Skip to main content

Tak Terasa Berada Di Jakarta


"Aku tiada tahu apa-apa, di luar yang sederhana
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan
Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari
Serta keabadian mimpi-mimpi manusia

Klakson dan lonceng bunyi bergiliran
Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari "


(Ibu kota Senja, Toto Sudarto Bachtiar)

Waktu memang berjalan dengan begitu cepat. Tak terasa sudah hampir setengah tahun aku berada di Jakarta. Menjadi bagian dari jutaan orang yang mengadu nasibnya ke ibu kota. Jakarta, satu nama mengundang jutaan manusia setiap tahunnya.

Macet, bising suara klakson, asap kendaraan, gelandangan kota, serta udara panas menyengat seperti menjadi hal biasa yang pasti akan kutemui tiap kali keluar dan berkeliling Jakarta. Satu hal yang dulunya begitu kubenci, jangankan macet satu, dua kilometer, macet seratus dua ratus meter yang terkadang terjadi di sudut kota Jogja sudah membuatku penat, stress dan memilih turun untuk berjalan kaki. Memang harus kusadari bagaimanapun Jakarta bukanlah Jogja dimana jauh atau tidaknya tempat parameternya adalah jarak. Jakarta bukanlah Jogja dan juga sebaliknya.

Jakarta dengan sejuta mimpinya....tak pernah membuat jera para pendatangnya. Jakarta oh Jakarta...terkadang aku juga heran tiap kali melihat sisi lain dari kota ini. Heran bercampur dengan iba dan tentu saja iba saja tak cukup di kota ini untuk berbuat sesuatu. Ada begitu banyak hal yang terkadang harus mengalahkan iba, sesuatu yang dulunya kuanggap sebagai tindakan tak berperasaan. Tapi aku banyak belajar di Jakarta iba saja tak cukup.

Entah kenapa saat ini aku sudah merasa menjadi bagian dari ibu kota senja..meski terkadang yang kualami persis seperti puisi Toto Sudarto,
Nyanyian-nyanyian kesenduan yang bercanda kesedihan .Menunggu waktu keteduhan terlanggar di pintu dinihari .Serta keabadian mimpi-mimpi manusia.Klakson dan lonceng bunyi bergiliran. Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari . Ya inilah Jakarta, tempat dimana saat ini aku merantau. Meraih mimpiku, untuk bisa berbuat lebih banyak lagi meski tak bisa kupungkiri ini juga sebagai pelarian untuk menghapus satu lembaran pahit yang tak ingin kukenang itu.

Gadis kota

Gadis kota tersenyum kecil..
Kuning langsat kulit terlihat bersih dari asap knalpot dan pabrik yang mengurung kota..
Berlapis lapis topeng coba tutupi satu aura di parasmu..
Topeng bernama glamor metropolitan di lapisan pertama
Dibelakangnya sorak sorai modernisasi ...

semua mengikuti melekat erat di topengmu

Auramu masih terpancar..sedikit berita terakam dalam anganku jangan-jangan
ah yang terlihat kau memang sebagian sosok kecil yang terlindas kota..
Dengan Mode, gaya hidup dan tak lupa sebatang rokok yang kau hisap dalam diammu..
Agama..Tuhan..Semuanya hanya ada saat kesusahan menerpa..
Ah itu hanya pandangan burukku..
Satu aura terus berusaha meyakinkanku..semua yang kulihat hanya topeng dari ketidakmampuanmu menahan gejolak mtropolitan..

Sapamu dalam perjumpaan singkat..
Kau masih secantik dulu kukira saat kau sebut namamu dengan malu-malu pada satu waktu di sudut kota..

Apakah kau tidak lelah dengan semua itu?
Aku bertanya padamu meskipun aku sendiri juga terlanjur menganggap metropolitan sebagai candu..
kau tersenyum..bibirmu masih terlihat indah meski asap rokok bertubi tubi melewatinya
Enggan ku bertanya apakah kau tidak bosan dengan semua itu..
atau mungkin pertanyaan itu tak akan pernah kuucap jika pertemuan menghadapkanmu padaku..
Satu aura itu menglahkan semua dan membuatku tertuju pada satu kesimpulan dibalik topengmu..dibalik asap rokok yang menyelimutimu..Kau Gadis Kota Tercantik Yang memaksa ku berkata "aku terpesona"...
Meski dibelakang semua ancaman kota mulai mengerubungi dan menyekapku...


MF. Arief



Comments