Skip to main content

Senja Di Ngrawa (bag 1)

Mbah Mardjuki termenung menatap hamparan padi di persawahan di samping gubuknya. Tak lama lagi padi-padi tersebut akan segera siap dipanen. Wajahnya tersenyum tipis seakan ada semacam rasa kebahagiaan yang terpancar dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Tak jauh dari lokasi persawahan tersebut tengah berlangsung proses pembangunan bendung Krangjati II. Bangunan irigasi tersebut merupakan pengembangan dari bangunan sebelumnya yang telah sangat uzur dan bahkan usianya hampir sama dengan mbah Mardjuki.
Satu hal yang membuat mbah Mardjuki bangga adalah keberadaan sosok Arief, satu-satunya cucu lelaki yang dimilikinya. Mega proyek di daerah tersebut semua di bawah kendali seorang putra daerah bernama Ir. Arief.

Arief anak laki-laki dari Sami’un yang kebetulan juga putra sematawayangnya. Sami’un sendiri kini tak diketahui dimana kabarnya. Menurut kabar diaputus asa ketika istri tercintanya meninggal waktu melahirkan Arief. Dengan membawa segala keputusasaan akhirnya ia menghilang entah kemana.
Sejak sebulan laluproyek ini berlangsung dibawah kendali Insinyur Arief. Semenjak lulus S2 dari Belanda ia langsung ditempatkan di sini, desa Karangdjati.
“Simbah ada apa kok sedari tadi termenung di teras?”, tanya Arief yang datang dengan tiba-tiba dari samping rumah.
“Ngga ada apa-apa le. Mbah hanya teringat dengan kejadian waktu simbahmu ini kecil. Mbah teringat dengan pembangunan bendung yang ada sebelumnya, banjir dan gejolak waktu itu”, jawab mbah Mardjuki

“Memangnya seperti apa mbah kejadian waktu itu?” Tanya Arief dengan sesekali menghisap rokok kretek yang ia hisap pelan-pelan.
“ Adabanyak kisah le. Satu hal yang yang membuat mbahmu ini senang adalah saat ini cucuku sendiri yang membangun pengganti bangunan bersejarah tersebut.”, jawab mbah Mardjuki
Sesaat mbah Mardjuki terdiam, kali ini matanya mulai berkaca-kaca sekan ada sesuatu kenangan entah sedih atau haru yang ia ingat kembali. Setelah sempat terdiam mbah Mardjuki kembali melanjutkan ceritanya.

“ Ada sosok yang mbah kagumi saat itu. Sayang mbah tak tahu namanya. Ia orang cerdas dan hebat yang menajdi actor dibalik pembangunan bendung yang lama. Kabarnya ia juga yang mendesain bangunan-bangunan besar lain di seluruh Hindia Belanda.
Arief mencoba meraba-raba siapa sosok yang diceritakan oleh Mbah Mardjuki. Mbah Mardjuki terus saja bercerita.

*****
Kereta kuda melintas dengan terburu-buru di jalanan sepi pinggiran ibukota Kadipaten Ngrawa, Kalangbret. Nampaknya bukan orang sembarangan yang memiliki kereta kuda tersebut, hal ini bisa dilihat dari rombongan yang menyertainya; sekawanan penunggang kuda dengan wajah sangarnya.
“Sapa itu Kang?”, seorang petani kurus bertanya pada petani lain yang usianya lebih tua.
“Ngga’ ngerti tapi kalau dilihat dari penampilan serta barang-barang yang mereka kenakan nampaknya bukan orang sembarangan”,jawabnya sambil menghisap tembakau yang telah dilinting dengan daun jagung.
“Apa mungkin mereka mau menuju Kalangbret?”, tanyanya lagi dengan seribu tanda tanya yang masih tersisa.
“Mungkin juga mereka orang-orang pemerintah kolonial yang mau menghadap bupati Ngrawa. Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan rencana pembangunan selokan raksasa yang terletak di daerah selatan”, jawab petani lain yang sedari tadi mendengar perbincangan diantara mereka berdua.

“Ya kabarnya daerah bagian selatan selalu terendam air tiap kali hujan, apalagi daerah Campurdarat. Hampir semuanya berupa rawa-rawa yang menjadi tempat genangan air”, balas seorang petani yang paling muda.
Mereka bertiga Hardjo, Kromo dan Darpo petani yang mendiami daerah perbukitan di wilayah Sendang. Daerah ini tak begitu jauh daerah Hargowilis, lereng gunung tempat plesiran orang-orang kolonial dan lokasi perkebunan teh terbesar di kota ini.

