Skip to main content

KAMI ADALAH SENIMAN JALANAN!

Eko (bukan nama sebenarnya) mulai mencari posisi yang pas untuk bisa beraksi di tengah-tengah penumpang bus AKAP (bus antar kota antar provinsi) jurusan Yogyakarta-Surabaya. Sesaat kemudian lelaki dengan rambut agak gondrong, perawakan kurus dan tinggi kira-kira seratus enam puluhan itu mulai menyapa para penumpang. Dengan gaya bicara yang ceplas-ceplos, penuh dengan canda dan sangat cuek ia mulai memperkenalkan dirinya.


Pengamen yang satu ini memang tak seperti kebanyakan rekan-rekan seprofesinya yang lain. Biasanya yang namanya pengamen hampir semuanya membawa alat musik. Eko tak memainkan musik atau menyanyikan lagu. Ia memainkan kata-kata yang ditampilkannya dalam puisi. Eko memang seorang pembaca puisi jalanan dan selalu sendiri dalam melakukan aksi pertunjukkannya.


"Pengamen lagi pengamen lagi. Lagi-lagi datang pengamen datang pedagang. Mungkin itulah yang saat ini sedang anda katakan dalam hati. Anda tidak bisa mengelak ini adalah sebuah resiko jika anda naik kendaraan umum kelas ekonomi. Mau tak mau anda harus terima keberadaan kami para seniman jalanan", kata-kata pembuka yang ia sampaikan sebelum ia memulai aksi solonya.


Lelaki berusia kira-kira dua puluh tahunan itu segera mengeluarkan selembar kertas dari kantong celananya. Dibukanya lipatan kertas yang sudah mulai lusuh itu dan mulailah ia membaca puisi-pusinya

"Puisi yang saya bacakan ini semoga mampu menemani perjalanan anda menuju kota pahlawan Surabaya", seniman jalanan itupun mulai terbawa dalam suasana pusi-puisinya.


Saat sang seniman membacakan puisinya nampak respon yang berbeda ditampilkan oleh para penumpang. Ada yang terdiam, ada yang tersenyum, ada yang biasa-biasa saja seakan tak mendengar apa yang sedang dibaca. Entah apa yang sebenarnya dirasakan dalam hati para penumpang tapi yang jelas puisi yang ditampilkannya cukup memikat.


Mengakhiri aksinya ia menutup dengan sepatah dua patah kata yang isinya tentang puisi karyanya. Sebuah kantong plastik ia keluarkan dari kantong celananya dan ia mulai berjalan mengedarkannya ke penumpang. Nampaknya banyak juga para penumpang yang memberi sekedar recehan uang logam mereka. Di sebuah perempatan yang terletak di daerah Ngawi seniman jalanan itu turun dan kembali mencari bis yang lain untuk memulai aksinya kembali.


Lain Eko lain pula dengan Wawan (bukan nama sebenarnya). Wawan adalah seorang pengamen yang sering beraksi didalam gerbong kereta api. Bersama rekan-rekannya ia sering dijumpai di dalam kereta api yang lewat daerah Kertosono menuju Kediri.Dalam setiap aktivitas mengamen ia sama dengan rekan-rekannya yang lain. Dengan alat musik gitar dan ditambah dengan irama yang dihasilkan galon air mineral ia dan rekan-rekannya beraksi. Hal yang membedakan yang cukup unik adalah mereka menganggap penumpang tak hanya sasaran untuk mendapatkan receh demi receh. Mereka mencoba memposisikan sebagai sahabat yang menghibur dalam perjalanan menuju temjpat tujuan.

Kelompok Wawan dan rekan-rekannya itu sudah sangat dikenal oleh para penumpang terutama di kalangan para mahasiswa yang sering menggunakan fasilitas transportasi umum super murah itu. Tak heran karena keakraban tersebut sering terjadi interaksi yang penuh dengan suasana kekeluargaan bahkan katanya lagi ada penumpang yang memberi oleh-oleh buat mereka tiap kali balik dari kampung halaman mereka.

"Pernah ada penumpang yang aslinya Blitar membawakan kami beberapa kilogram. Sayangnya waktu itu saya pas nggak ada", ujar Wawan.


Mengamen di kereta menurut Wawan sudah lumayan apalagi saat sedang ramai-ramainya.Dari hasil yang ia dapat ia gunakan untuk keperluan sehari-hari dan membiayai sekolah adiknya. Menurut penuturan sebelum memutuskan untuk menjadi pengamen ia pernah bekerja di sebuah pabrik di sebuah kota. Bukannya mendapat uang banyak malah ia sering hambur-hamburkan buat senang-senang. Setelah bertemu seorang rekan ia diajak untuk mengamen di kereta dan hingga kini itu menjadi profesinya.

"Sekarang saya malah bisa nabung buat bantu emak saya", ujar Wawan.


Ada banyak pahit getir, suka duka yang ia alami selama menjadi pengamen jalanan. Sukanya saat mendapat hasil yang lumayan dan dukanya saat ada penumpang yang acuh tak acuh saat ia mengamen, padahal jika mereka menolak dengan baik-baik mereka juga tidak memaksa.

"Hal yang paling kami benci jika ada penumapng yang acuh tak acuh seperti pura-pura nggak lihat sambil main-mainin hp padahal kami tak pernah memaksa diberi syukur ga diberi ya ngga apa-apa", begitu tambah Wawan.


Eko dan Wawan merupakan sebagian kecil dari seniman jalanan yang seringkali dianggap meresahkan. Mereka dianggap sering mengganggu ketenangan perjalanan para pernumpang kendaraan umum. Masyarakat terlanjur mencap para seniman jalanan ini sebagai musuh terselubung yang seakan-akan menakutkan. Dengan cara unik Eko mencoba menepis kesan tersebut, begitu juga dengan Wawan. Bahkan sampai-sampai mereka menganggap penumpang sebagai pahlawan ekonomi.

"Saya beri penghargaan setinggi-tingginya pada anda semua. Anda telah kami anggap sebagai pahlawan bagi kami seniman jalanan. Anda telah membuka lapangan kerja yang tak perlu pakai surat lamaran apalagi ijazah", jjar Eko tiap kali memulai aksinya.


Pengamen, seniman jalanan atau apapun istilah yang diberikan oleh masyarakat mereka semua adalah bagian dari anak-anak bangsa yang karena keadaan terpaksa untuk melakukan pekerjaan tersebut. Jika bisa memilih dan ada kesempatan tentunya mereka akan melakukan hal lain yang mampu membawa ke taraf hidup yang lebih layak. Hal menarik yang telah di tampilkan oleh segelintir seniman jalanan seperti mereka adalah ingin menghapus cap bahwa semua pengamen adalah musuh. Mereka buktikan keberadaannya tak perlu dikuatirkan. Seniman adalah jalanan sahabat di kala perjalanan dan tak semuanya adalah benalu yang meresahkan masyarakat.

Comments