Jogja dalam Sketsa

Samar-samar bandara di kota Moskow itu sudah terlihat. Beberapa saat lagi sebuah impian lama menginjak negeri beruang merah menjadi kenyataan. Hati berdebar-debar rasanya tak sabar, semuanya seperti mimpi saja.

"Suatu saat aku akan menginjak negeri beruang merah. Aku akan sekolah disana", sebuah ucapan yang terlepas di masa lalu yang membuatku dianggap sebagai orang aneh dan pembual.

Rusia, negeri kelahiran Leo Tolstoy, Lenin, stalin, Putin, Alexander Pushkin yang selama ini hanya kubayangkan dalam berita, film dan novel-novel saat ini untuk pertama kalinya kuinjak. Hawa dingin menyengat, kesan pertama yang terasa saat menginjakkan kaki di sini. Semuanya masih terasa seperti mimpi saja. Rasanya baru kemarin aku berada di Jogja dengan sejuta kenangan yang dengan berat hati tertinggal disana.

"Kenangan yang biarlah dengan sendirinya terkubur oleh zaman",kataku dalam hati.

Ada banyak hal yang ingin segera kulakukan disini. Hal-hal yang dulunya hanya bisa kunikmati di novel dan film. Mengunjungi istana merah, melihat dari dekat sungai Neva, menikmati balalaika dan tentu saja ingin mengunjungi tempat-tempat lain yang mengandung nilai historis.

Dalam hati aku masih terheran-heran dan masih merasa mimpi segera aku menyubit diriku sendiri tapi ternyata ini benar-benar sebuah kenyataan. Sesuatu yang membuatku tersenyum-senyum sendiri. Seorang rekan melihat tingkahku langsung menegurku dengan ekspresi wajah keheranannya.

"Kawan, ada apa? Sedari tadi kulihat kau senyum-senyum sendiri. Apakah ada yang lucu? Kulihat kiri-kanan tak ada sesuatu yang lucu yang ada hanya orang-orang setinggi tiang dengan tubuh besarnya", Pradopo, nama rekan satu ini, seorang penerima beasiswa bidang ilmu luar angkasa.

"Ah tak ada kawan. Aku hanya ingin tersenyum saja sekedar tersenyum tentang kenyataan yang saat ini kuhadapi. Ternyata aku tak mimpi ini sebuah kenyataan", jawabku.

Aku ingin memperkenalkan diriku sendiri. Panggil saja namaku Tanca, ini bukan nama sebenarnya. Aku masih ingin membuat teka-teki sebagai gaya khasku. Anggap saja aku adalah Prapanca zaman modern yang tak ingin jati diri aslinya diketahui. Jika suatu saat kau baca sebuah novel Gadjah Mada akan kau dapatkan nama itu. Tanca anggota Dharmaputra Winehsuka yang kisahnya tragis, yang memiliki lika-liku kehidupan asmara yang meliuk-liuk dan berakhir tragis. Tanca seseorang yang memiliki idealisme begitu kuat dan mau berkorban demi kebahagiaan yang terkasihnya.

Ada sesuatu yang sangat beda antara aku dengan rekan-rekanku. Entah kenapa perbedaan tersebut makin mengental dan mengemuka hingga banyak yang menganggapku sebagai manusia teraneh. "Kau itu aneh. Benar-benar orang aneh. Kau memang mas aneh" dan masih begitu banyak lagi sebutan-sebutan aneh yang diberikan padaku. Aku tak pernah marah, tak pernah malu dengan sebutan itu justru selalu saja kubalas dengan senyuman. "Jika anehnya hilang namanya bukanlah Tanca",jawabku.

"Hai kawan jangan nglamun! Itu jemputan sudah datang ternyata benar sesuai dengan rencana semua sudah dipersiapkan", kata Pradopo sedikit mengagetkanku.

Sesaat pandanganku tertuju pada seorang wanita Rusia. Begitu tinggi dan wajah cantik yang mengingatkanku pada tokoh fiksinya Leo Tolstoy Ana Karenin, fikiranku melayang-layang dalam dunia fiksinya Leo Tolstoy. Benar-benar cantik tak kalah dengan wajah-wajah yang selama ini kukenal Maria Sharapova, Elena Dementieva, Anastasia Miskina, Dinara Safina para atlet lapangan tenis yang sering nongol di berita olahraga tv.

Ternyata benar jemputan benar-benar sudah datang. Mereka adalah keluarga yang dengan senang hati menerima kami. Rombongan kami hanya berempat, sebenarnya jatah beasiswa yang diberikan kuotanya duapuluh orang namun yang mengambil hanya sepuluh orang dari sepuluh itu enam telah mengundurkan diri. Kini hanya tersisa empat orang saja mereka adalah Aku, Pradopo, Bagas dan Citra, satu-satunya wanita diantara kami.

Empat orang diantara penerima beasiswa diantara kami memiliki background yang berbeda-beda. Aku sendiri adalah seorang Insinyur Sipil namun mengambil studi budaya dan sejarah, Pradopo seorang ahli astronomi yang mengambil jurusan luar angkasa, bagas seorang lulusan sastra Rusia dan Citra seorang dokter. Hingga saat ini belum sepenuhnya aku mengenal satu demi satu diantara mereka kecuali sebatas nama dan latar belakang.

Kembali kuceritakan tentang diriku. Tentang latar belakang dari tokoh Tanca. Entah kenapa aku teringat sesuatu.

"aku yang melukaimu mengiris hatimu teteskan air matamu..maafkan aku...aku tak bisa menjaga rasa cintaku setiaku kepadamu..usap perihmu lupakanlah aku..aku tak pantas memiliki menyayangi mengasihi...aku tak ingin kau terluka mencintaiku",...

Senja di Boulevard kampus tua. Seorang lelaki muda perawakan agak kurus dengan kulit setengah terbakar matahari, terduduk lesu di bawah gapura kampus. Dengan secarik kertas karton tebal dikipas-kipaskannya didepan wajahnya. Kilauan keringat keluar dari mukanya. Lelaki muda, seorang penulis, wartawan amatiran, yang sering mangkal di sudut kampus tua itu, berburu berita untuk koran terbitan esok hari.


"
Ada kalanya nasib akan berfihak padaku", gumamnya dalam hati.

"Berjuang demi idealisme atau hanya sebuah sensasikah?" Sebuah keraguan yang membayangi dirinya. Sebuah keraguan yang membuat dirinya memilih untuk tetap tenggelam di tengah bersinarnya karir rekan satu angkatannya.

Jalan beda yang ditempuh. Sebuah kontroversi di dalam dirinya. Sesuatu yang terus saja membayanginya seringkali membuatnya terlihat aneh, tertekan dalam kehidupannya.

Sang lelaki muda terduduk di jok motornya. Dalam kesendiriannya dia termenung. Dinikmatinya segelas es doger yang hanya tersisa sepertiga volumenya gelas. Pelan-pelan diteguknya minuman dingin itu. Gelas es yang isinya hampir habis itu ditaruhnya di dinding pagar pasangan batu-bata yang ada di dekatnya.

Sore menjelang Maghrib bunderan masih dipenuhi dengan kerumunan anak-anak muda dengan berbagai aktivitasnya. Tempat yang penuh dengan sejuta cerita. Di taman kecil tepat di atas bunderan itu masih tersisa serakan kertas sisa aksi demonstrasi mahasiswa kampus ini.

Dengan kamera tua olympus miliknya wartawan amatir itu mulai mengambil obyek-obyek yang membuatnya menarik. Apa saja ia ambil tak tahu untuk apa gambar-gambar itu. Yang jelas bukan untuk dikirim ke surat kabar tempatnya bekerja.Sesuatu yang mungkin saja hanya sebuah keisengan untuk mengisi waktu luangnya.

Kini matanya tertuju pada satu arah. Dari kejauhan dilihatnya seorang wanita berambut panjang lurus dengan ikatan rapi. Seorang wanita berbaju rapi dengan kaca-mata. Dengan sepedanya pelan-pelan ia naiki. Wanita berkaca mata membelah jalanan kampus dan masih saja dalam tangkapan mata sang wartawan. Kamera sang wartawan mulai dibidikkan pada sasarannya. Sang wanita terus saja melaju seakan tak ada apa-apa. Terus saja ia mengayuh sepedanya meter demi meter. Ia tak menyadari saat sang wartawan amatir membidikan kamera kearahnya.

