepasang kekasih yang tengah asyik bercanda. Merekapun sempat terkaget dan mengikuti para penumpang lain melihat kearah suara gaduh itu.


Tak lama kemudian lewat beberapa orang polisi kereta api yang berjalan tergesa-gesa.

Dari mata penumpang masih tersimpan tanda tanya besar pasti masih tentang bagaimana nasib pencopet itu.

Dua orang pedagang asongan kembali tawarkan barang dagangannya pada seorang penumpang.

"Bu tahu kuning! Masih baru lho asli ini",

"Piro mas segitu?" tanya seorang ibu yang nampaknya pegawai sebuah instansi pemerintah

"Biasa bu lima ribu mumpung lagi diskon"

"Wah mahal tenan"

"Ya dah ibu bisa nawar! Tapi ini sudah murah lho bu"

Setelah terjadi kesepakatan ibu pegawai itupun menyerahkan beberapa lembar uang ribuan pada penjual tahu tersebut.

"Matur suwun bu",

Perhatian sebagian besar penumpang masih pada asal suara dari gerobong sebelah bahkan ada sebagian kecil penumpang yang bangkit kemudian berjalan kearah gerbong asal suara itu.

Di salah satu gerbong kericuhan terjadi. Petugas pemeriksa tiket tak bergeming dengan suasana tersebut ia terus saja memeriksa satu demi satu penumpang. Di sebuah toilet yang terletak diantara gerbong ia berhenti digedor-gedornya pintu toilet tersebut. Memang toilet kadang jadi tempat persembunyian penumpang tak bertiket saat pemeriksaan oleh petugas.

"Ada orang di dalam?" tanya petugas sambil terus menggedor-gedor pintu.

Tak lama kemudian muncul seorang lelaki kurus dengan kaos lusuh bergambar partai peserta pemilu.

"Kamu lagi pasti nggak beli tiket lagi", petugas pemeriksa nampaknya telah hafal dengan orang itu.

Lelaki kurus itu hanya tersenyum saat petugas itu memaki-makinya. Beberapa kata kasar sempat terlontar dan akhirnya berakhir saat dirinya mengeluarkan beberapa lembar uang seribuan pada petugas itu. Petugas itupun berjalan melanjutkan tugasnya memeriksa tiket penumpang kereta api itu.

Kereta mulai perlambat kecepatannya. Di sebuah stasiun kereta api kecil kereta itupun berhenti. Nampak dua orang polisi menyeret seorang yang berperawakan layaknya mahasiswa tas ranselnya masih terpakai.

"Ganteng-ganteng ternyata maling…"

"Ya pakaian saja, tampilan aja yang rapi kaya mahasiswa tapi nyatanya maling", bertubi-tubi umpatan penumpang diarahkan pada lelaki muda itu.

Beberapa puluh menit kemudian petugas stasiun mengumumkan dari kantor jaga tanda kereta sudah siap berangkat menuju tujuan berikut. Tak lama kemudian kuda besi itupun perlahan-lahan bergerak. Penumpang baru telah menduduki tempatnya masing-masing dan pentas dalam dunia kecil gerbong itu kembali dimulai dengan begitu banyak karakter manusia yang mengisinya.

Fathoni Arief

Pondok Perenungan 10 Juni 2006

Comments