Skip to main content

Penerbangan Murah Dan Larangan Ijin Terbang

Suasana Di Luar Pesawat Terbang
Empat hari pasca hilangnya QZ 8501 Air Asia, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mendatangi kantor Indonesia Air Asia di Cengkareng. Dalam sidak kali ini orang nomor satu di Kemenhub sempat naik darah, penyebabnya penjelasan Direktur Air Asia yang menganggap briefing pilot sebelum penerbangan sebagai cara tradisional. Jonan kesal dan mengancam mencabut izin terbang maskapai asal Malaysia tersebut jika tak mau mengikuti aturan yang ada.

Rupanya bukan Air Asia saja yang terkena murka sang Menteri. Pasca hilangnya Air Asia Kemenhub segera melakukan investigasi dan audit izin terbang, bukan hanya maskapai yang terkenal dengan tagline now everyone can fly ini, tapi beberapa maskapai lain. Hasilnya Kemenhub membekukan 61 penerbangan dari 5 maskapai. Berdasarkan hasil audit tim dari kemenhub menunjukkan rute-rute penerbangan melanggar atau bahkan tak memiliki izin terbang. Persoalan izin terbang ini juga mengakibatkan 10 pejabat eselon di jajaran Kemenhub dicopot.
Sikap Jonan yang begitu reaktif menyisakan tanda tanya di masyarakat. Ada apa dengan Jonan, apakah ini sebuah respon yang benar atau sekedar tebar pesona. Publik mempertanyakan sepak terjang mantan orang nomor satu di PT KAI.

Bola panas pasca insiden Air Asia terus menggelinding. Tak berhenti sampai pembekuan izin terbang saja, namun Kemenhub berencana mengatur tiket Low Cost Carrier (LCC) dan menaikan batas bawah harga tiket. Dalam waktu dekat Jonan sudah merencanakan aturan tentang pengaturan tarif batas bawah untuk maskapai berbiaya murah atau LCC. Peraturan tersebut mengatur tarif batas bawah sekira 40% dari patokan tarif batas atas. Jika aturan ini benar-benar sudah terbit kedepan bisa dipastikan tak akan ada lagi maskapai yang menjual tiket dengan harga sangat murah. Rencana Kemenhub soal aturan batas bawah tiket pesawat inipun mengundang kontra. Publik menyayangkan kenapa LCC menjadi kambing hitam tragedi Air Asia ini.

Sudah Ada Sejak Tahun 70an

Apakah benar LCC sebagai penyebab utamanya. LCC sebenarnya sudah ada sejak tahun 1970an. Konsep penerbangan biaya rendah digagas oleh Maskapai domestik Amerika Serikat Southwest Airlines. Meskipun hingga saat ini hanya melayani rute dalam negeri, maskapai ini menjadi salah satu LCC terbesar di dunia. Langkah Southwest rupanya menginspirasi maskapai lain, sebut saja Easy Jet, Kanada West Jet dan di Asia ada Air Asia.

Hal yang sekarang perlu dipahami apa yang diterapkan maskapai pengusung LCC adadalah bagaimana bisa tiket yang dijual bisa sebegitu murah. Satu hal yang sering salah kaprah adalah perbedaan antara harga murah dan biaya murah. Konsep LCC adalah penerbangan dengan biaya murah. Tiket LCC itu bisa terjangkau karena banyak faktor, seperti pengoperasian satu jenis pesawat sehingga penggunaan suku cadang bisa efisien, memutus mata rantai penjualan tiket yang bertele-tele dengan memanfaatkan teknologi informasi, Jaringan penerbangan dari titik ke titik dengan rute frekuensi tinggi. Satu lagi ciri khas maskapai LCC mereka memiliki Staf berproduktivitas tinggi. Jumlah staf seminimal mungkin, dari tingkat top management hingga karyawan biasa.

Lalu bagaimana mereka mendapat keuntungan? Dengan harga tiket yang relatif rendah untuk mengejar pendapatan biasanya maskapai mengenakan biaya ekstra untuk layanan makanan, prioritas boarding, alokasi kursi dan bagasi, dll.

Tiket LCC itu bisa terjangkau karena banyak faktor, seperti pengoperasian satu jenis pesawat sehingga penggunaan suku cadang bisa efisien, memutus mata rantai penjualan tiket yang bertele-tele dengan memanfaatkan teknologi informasi, Jaringan penerbangan dari titik ke titik dengan rute frekuensi tinggi. Satu lagi ciri khas maskapai LCC mereka memiliki Staf berproduktivitas tinggi. Jumlah staf seminimal mungkin, dari tingkat top management hingga karyawan biasa.

Reaksi Keras Berbagai Pihak

Merunut dari konsep LCC sebenarnya tak relevan mengkaitkan antara keselamatan dengan harga. Serendah-rendahnya harga pastinya pihak maskapai punya hitungan sendiri agar tak merugi bahkan bisa meraup untung. Tak hanya itu saja, soal keselamatan tentunya maskapai tak mau mempertaruhkan diri dengan mengurangi tingkat keamanan.

Faktanya maskapai LCC seringkali malah mampu meraup keuntungan bahkan melebihi perusahaan induknya. Sebut saja PT Citilink Indonesia, anak usaha PT Garuda Indonesia Tbk justru membukukan laba bersih sebesar US$ 3,8 juta sepanjang kuartal III 2014 atau setara Rp 45,98 miliar. Bandingkan dengan induk perusahaan yang mencatat rugi bersih sebesar US$ 219,54 juta atau sekitar Rp 2,65 triliun.

Contoh lain adalah maskapai asal Easy Jet, maskapai penerbangan Inggris yang berbasis di London, Luton Airport . Ini adalah maskapai penerbangan terbesar Inggris, dengan jumlah penumpang yang diangkut, operasi penerbangan terjadwal domestik dan internasional di lebih dari 600 rute. di 32 negara. Hingga kuartal ketiga 2014, maskapai ini telah menerbangkan 64,769,065 penumpang dan membukukan laba 581 juta poundsterling.

Sebenarnya reaksi menolak rencana kemenhub sudah bermunculan, Penolakan juga bermunculan dari para pelaku usaha bidang pariwisata dan yang terkait. Mengutip dari media online lokal orang nomor satu di Jatim, Sukarwo mengkhawatirkan ujung-ujungnya penghapusan LCC justru malah mendorong pertumbuhan angka pengangguran. Pakde Karwo menyebutkan, geliat industri pariwisata nasional, khususnya di Jatim sangat dibantu murahnya tiket pesawat. Karena, pergerakan wisatawan dari satu daerah ke daerah lain lebih dinamis.

Tolakan yang sama muncul dari anggota DPR RI dari Ketua Komisi V DPR RI, Fary Djemi Francis. Mengutip dari Republika.co.id, Fary mengatakan kecelakaan yang menimpa pesawat AirAsia QZ8501, lantaran pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebagai regulator tidak menjalankan rekomendasi dari KNKT.

Menurut Fary, Komisi V DPR sudah mempelajari rekomendasi KNKT hasil investigasi 10 kecelakaan udara terakhir. "Dan ternyata isi rekomendasinya itu-itu saja. Artinya selama ini kan ada rekomendasi yang tidak dijalankan,".

Dalam laporan investigasi KNKT terkait 10 kecelakaan penerbangan terakhir ada 3 hal yang selalu muncul. Yakni, perbaikan kualitas Air Traffic Controler (ATC), pemeriksaan kelayakan terbang sesuai regulasi dan penguatan kapasitas kemampuan pilot dan kru. Jadi tak pernah ada rekomendasi terkait dengan harga murah.

Kalau mau jujur terkait ATC, Sistem navigasi Air Traffic Control di Indonesia jauh tertinggal, apalagi jika jika dibandingkan dengan negara tetangga Singapura. Radar ATC Singapura sudah memiliki fitur yang mumpuni untuk menjelaskan obyek tak bergerak, seperti awan kumulonimbus. Sedangkan punya kita belum bisa memandu lalu lintas penerbangan berdasarkan kondisi cuaca. Menurut sejumlah pilot Radar menara pengontrol lalu-lintas udara atau air traffic controller (ATC) di bandara-bandara Indonesia tak cukup akurat untuk mendeteksi cuaca.

Dengan begitu banyaknya pekerjaan rumah yang dimiliki dan belum keluarnya laporan lengkap investigasi dari KNKT, seyogyanya Kemenhub lebih arif tak perlu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Apalagi tetap ngotot menaikkan batas bawah akan membuat maskapai yang biasa bermain pada level LCC tidak lagi beroperasi di Indonesia. Padahal bagi masyarakat selaku pengguna jasa penerbangan, kenaikan bakal membuat masyarakat tak punya banyak pilihan yang sesuai dengan kantong mereka. LCC tak perlu diutak-atik, meskipun soal izin terbang standar keselamatan dan faktor lain tetap harus diperketat demi keselamatan dan kepentingan masyarakat banyak.

Fathoni Arief

Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments