Skip to main content

Lagu Sendu Sang Daradasih

Malam semakin larut. Jarum jam juga sudah meninggalkan angka 12. Namun mata Sugiman, kakek renta penjaga makam dan penyebar berita kematian belum terpejam. Tubuh tuanya sudah terbaring di kursi lincak depan rumah. Ia hanya bisa beberapa kali menguap tapi tak bisa terlelap. Mata senjanya menerawang ke tengah kegelapan malam, diantara rerimbunan pepohonan di depan gubuknya, tempat kicauan burung daradasih berasal. 

Tak jua bisa tertidur, Mbah Man, begitu orang kampung biasa memanggil, bangkit dan duduk bersandar di dinding gedhek rumahnya, dengan berselimut sarung. Malam ini ada sesuatu yang mengusik perasaan lelaki tua itu. Satu kegelisahan, tak seperti biasanya, mengganggu istirahat malamnya. Perhatianya masih tertuju pada rerimbunan pohon. Beberapa puluh meter dari pohon itu memang sebuah kompleks pemakaman.
Mbah Man hampir menghabiskan separuh hidupnya sebagai penjaga makam atau hampir empatpuluh tahun. Tepatnya setahun setelah kematian bapaknya, yang terlebih dulu menggeluti profesi tersebut. Rentang waktu cukup panjang membuatnya memahami isyarat yang diberikan oleh hewan atau alam. Meski pada mulanya, ia hanya menganggap hal itu sebagai satu kebetulan belaka namun karena terjadi berkali-kali akhirnya ia meyakini tanda-tanda tersebut. Meskipun tak semua orang mempercayai hal tersebut. Termasuk munculnya suara kicauan burung daradasih di malam hari. 

Malam ini suasana kampung memang begitu sepi, tak seperti biasanya. Tak terlihat sama sekali warga yang mendapat giliran jaga malam ataupun pedagang bakso atau sate yang melewati jalan desa. Hampir semua pintu rumah warga sudah ditutup kecuali rumah Mbah Man. Padahal biasanya masih terdengar percakapan warga yang mengomentari diskusi politik di televisi atau siaran langsung sepakbola. 

Namun Mbah Man seperti tak menghiraukan itu. Ia masih berlama-lama duduk di teras rumah diatas kursi lincaknya. Batuk pun mulai menyerangnya tetapi bukanya masuk kedalam gubuk justru ia mengambil sebatang rokok kretek dari jaket kumalnya. Tak lama kemudian rokok itupun menyala dan asap keluar berirama dengan suara batuknya. 

Batuk Mbah Man makin menjadi, namun ia seakan tak peduli, bahkan kini ia sudah menghabiskan rokok pertama dan kedua menyusul dinyalakan. Padahal setahun lalu dokter sudah melarangnya menghisap tembakau dan menghirup udara malam setelah ia divonis menderita kangker paru-paru. 

““tii..tut..twiiit, ..twiit, ..twiit, ..twit, ..twit, ..wit, ..wit, ..wit-wit-wit-wit-wit-wit,” kicauan burung daradasih, terus terdengar. Bahkan kini suaranya makin keras, menyebarkan suasana mencekam dan membuat bulu kudu berdiri. 

Mbah Man semakin yakin, kali ini bukan hal biasa. Ia mulai mengingat-ingat satu persatu penduduk desa apa ada yang sedang sakit keras beberapa hari ini. Tapi ia tak mendapatkan satu namapun karena dalam sebulan ini orang yang tengah sakit keras sudah meninggal dua pekan lalu. 

Fikiran Mbah Man tak berhenti hingga disitu saja. Ia kini menelusuri penduduk desa yang usianya seangkatan denganya mencoba menduga-duga siapa dari mereka yang kali ini bakal kembali ke alam sana. Mbah Atmo, Mbah Supo, Mbah Joyo, Mbah Kromo nama-nama yang teringiang. Hingga ia mengingat satu nama, Daradasih. 

Daradasih, nama sinden pujaan hati mbah Man sewaktu muda. Sugiman muda masih ingat betapa merdunya suara Asih, namun menyimpan satu misteri, seperti suara burung Daradasih. Pandangan Mbah Man menerawang jauh, menembus gelap. Dalam lamunanya terlihat sosok sinden cantik jelita tengah melantunkan tembang sambil tersenyum padanya. 

“Kang Sugiman!” sapa wanita itu, 

“Dik Asih, kemana saja selama ini?” Sugiman membalas sapa wanita itu. Namun tiba-tiba saja bayangan itu menghilang. 

“Astagfirullah,” gumam Mbah Man, 

Mbah Man kembali ke alam sadarnya. Asih sudah meninggal puluhan tahun lalu. Sakit misterius tiba-tiba saja datang hingga nyawanya tak tertolong lagi. Peristiwa yang membuat Sugiman memilih menjadi penjaga makam dan penyebar berita lelayu. Suara daradasih membuatnya merasa dekat dengan Asih sang daradasih, sinden pujaanya. 

Malam mulai berganti pagi, namun Mbah Man masih tak bergeming dari kursi lincaknya dan sudah sepuluh batang rokok kretek ia habiskan. Namun rupanya kantuk tak juga datang. Tapi rupanya tubuh tua lelaki itu memang tak bisa ditipu. Iapun kini mulai merasa letih dan tanpa sadar kembali berbaring berselimutkan kain sarung. Sementara itu kicauan burung Daradasih masih terdengar meskipun suaranya mulai tertutup hujan deras yang mengguyur desa kecil itu. 

**** 

Sang Surya perlahan mulai naik ke peraduanya. Kondisi ini cukup menghangatkan kampung, yang hampir semalaman diguyur hujan lebat. Warga desapun mulai nampak keluar dari rumah memulai aktifitasnya masing-masing. 

Namun suasana pagi ini tak biasa bagi warga. Satu tanda besar tersimpan dalam benak mereka. Rupanya suara kicauan burung Daradasih juga mengganggu istirahat malam mereka. “ Suaranya terdengar hingga rumah saya,” kata Prawiro, sang kepala Dusun dengan raut muka tegang. 

“Saya juga mendengar pak, ngeri sekali,” Amin seorang guru TK tetangga Prawiro juga merasakan hal yang sama. 

Prawiro merasakan hal yang aneh. Suara itu muncul tapi hingga pagi tak ada satupun warga yang melaporkan adanya berita lelayu. Biasanya jika ada laporan warga berita tersebut langsung disebarluaskan. Mbah Sugiman dengan menggunakan becak berkeliling kampung membunyikan bende mewartakan kabar duka. 

Tanda tanya besar ada dalam benak warga. Suara bende dan berita kematian yang ditunggu-tunggu tak jua datang. Hingga ketakutan yang berlebih, akan datangnya kematian yang merenggut nyawa mereka, muncul. Semuanya dirasakan warga yang percaya, setidaknya hingga senja menjelang. 

Namun menjelang Maghrib jawaban itu muncul setelah seorang warga tergopoh-gopoh datang ke rumah kepala dusun. Tak butuh waktu lama, warga berduyun-duyun mendatangi rumah Mbah Man. 

“Sudah meninggal Pak,” kata seorang dokter yang bertugas di Puskemas dekat balai desa. 

Lelaki tua itu ditemukan terbujur kaku di depan gubuk tuanya. Noda darah terlihat di kain sarungnya. Mbah Man telah berpulang. Usia tua dan TBC merenggut nyawanya. 

Yogyakarta, 7 Maret 2011

Fathoni Arief

Lincak : bangku panjang, biasanya terbuat dari bambu untuk santai

Gedhek : anyaman bambu digunakan sebagai pembatas ruang atau dinding

Lelayu : kematian

Bende : alat mirip kenong untuk dipukul sebagai pertanda tertentu

Daradasih : Nama lain dari Cacomantis merulinus. Burung yang kerap ditemui di lingkungan pedesaan ini dikenal dengan banyak nama. Mulai daridaradasih atau daradasih (nama umum, Jw.), kedasi, sit uncuing, sirit uncuing, atau manuk uncuing (Sd.)


Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments