Jogja dalam Sketsa
Samar-samar bandara di kota Moskow itu sudah terlihat. Beberapa saat lagi sebuah impian lama menginjak negeri beruang merah menjadi kenyataan. Hati berdebar-debar rasanya tak sabar, semuanya seperti mimpi saja.
"Suatu saat aku akan menginjak negeri beruang merah. Aku akan sekolah disana", sebuah ucapan yang terlepas di masa lalu yang membuatku dianggap sebagai orang aneh dan pembual.
"Kenangan yang biarlah dengan sendirinya terkubur oleh zaman",kataku dalam hati.
Sesaat pandanganku tertuju pada seorang wanita Rusia. Begitu tinggi dan wajah cantik yang mengingatkanku pada tokoh fiksinya Leo Tolstoy Ana Karenin, fikiranku melayang-layang dalam dunia fiksinya Leo Tolstoy. Benar-benar cantik tak kalah dengan wajah-wajah yang selama ini kukenal Maria Sharapova, Elena Dementieva, Anastasia Miskina, Dinara Safina para atlet lapangan tenis yang sering nongol di berita olahraga tv.
Kembali kuceritakan tentang diriku. Tentang latar belakang dari tokoh Tanca. Entah kenapa aku teringat sesuatu.
"aku yang melukaimu mengiris hatimu teteskan air matamu..maafkan aku...aku tak bisa menjaga rasa cintaku setiaku kepadamu..usap perihmu lupakanlah aku..aku tak pantas memiliki menyayangi mengasihi...aku tak ingin kau terluka mencintaiku",...
Senja di Boulevard kampus tua. Seorang lelaki muda perawakan agak kurus dengan kulit setengah terbakar matahari, terduduk lesu di bawah gapura kampus. Dengan secarik kertas karton tebal dikipas-kipaskannya didepan wajahnya. Kilauan keringat keluar dari mukanya. Lelaki muda, seorang penulis, wartawan amatiran, yang sering mangkal di sudut kampus tua itu, berburu berita untuk koran terbitan esok hari.
"
Sore menjelang Maghrib bunderan masih dipenuhi dengan kerumunan anak-anak muda dengan berbagai aktivitasnya. Tempat yang penuh dengan sejuta cerita. Di taman kecil tepat di atas bunderan itu masih tersisa serakan kertas sisa aksi demonstrasi mahasiswa kampus ini.
Kini matanya tertuju pada satu arah. Dari kejauhan dilihatnya seorang wanita berambut panjang lurus dengan ikatan rapi. Seorang wanita berbaju rapi dengan kaca-mata. Dengan sepedanya pelan-pelan ia naiki. Wanita berkaca mata membelah jalanan kampus dan masih saja dalam tangkapan mata sang wartawan. Kamera sang wartawan mulai dibidikkan pada sasarannya. Sang wanita terus saja melaju seakan tak ada apa-apa. Terus saja ia mengayuh sepedanya meter demi meter. Ia tak menyadari saat sang wartawan amatir membidikan kamera kearahnya.
Satu, dua, tiga, empat,
"Benar-benar sosok impian mengagumkan. Sosok yang mampu bangkitkan sejuta inspirasi", wartawan itu tersenyum dan sesaat kemudian pergi meninggalkn bundaran kampus tua itu.
Malam telah menyelimuti boulevard. Perlahan aktivitaspun berganti. Pintu gerbang utama telah ditutup. Kini di seputar pusat kampus tua itu banyak dikelilingi penjual angkringan, sekoteng dan sekelompok mahasiswa yang sekedar nongkrong menghabiskan malamnya.
Beberapa hari ini udara malam di
Di salah satu sudut kampus terlihat lelaki muda wartawan amatir yang sedang duduk-duduk di warung angkringan.
Tatapan lelaki itu kini tertuju pada sosok wanita yang tengah berdiri, duduk didepan bangunan kampus itu.
"Dia, tak salah lagi",
Lelaki itu segera bangkit dan perlahan mendekati wanita itu.
"Maaf, bolehkah saya tahu nama saudara?", tanya lelaki kurus itu
Sang wanita hanya terdiam.
"Oh ya, namaku Tanca, wartawan freelance sebuah majalah pendidikan",
"Namaku angin", jawab sang wanita
"Sekali lagi maaf, dalam beberapa kesempatan dengan sengaja aku mengambil fotomu. Ini beberapa diantara hasil jepretanku", sang wartawan muda itu menyerahkan selembar amplop coklat besar.
Angin, membuka isi dari amplop coklat itu. Beberapa lembar foto yang semuanya berisi dirinya.
"Sebenarnya ini bukan kali pertama aku melihat anda. Aku tahu tentang segala aktivitas anda di perpustakaan kecil itu. Baru kali ini keberanian cukup memaksaku berkenalan dengan anda",
Angin hanya terdiam dan sesekali tersenyum.
Begitulah sebuah awal cerita dimulai. Angin tak hanya dalam angan-angan Tanca. Ia kini benar-benar ada dihadapannya.
Angin berada di dekat Tanca. Sesuatu yang sangat luar biasa bagi Tanca nyalinya muncul untuk berkenalan dengan angin.
Dalam lamanya perjalanan arungi samudera kehidupan. Jelajahi pulau-pulau
pengalaman. Berhadapan dengan sensasi dan petualangan baru yang semakin seru
tentunya. Semua begitu eksotis atau apalah mungkin tak ada kata-kata yang pas
untuk menjelaskan semuanya. Semuanya akhirnya berlalu begitu saja.
Mungkin sudah terlalu lama pengembaraan yang kulakukan ini. Hari demi hari,
bulan demi bulan, tahun demi tahun. Tak terasa sang waktu terus saja berputar
dan begitu selanjutnya.
Kini aku kembali dengan rembulan di tanganku…
Aku tak bawa janji-janji atau kata-kata itu. Aku datang cukup dengan rembulan
yang kubungkus dan kumasukkan dalam kantong celanaku
Rembulan buat sang tercinta aku yakin inilah persembahan terbaikku walaupun ini
adalah barang bekas yang kubeli di pasar loak.
Buat kekasihku terimalah rembulan yang kubeli di pasar loak ini sebagai
persembahan cintaku padamu....
Sesegera mungkin aku harus kembali pada kesadaranku. Aku hanyalah sahabat saja. Tak ingin merusak segala yang kujalin dengan susah payah. Aku bukanlah tokoh mesum yang sering diceritakan dalam buku-buku cerita stensilan.
Aku tak mau menyakiti seseorang terlebih lagi tak mau sakiti diriku sendiri. Menyakiti diri sendiri dengan harapan-harapan yang muncul akibat fantasi dan angan-anganku.
Angin, dia benar-benar angin liar tepat seperti namanya. Segalanya tentangnya sangat sulit ditebak dan diduga. Di satu sisi aku mengenalnya bahkan begitu mengenalnya namun disisi lain aku benar-benar tak mampu menebak apa yang ada dalam fikirannya.
Gelap di sepanjang jalan. Cahaya lampu kendaraan yang berlalu lalang yang sedikit membuat kegelapan itu terkurangi. Bayangan rentetan persoalan hidup mengiringi sepanjang perjalananku. Tentang pekerjaan, kisah masa lalu dan begitu banyak hal lain yang jika kuturuti akan mampu meledakkan isi otakku.
Bagian yang paling menarik saat melewati jalanan ini adalah saat diujung perbukitan menjelang jalan turun. Gemerlap lampu
Aku menengadah menatap langit. Kulihat tebaran angin di atas
Senja telah menyelimuti bumi tempatku berpijak. Hawa dingin menembus tulang. Semuanya begitu terasa apalagi saat angin malam bertiup. Hembusannya mampu menembus jaket tebal yang melindungi tubuhku.Akupun terus saja menuruni tangga menuju stasiun bawah tanah jaringan Moskow Metro (Kereta api yang menghubungkan kota-kota di Rusia dan letaknya jauh di bawah tanah).
Nasib baik berfihak padaku: Sebuah beasiswa S2 kudapatkan dari Universitas Moskow. Memang sebuah pilihan yang aneh, rekan-rekanku banyak yang berkata seperti itu.
"Ayo berangkat, teman-teman sudah menunggu",
Aku mulai melangkah naik kereta api itu. Aku harus menjadi diriku sendiri dengan meninggalkan ganjalan masa lalu termasuk sebuah kisah yang pernah tergores di perpustakaan kecil itu.
Enam bulan lagi aku akan kembali ke tanah air. Rasanya sudah tak sabar. Dalam hati aku hanya bisa berharap, berdo'a suatu saat bisa kembali bertemu kembali dengan angin.
"Perjalanan baru kumulai sepenggal. Sudikah kau nanti berada disisiku…!", sebuah harapan yang tersembunyi dalam lipatan hati kecilku
Ah tak usahlah kau berkata seperti itu. Kata-kata yang telah kukubur dalam sejarah hidupku. Satu yang pasti kuingin kita tetap bersama hingga menemukan arti dari kehidupan.
Pelan-pelan kereta bawah tanah inipun melaju.
Sleman,
(Cerita yang telah lama tertunda pengerjaannya. Bukan karena malas atau entah karena apa. Cerpen ini tak kuselesaikan karena aku tak ingin ada yang membacanya. Sebuah rahasia yang ingin kusimpan sendiri namun akhirnya aku tak mau terus menerus menyimpan rahasia.Aku bukanlah pemuja rahasia.)
Post a Comment for "Jogja dalam Sketsa"
Ingin Memberi komentar