Satu, dua, tiga, empat, lima kali sang lelaki membidikkan kameranya. Sebuah senyuman terpancar dari wanita berambut panjang itu. Tapi entah senyuman itu untuk siapa yang jelas terpancar dari wajahnya.

"Benar-benar sosok impian mengagumkan. Sosok yang mampu bangkitkan sejuta inspirasi", wartawan itu tersenyum dan sesaat kemudian pergi meninggalkn bundaran kampus tua itu.

Malam telah menyelimuti boulevard. Perlahan aktivitaspun berganti. Pintu gerbang utama telah ditutup. Kini di seputar pusat kampus tua itu banyak dikelilingi penjual angkringan, sekoteng dan sekelompok mahasiswa yang sekedar nongkrong menghabiskan malamnya.

Beberapa hari ini udara malam di kota ini tak seperti biasanya. Udara dingin terasa hingga tulang. Jangankan di luar rumah di dalam rasa dingin yang tak wajar itu masih terasa. Pantas saja sang lelaki muda terbungkus jaket hitam tebalnya.

Di salah satu sudut kampus terlihat lelaki muda wartawan amatir yang sedang duduk-duduk di warung angkringan.

Tatapan lelaki itu kini tertuju pada sosok wanita yang tengah berdiri, duduk didepan bangunan kampus itu.

"Dia, tak salah lagi",


Lelaki itu segera bangkit dan perlahan mendekati wanita itu.

"Maaf, bolehkah saya tahu nama saudara?", tanya lelaki kurus itu

Sang wanita hanya terdiam.

"Oh ya, namaku Tanca, wartawan freelance sebuah majalah pendidikan",

"Namaku angin", jawab sang wanita


"Sekali lagi maaf, dalam beberapa kesempatan dengan sengaja aku mengambil fotomu. Ini beberapa diantara hasil jepretanku", sang wartawan muda itu menyerahkan selembar amplop coklat besar.


Angin, membuka isi dari amplop coklat itu. Beberapa lembar foto yang semuanya berisi dirinya.


"Sebenarnya ini bukan kali pertama aku melihat anda. Aku tahu tentang segala aktivitas anda di perpustakaan kecil itu. Baru kali ini keberanian cukup memaksaku berkenalan dengan anda",


Angin hanya terdiam dan sesekali tersenyum.


Begitulah sebuah awal cerita dimulai. Angin tak hanya dalam angan-angan Tanca. Ia kini benar-benar ada dihadapannya.


Angin berada di dekat Tanca. Sesuatu yang sangat luar biasa bagi Tanca nyalinya muncul untuk berkenalan dengan angin.


Dalam lamanya perjalanan arungi samudera kehidupan. Jelajahi pulau-pulau

pengalaman. Berhadapan dengan sensasi dan petualangan baru yang semakin seru

tentunya. Semua begitu eksotis atau apalah mungkin tak ada kata-kata yang pas

untuk menjelaskan semuanya. Semuanya akhirnya berlalu begitu saja.

Mungkin sudah terlalu lama pengembaraan yang kulakukan ini. Hari demi hari,

bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tak terasa sang waktu terus saja berputar

dan begitu selanjutnya.


Kini aku kembali dengan rembulan di tanganku…

Aku tak bawa janji-janji atau kata-kata itu. Aku datang cukup dengan rembulan

yang kubungkus dan kumasukkan dalam kantong celanaku

Rembulan buat sang tercinta aku yakin inilah persembahan terbaikku walaupun ini

adalah barang bekas yang kubeli di pasar loak.

Buat kekasihku terimalah rembulan yang kubeli di pasar loak ini sebagai

persembahan cintaku padamu....


Di warung angkringan pinggir kampus inilah aku bertemu dengan sosok yang telah lama kutahu. Benar dia gadis yang dulu tiap hari kuabadikan dalam jepretan kamera tuaku.

Rona merah terpancar di wajahnya ketika kubalas senyuman yang diberikan padaku. Tiap Hari aku selalu melihatnya keluar dari perpustakaan itu. Perpustakaan kecil milik salah satu UKM Universitas tua ini. Selalu saja di waktu yang sama dengan sepeda warna peraknya.

Aku sekarang sedang menguatkan tekadku untuk tak hanya melihatnya. Aku ingin mengenalnya, naluri lelakiku mendorongku untuk lebih jauh tahu tentang dirinya.

