Skip to main content

Catatan Perjalanan Sang Elang (bagian pertama)

Catatan Perjalanan Sang Elang

Jejak Harimau Siliwangi (bagian pertama)

“Lelaki setengah baya itu terus memainkan kecapinya. Sementara kameraku terus membidik musik dan lantunan suaranya mendayu-dayu membelah kawah putih, menyebar keseluruh puncak gunung Patuha, Ciwedey, Kabupaten Bandung”.

Aku tertegun melihat seniman tersebut. Raut mukanya yang penuh semangat turut merasuk sukma dan mengajari cara terbaik untuk senantiasa bahagia dan mensyukuri segala nikmat Sang Penguasa alam.

Inilah perjalanan. Sesuatu yang bisa direncanakan namun sulit ditebak perjalanan itu sebenarnya ujungnya berakhir di mana. Rencana riset lapangan film dokumenter secara tak sengaja membawaku ketempat lain yang mengajariku akan banyak hal. Pengalaman yang makin mengajariku untuk selalu siap atas apa yang akan terjadi, bersyukur dan berfikir jauh kedepan dengan semangat dan motivasi tinggi.


******

Gerimis mulai membasahi bumi Pasundan saat angkutan tua membawa kami memasuki terminal Cibeureum. Setelah berhimpit-himpitan dengan penumpang akhirnya berakhir juga siksaan sesaat itu. Jam waktu itu menunjukkan pukul 16.15.

Keluar dari pintu angkutan beberapa tukang ojek bergerombol datang mendekati kami. Saat kami tanya berapa ongkos yang harus kami keluarkan hingga menuju tujuan “kawah putih” salah satu dari mereka menyebut angka 30 ribu. Angka tersebut untuk masing-masing dari kami. “Tetapi terserah mau naik ojek atau angkot,” kata si tukang ojek memberi kami kebebasan. Harga tersebut dalam fikiranku “mahal” maka tanpa fikir panjang langsung kutolak dan mengajak rekanku menuju angkot yang berada tak jauh dari kami.

Angkutan itu masih kosong ketika kami menghampiri dan menempatkan diri di salah satu tempat duduk yang ada. Beberapa saat kemudian bertambah lagi seorang tua dan bapak-bapak yang nampaknya orang asli dari daerah tersebut. Tak perlu menunggu lama kendaraan berwarna kuning itupun melaju. Sepanjang perjalanan hawa dingin mulai terasa. Dari kejauhan bisa kulihat kabut tebal yang menutupi puncak gunung. Hampir semua orang yang kulihat di jalan memakai jaket tebal satu isyarat yang mengingatkanku perkataan seorang ibu-ibu yang kami jumpai di bis. “Udaranya dingin sekali Aa’. Kendaraan ini terus mengitari lereng-lereng gunung dan terus menuju ke arah kawah putih.

Jika dihitung angkot yang kami tumpangi adalah kendaraan kedelapan semenjak keberangkatan dari tempat tinggalku. Berganti-ganti kendaraan, benar-benar jadi hal yang sangat membosankan sekaligus jadi hal baru yang mengesankan.

Hari suasana rasanya sudah seperti menjelang senja saja saat angkutan yang membawa kami tiba di gerbang kawah putih ciwedey. Saat melihat jam ternyata masih pukul 17.00. Suasana gerbang sudah sepi. Hanya ada beberapa tukang ojek namun tempat pembelian tiket tak lagi ada yang menjaga. Kamipun bisa masuk tanpa harus mengeluarkan ongkos tiket.

Sekedar membasuh diri kami menuju toilet yang terletak tak jauh dari loket dan istirahat sejenak di Mushola selepas tunaikan kewajiban Sholat. Dingin, satu kesan yang nongol pertama kali saat jejakan kaki di sana.

Selepas berganti kostum, menambah lapisan baju dan memakai jaket untuk sekedar melawan hawa dingin kami memutuskan untuk menuju kawah. Rasa penasaran akan pemandangan kawah yang katanya indah itu.

Biasanya ada semacam angkutan yang disediakan pengelola untuk naik ke atas kawah. Namun sore ini angkutan tersebut sudah tak ada lagi yang beroperasi. Sesekali kami lihat mobil dengan plat B menuju kawah putih. Dalam bayangan kami letak kawah tersebut tak begitu jauh dari gerbang utama paling tak lebih dari 2 kilometer, berbekal pemikiran tersebut kami memutuskan untuk berjalan kaki saja naik keatas sambil menikmati keindahan alam. Lokasi tersebut masih alami meskipun jalan menuju puncak sudah diaspal namun kiri kanan masih berupa hutan yang masih sangat asri. Dengan diiringi gerimis hujan dan hawa dingin yang perlahan terus menusuk-nusuk tulang rasanya kami mulai melangkah naik keatas menuju kawah putih.

(Bersambung)

Comments