Skip to main content

Berharap Solusi Mujarab Angkutan Umum Yang Sekarat Pada Calon Wakil Rakyat


Ada sebuah celetukan dari seorang kawan yang karena menarik masih terngiang hingga sekarang. Teman saya bilang “hidup itu seperti roda, yang akan terus berputar, tentunya selama roda tidak kempes di perjalanan”. Saya sependapat dengan kawan saya. Saat menggelinding adakalanya satu bagian roda berada di atas begitu pula sebaliknya.

Bicara soal roda yang berputar saya jadi teringat soal angkutan umum di negeri ini, khususnya bus, angkot dan sejenisnya. Seperti celetukan teman saya tadi, angkutan umum tersebut saat ini memang masih terus menggelinding meski sayangnya sekarang berada pada posisi di bawah. Kondisi angkutan umum di negeri ini bisa dibilang memprihatinkan dan jika tak ada turut campur pemerintah atau wakil rakyat pihak yang bisa menyuarakan solusi perbaikan niscaya roda yang menggelinding pelan itu akan semakin terseok, kempes dan akhirnya berhenti di tempat.

Kenapa perlu campur tangan dari pemerintah atau wakil rakyat? Apakah sebegitu mengenaskan dunia transportasi umum kita? Salah satu contoh kasus adalah kondisi angkutan antar kota Jogja Solo. Akibat makin sepinya penumpang bus-bus Jogja Solo terancam gulung tikar. Padahal, bus trayek tersebut pernah mengalami masa kejayaan selalu ramai penumpang, bahkan beberapa perusahaan otobus (PO) punya jam pemberangkatan yang rapat, dalam hitungan menit saja.

Saya pribadi juga menjadi saksi sebegitu “sesak”nya bus-bus Jogja Solo. Biasanya di saat jam masuk kerja, serta bubaran kerja bus-bus tersebut selalu penuh sesak dengan penumpang. Saking sesaknya bisa dibilang kondisinya benar-benar tidak nyaman, namun waktu itu penumpang juga tidak ada pilihan. Saya masih teringat begitu congkaknya awak bus saat itu ketika penumpang ada yang mengeluh karena dipaksa berdesakan “ Kalau ga mau desakan naik taksi saja”. Meskipun pelayanannya buruk namun bus-bus tersebut masih saja diminati karena memang tak ada alternative lain. Bisa sih naik taksi seperti kata kru tadi tapi itu sangat tidak masuk akal karena mayoritas penumpang hanya buruh pabrik dan pekerja kantoran biasa.

Saat itu sebenarnya ada satu alternatif menggunakan bus Antar Kota Antar Provinsi, namun karena sempat terjadi gesekan akibat berbeut penumpang akhirnya ada larangan menaikan penumpang Jogja-Solo. Meskipun demikian tetap saja ada banyak calon penumpang “nyuri-nyuri kesempatan” naik bus Surabaya-Jogja yang kondisinya jauh lebih layak.

Momen yang menjadi pemicu bus-bus tersebut terpuruk adalah datangnya pandemic covid 19. Dengan kondisi yang sebenarnya sudah mulai memburuk pandemi covid 19 membuat perusahaan-perusahaan tersebut mulai berguguran hingga berhenti operasi. Ada perusahaan bus yang akhirnya harus menjual seluruh armada beserta garasinya sampai-sampai karena kondisi bus sudah terlalu tua dan tak layak dijual kiloan. Kondisi ini berdampak langsung pada nasib para kru yang terpaksa menjalani profesi lain mulai dari tukang hingga kuli bangunan.

Dalam sebuah wawancara mengutip dari portal berita Solopos.com, ketua organda Solo Sri Baskoro mengatakan jumlah penumpang bus Solo-Jogja hanya di kisaran 15 orang hingga 20 orang sekali jalan. Pada jam-jam sibuk, jumlah penumpang bisa mencapai 30 orang. Jumlah itu terbilang minimalis karena jumlah kursi hingga 50 seat. Kondisi ini menurut Baskoro bisa semakin memburuk jika nanti tol Solo Jogja sudah beroperasi.” Sekarang Solo-Semarang saja wis sepi. Saingane travel, Solo-Semarang lewat tol tarif terendah Rp45.000,” katanya.

Saat ini diantara perusahaan bus tersebut memang masih ada yang bertahan meskipun berjalan dengan terseok-seok, lebih-lebih dengan beroperasinya Kereta Rel Cepat Jogja Solo yang jauh lebih bisa diandalkan.

Kasus lain adalah hilangnya bus-bus dalam kota di kota tempat saya tinggal, Boyolali. Tahun 2005, Zakki Kurniawan, mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, meneliti fenomena angkutan desa-kota di Boyolali. Ada beberapa data penting yang bisa menjadi gambaran kira-kira saat itu kondisinya seperti apa. Di tahun tersebut, di Kabupaten Boyolali, terdapat 9 trayek angkutan umum. Trayek ini dilayani oleh mobil penumpang umum (MPU) berkapasitas 12 tempat duduk serta 5 trayek bus sedang.

Menurut Zakki, jika dihitung secara keseluruhan, lintasan rute angkutan desa kota memiliki panjang 266.6 km, sedangkan luas wilayah Kabupaten Boyolali adalah 1.015.101 km2 sehingga kepadatan jaringan trayek desa–kota sebesar 0.00026. Padahal idealnya untuk Boyolali yang memiliki kepadatan penduduk 922 jiwa/km2, kepadatan jaringan trayeknya sebesar 0,6.

Lima tahun setelah penelitian tersebut itu saya masih melihat ada begitu banyak bus dalam kota di berbagai jalur, padahal saat itu kondisi infrastruktur jalan tidak sebagus sekarang. Namun seiring dengan membaiknya kondisi jalan justru angkutan-angkutan yang pernah ada satu demi satu menghilang dari jalanan. Bukannya berkembang justru yang terjadi setali tiga uang dengan bus Solo Jogja. Ada banyak perusahaan otobus yang sekarat dan gulung tikar.

Bicara soal transportasi umum sebenarnya bukan hanya membahas nasib pengusaha beserta kru bus yang nasibnya kian terancam namun juga masyarakat umum yang selama ini masih bergantung dengan angkutan umum. Saya jadi teringat pengalaman saat pertengahan pandemi ketika masih memiliki Asisten Rumah Tangga (ART). Waktu itu memang susah sekali mencari ART yang bisa tinggal di rumah. Apalagi ART yang khusus melayani lansia. Sebagai solusi kami mempekerjakan ART yang tinggal di kecamatan sebelah.

Sebenarnya dari kecamatan tempat ART saya tinggal menuju rumah saya dilewati jalur bus. Namun kenyataannya bus yang beroperasi sangatlah jarang. Jika ada penumpang itu hanya beberapa orang saja. Bahkan ART saya pernah cerita sepanjang perjalanan dari tempat ia tinggal sampai terminal hanya ada dua orang penumpang saja. Walhasil, jika kesulitan mencari angkutan umum saya masih harus dipusingkan dengan persoalan antar jemput. Saat ini kondisinya jauh lebih buruk, angkutan yang dulu masih bisa ditemui sekali dua kali sudah menghilang dari jalanan.

ART saya ini bukanlah satu-satunya orang yang masih bertahan menggunakan transportasi umum, di luar sana masih ada nenek nenek pedagang pasar, pelajar yang tak memiliki kendaraan pribadi hingga pegawai negeri sipil yang karena jarak tempat tugas lebih memilih menggunakan angkutan umum. Jika angkutan umum menghilang selamanya bagaimana nasib mereka?

Saya kira kondisi seperti ini bukan hanya terjadi di jalur Jogja Solo atau Boyolali saja. Ada banyak daerah yang kondisinya mungkin jauh lebih buruk. Kondisi yang mau tidak mau butuh campur tangan pemerintah daerah atau para wakil rakyat yang bisa menghasilkan peraturan atau apalah yang bisa setahap demi setahap mengobati sektor transportasi umum yang sedang sakit parah ini? Bagaimana para calon wakil rakyat, kami menunggu kontribusi nyata dari anda semua supaya roda-roda yang masih berputar meskipun pelan ini tidak menjadi kempes dan berhenti di tengah jalan.

Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments