Skip to main content

Menunggu Tamu Istimewa

Malam lebaran, suara takbir terdengar bersahutan dari corong-corong mushola dan masjid. Kembang api terlihat mewarnai langit kotaku. Manusia dari berbagai pelosok memadati jalanan kota.

Aku, memilih berada di rumah saja. Bukan karena kemalasanku untuk turut merayakan malam lebaran namun aku memang tengah menunggu seseorang. Aku duduk di teras, menyuarakan takbir sendirian menikmati suasana tenang yang jarang kujumpai ketika berada di ibukota.

“Mas bagi zakatnya…!” seorang pengemis kecil berhenti di pagar depan rumahku. Lalu bergantian satu pergi satu datang lagi dan begitu seterusnya. Aku membagikan recehan koin 500 perak pada belasan bahkan mungkin bisa saja puluhan orang. Banyak diantara mereka pengemis langganan yang tiap hari Jumat datang menengadahkan tangan minta receh demi receh jatuh ke tangan mereka.

Tak sadar waktu berjalan dengan cepatnya. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, suara takbir masih terdengar bersahut-sahutan namun jalanan kampung sudah sepi dan peminta sedekah tak terlihat lagi.

Akupun masuk kedalam rumah, menutup pintu dan merebahkan diri biar esok bisa bangun lebih pagi bersiap menjalankan sholat Idul Fitri. Sambil memejamkan mata aku masih bertanya-tanya kemana gerangan orang yang kutunggu-tunggu. Biasanya semenjak kecil hingga terakhir malam takbiran tahun lalu ia datang. Seorang nenek tua peminta-minta yang selalu membanjiri dengan doa setiap receh demi receh kuberikan padanya. “Semoga nanti jadi dokter ya gus,” begitu doanya dari aku kecil sampe dewasa.

Niat hati ingin tidur lebih cepat namun perut yang keroncongan membuatku memilih menuju dapur menikmati nasi bungkus kiriman tetangga. Isinya opor dan nasi uduk, membuatku makan dengan lahap. Selepas makan entah kenapa aku terusik membaca koran pembungkus makanan. Berita yang sudah basi terbitan tahun lalu.

***

Sehari setelah malam lebaran tahun lalu, seorang nenek tua tewas setelah tertabrak sepeda motor. Setelah ditelusuri ternyata nenek tersebut tidak punya keluarga, rumah tinggal dan sehari-hari berprofesi sebagai pengemis.


FATHONI ARIEF

Comments