Grundelan Soal “Wisuda-Wisudaan”
Dulu, ketika ada orang bertanya “ kapan wisuda?”. Ini maksudnya sudah sangat jelas, pertanyaan yang diberikan kepada mahasiswa menjelang lulus. Namun sekarang “wisuda” bukan lagi milik mahasiswa jelang lulus saja. Sebab, mulai dari anak TK, SD, SMP hingga SMA sekarang juga “ikut-ikutan” menggunakan prosesi ini sebagai penanda kelulusan mereka.
Bicara soal “wisuda” ini beberapa hari terakhir menjadi topik “hangat” dimana-mana. Di sebuah akun instagram ada keluh kesah orang tua calon wisudawati sekolah menengah pertama. Orang tua siswa ini intinya merasa prosesi wisuda terasa memberatkan, karena ia harus menyewa kebaya yang digunakan untuk wisuda putrinya. Sedangkan, harga sewa kebaya di kota tempatnya tinggal baginya sudah cukup mahal sekira lima ratus ribu rupiah.
Dulu, jauh sebelum “wisuda” marak di semua jenjang pendidikan saya pernah menjadi orang yang punya pendapat wisuda bahkan di semua jenjang ga perlu. Sampai-sampai entah karena omongan yang menjadi kenyataan ada peristiwa lucu yang saya alami.
Mungkin karena tidak ada yang bisa saya banggakan dari “wisuda” sebelum lulus dari jenjang sarjana saya sering koar-koar. “Ah buat apa wisuda? Hal terpenting adalah kehidupan selepas wisuda?”
Omongan ini sering saya ucapkan pada rekan-rekan saya. Teman yang kebetulan pernah satu unit ketika saya menjalani kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) mungkin masih ingat kata-kata saya ini.
Akhirnya sayapun lulus dari program S1. Waktu itu selepas mendapat Surat Keterangan Lulus rasanya sudah puas. Tapi buat formalitas tetap saja saya mencari informasi di Kantor Pusat Tata Usaha (KPTU) Fakultas Teknik UGM. Perasaan saya, waktu itu saya sudah benar membaca kapan jadwal wisuda dan meskipun sempat punya niatan gam au ikut wisuda saya tetap mendaftar.
Hingga suatu hari saya pergi ke KPTU niatnya mau menyelesaikan soal administrasi dan semua persyaratan wisuda. Sampai di KPTU ada seorang kawan satu unit di KKN memanggil saya
“Heh, Fat kemarin kamu dicari ” kata teman saya sambil tertawa
“Dicari siapa?” saya masih penasaran siapa yang mencari saya.
Ternyata saya dicari waktu wisuda hari Sabtu kemarin. Nama saya sempat dipanggil namun taka da yang maju. Teman saya yang melihat ini langsung tertawa. Namanya salah jadwal waktu itu saya memang sedang acara liputan keluar kota waktu menjadi wartawan koresponden.
“Waduh”, ternyata omongan saya selama ini jadi kenyataan. Meskipun tidak ikut entah kenapa saat itu rasanya enteng saja. Saya langsung menuju bagian administrasi membayar biaya wisuda lalu mengambil Ijazah S1 saya.
Lalu bagaimana perasaan saya saat ini? Apakah ada penyesalan? Masih menganggap wisuda tidak penting?
Sebelum menjawab itu kembali ke soal “wisuda” yang menjadi perdebatan. Saya iseng-iseng sempat membuat status di story instagram “kembalikan wisuda hanya untuk yang lulus kuliah saja. TK, SD, SMP & SMA tidak perlu wisuda”.
Ternyata ada beberapa komentar dari rekan saya. Ada yang menyatakan setuju karena itu memang buang-buang duit saja. Padahal rekan saya ini bukan termasuk keluarga yang pas-pasan kalau ditanya mampu bayar ga ya jelas mampu. Lalu ada teman lain yang dari dulu tidak setuju soal “wisuda-wisudaan” ini, namun karena melihat orang-orang tua yang lain kok kelihatan bahagia ya akhirnya cuma bisa batin saja.
Saya pribadi juga kurang setuju “wisuda-wisudaan” yang lagi marak. Bukan karena sakit hati karena dulu gagal wisuda lo. Karena menurut saya tidak ada “urgensi”nya titik.
Oiya lalu gimana jawaban yang tadi soal gagal wisuda? Harus saya akui sekarang sedikit menyesal karena tidak merasakan rasanya wisuda seperti apa. Masa foto yang dipajang di rumah saya Cuma foto wisuda adik saya dan saya ga ada hahaha.
Tegalsari 13 Juni 2023
Fathoni Arief
Post a Comment for "Grundelan Soal “Wisuda-Wisudaan”"
Ingin Memberi komentar