Skip to main content

Catatan Perjalanan Sang Elang (Bagian Ketiga)

Catatan perjalanan Sang Elang Bagian Ketiga

Selepas menikmati mie rebus pake telur, makanan terlezat yang kami nikmati hari itu, saya minta ijin numpang sholat di Mushola yang berjarak sekira 100 meter dari warung. Salah seorang dari mereka yang kemudian saya ketahui namanya, Pak Acit, meminjami kami lampu petromak.

Awalnya kami dibiarkan jalan sendiri namun karena kondisi yang makin buruk, kabut tebal, dan kuatir kami salah jalan Pak Acit mengantar kami berdua ke mushola tersebut. Suhu begitu rendah mungkin saja dibawah 10 derajat Celcius. Ketika mengambil air wudhu rasanya seperti disiram air lelehan es batu. Sangat-sangat dingin. Dalam perjalanan itu pula saya menyinggung-nyinggung tentang keberadaan hewan liar dan hal-hal yang berbau mistis. Pak Acitpun menanggapi hal tersebut dengan sedikit bercerita tentang adanya Macan jadi-jadian yang seringkali muncul di hutan menuju kawah putih. Bahkan katanya dia juga pernah menjumpai sosok jadi-jadian tersebut.

Saat itu pula dengan tegas pak Acit melarang kami turun kebawah. Dia menawarkan untuk tetap tinggal di atas atau menunggu datangnya mobil patroli dari dinas kehutanan yang memanatu proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi yang katanya mau dibangun lagi. Merasa sudah terlanjur di atas maka kami memutuskan tetap tinggal. Meskipun bayang-bayang ancaman hawa dingin sudah di depan mata.

Selepas Sholat kami bertiga kembali ke warung tempat semula. Di sana kami bercengkerama berbagi cerita dengan bapak-bapak penjaga warung yang semuanya adalah pekerja di perkebunan teh yang terletak tak jauh dari kawah putih. Ada banyak cerita yang mereka sampaikan mulai hal-hal berbau mistis, bule yang malam-malam datang hanya untuk melihat kawah, adanya orang tersesat yang numpang tinggal di warung hingga kegiatan shooting beberapa judul film yang pernah diadakan di tempat ini.




Sambil menahan hawa dingin kami bercengkerama dan terkadang kedua tangan saya letakkan diatas lampu petromak sekedar mengusir hawa dingin.



Waktu terus berjalan..Pak Acit menawari kami tidur di warungnya yang katanya lebih hangat. Kami ngikut-ngikut saja. Ternyata yang dimaksud adalah warung yang terletak tak jauh dari warung pertama dan berukuran lebih kecil. Ternyata tempat yang hangat adalah dibawah meja warung. Dengan diterangi lampu petromak kami berdua pak Acit dan Pak Abun yang juga berprofesi sebagai pegawai perkebunan teh bercengkerama disana. Banyak percakapan mereka dalam bahasa Sunda...yang kami tak mengerti sama sekali.





Bersambung

Comments