"Ah tidak" aku tersadarkan oleh kata hatiku. Aku baru saja mengenalnya. Jangan sampai diri ini kembali terjebak oleh rasa.

Sesegera mungkin aku harus kembali pada kesadaranku. Aku hanyalah sahabat saja. Tak ingin merusak segala yang kujalin dengan susah payah. Aku bukanlah tokoh mesum yang sering diceritakan dalam buku-buku cerita stensilan.

Aku tak mau menyakiti seseorang terlebih lagi tak mau sakiti diriku sendiri. Menyakiti diri sendiri dengan harapan-harapan yang muncul akibat fantasi dan angan-anganku.

Angin, dia benar-benar angin liar tepat seperti namanya. Segalanya tentangnya sangat sulit ditebak dan diduga. Di satu sisi aku mengenalnya bahkan begitu mengenalnya namun disisi lain aku benar-benar tak mampu menebak apa yang ada dalam fikirannya.

Gelap di sepanjang jalan. Cahaya lampu kendaraan yang berlalu lalang yang sedikit membuat kegelapan itu terkurangi. Bayangan rentetan persoalan hidup mengiringi sepanjang perjalananku. Tentang pekerjaan, kisah masa lalu dan begitu banyak hal lain yang jika kuturuti akan mampu meledakkan isi otakku.

Bagian yang paling menarik saat melewati jalanan ini adalah saat diujung perbukitan menjelang jalan turun. Gemerlap lampu kota seperti titik-titik terang yang membelah kegelapan. Indah memang, pemandangan yang sering dinikmati pasangan muda-mudi yang terjebak rasa. Tak heran begitu banyak deretan motor yang terlihat disana.

Aku menengadah menatap langit. Kulihat tebaran angin di atas sana. Aku baru ingat ada sesuatu yang menghilang dalam kehidupanku. Aneh memang rasanya. Telah lama aku tak berhubungan dengan angin. Ia sepertinya lenyap begitu saja. Tak lagi bisa kutemui sepeda warna perak di perpustakaan kecil itu. Sehari, dua hari, tiga hari nampaknya ia benar-benar menghilang.

Senja telah menyelimuti bumi tempatku berpijak. Hawa dingin menembus tulang. Semuanya begitu terasa apalagi saat angin malam bertiup. Hembusannya mampu menembus jaket tebal yang melindungi tubuhku.Akupun terus saja menuruni tangga menuju stasiun bawah tanah jaringan Moskow Metro (Kereta api yang menghubungkan kota-kota di Rusia dan letaknya jauh di bawah tanah).


Nasib baik berfihak padaku: Sebuah beasiswa S2 kudapatkan dari Universitas Moskow. Memang sebuah pilihan yang aneh, rekan-rekanku banyak yang berkata seperti itu.

Ada satu yang kuingat tentangnya. Hari ini dia sedang ulang tahun semoga saja kesehatan, keselamatan selalu saja dilimpahkan oleh yang kuasa padanya.


"Ayo berangkat, teman-teman sudah menunggu",


Aku mulai melangkah naik kereta api itu. Aku harus menjadi diriku sendiri dengan meninggalkan ganjalan masa lalu termasuk sebuah kisah yang pernah tergores di perpustakaan kecil itu.


Enam bulan lagi aku akan kembali ke tanah air. Rasanya sudah tak sabar. Dalam hati aku hanya bisa berharap, berdo'a suatu saat bisa kembali bertemu kembali dengan angin.


"Perjalanan baru kumulai sepenggal. Sudikah kau nanti berada disisiku…!", sebuah harapan yang tersembunyi dalam lipatan hati kecilku

Ah tak usahlah kau berkata seperti itu. Kata-kata yang telah kukubur dalam sejarah hidupku. Satu yang pasti kuingin kita tetap bersama hingga menemukan arti dari kehidupan.


Pelan-pelan kereta bawah tanah inipun melaju.


Sleman, 12 November 2006

(Cerita yang telah lama tertunda pengerjaannya. Bukan karena malas atau entah karena apa. Cerpen ini tak kuselesaikan karena aku tak ingin ada yang membacanya. Sebuah rahasia yang ingin kusimpan sendiri namun akhirnya aku tak mau terus menerus menyimpan rahasia.Aku bukanlah pemuja rahasia.)

Post a Comment for "Jogja dalam Sketsa"