Kabupaten Ngrawa, wilayahnya memang bagai cekungan karena dikelilingi oleh gunung. Tak ayal lagi daerah disekitar anak sungai besar dan di jantung kabupaten selalu menjadi korban dari genangan air.
Jika musim hujan daerah sebalah timur banjir sebaliknya waktu musim kemarau bagian barat mengalami kesulitan air yang cukup meresahkan. Persoalan yang menjadi perbincangan khusus diantara para petinggi di Kabupaten.

Adawarta yang cukup menggembirakan disampaikan fihak kabupaten. Menurut salah satu sumber tak lama lagi permasalahan air tersebut akan segera bisa ditangani. Fihak kabupaten telah meminta bantuan pemerintah colonial dan mendapat tanggapan. Kabarnya pakar itu adalah seoirang insinyur dari Belanda.

Beragam komentar timbul dikalangan masyarakat. Diantara mereka ada yang bahagia, begitu antusias mengharap dan banyak pula yang menanggapi dengan sinis.
“Aku tidak percaya dengan omongan orang-orang colonial dan antek-anteknya itu. Aku masih dendam dengan apa yang mereka lakukan terhadap para petani tebu. Aku juga masih ingat cerita dari leluhurku tentang kakekku yang dipaksa menjadi pekerja membuat jalan Anyer sampai Panarukan”, kata seorang buruh pabrik tebu.

“aku setuju kang. Sampai sekarang aku juga masih merasa kehilangan saat Sri wanita yang begitu kugandrungi dipaksa menuju daerah yang katanya sangat jauh dan hingga kini tak kunjung kabarnya”, balas rekannya.
“Wes-wes kembali kerja jangan ngomong ngalor ngidul ga ana jluntrunge! Apa kalian pingin nasibnya kaya si Sarip yang mampus gara-gara mbangkang dan coba nglawan dengan manas-masi buruh lain”, Mandor Galak begitu orang-orang di pabrik memanggilnya. Memang dalam berbuat mandor satu ini tanpa babibu jika ada pekerja yang macem-macem langsung dihajar tak ayal begitu ditakuti. Dari posturnya tak jauh beda dengan orang-orang blanda tinggi besar Cuma kulinya hitam tak seperti orang Belanda.

Sebuah desas-desus yang sudah terdengar di kalangan rakyat biasa proyek pembangunan saluran raksasa tersebut akan melibatkan banyak orang. Sebuah proyek raksasa yang kabarnya sangat bombastis. Mereka yang punya lahan dengan sukareka atau mesti dengan paksaan harus mencari tempat tinggal baru.

Saat proyek itu benar-benar disebarluaskan secercah harapan muncul namun itu hanya sebentar ketika mereka teringat dengan megaproyek yang dibangun saat pemerintahan Deandels. Jalan memanjang dari Anyer hingga Panarukan yang memakan korban begitu banyaknya. Sebuah tanda tanya kini ada dalam fikiran mereka.

“Siapa saja yang kini akan menjadi tumbal dari proyek pemerintah kolonial tersebut?”
Suasana lain di daerah sekitar di daerah Karangjati. Sewaktu orang-orang dari Kalangbret memberi informasi pembangunan saluran penolak banjir sejuta harapan terpancar di wajah mereka.

Harapan mereka seakan mendekati kenyataan saat sekelompok orang-orang dari dewan pengairan colonial dating ke desa mereka. Diantara mereka ada seorang Belanda asli tinggi tegap dengan kertas gulungan yang selalu ada ditangannya.
Kedatangan mereka selalu menarik perhatian dari warga terutama anak-anak kecil. Diantara kerumunan anak kecil itu ada sosok pemberani yang dengan keingin tahuannya mencoba mendekati orang Belanda yang nampaknya seorang ahli bangunan keairan tersebut.
******

“Lalu bagaimana keberadaan orang yang simbah ceritakan tersebut?” Tanya Arief
“Tentu saja ia sudah meninggal tapi waktu sebelum mereka meninggalkan desa ini setelah proyek rampung sempat ia berikan gulungan-gulungan dan angka-angka yang tak bisa mbah mengerti maklum menggunakan bahasa Belanda dan mbahmu ini hanya jebolan SR itu aja ngga sampe lulus.
Sesaat kemudian mbah Mardjuki masuk ke biliknya dan tak lama ia bawa gulungan dan lembaran kertas yang warnanya sudah menguning dan sebagian telah dimakan ngengat.
“Coba kau baca ini apa maksudnya!”, gulungan kertas itupun diserahkan pada Arief.
Dengan seksama Arief membacanya dengan terperanjat terucap sebuah nama dari mulutnya.
“Ir Vlughter..”, ia masih belum percaya ketika membaca bagian demi bagian ia menjadi semakin yakin.

Kini ia merasa gemetar, tokoh yang namanya begitu dikenal di bidang teknik sipil itu ternyata yang begitu diidolakan simbahnya.
Bayangan mbah Mardjuki masih terbayang pada kenangan masa lalunya.
******
(bersambung)

Comments