Jakarta Rangkasbitung Pergi Pulang
“Ada. Nanti jam delapan,”.
Tiket kereta api jurusan Palmerah-Rangkasbitung seharga empat ribu rupiahpun di tangan. Kereta api kelas Ekonomi paling pagi tujuan Rangkasbitung.
Baru pertama kali saya masuk stasiun, begitu juga menempuh perjalanan ke Rangkasbitung. Daerah yang saya ketahui karena sebuah foto hitam putih Soekarno yang berkunjung ke ibukota Lebak dengan menggunakan kereta api uap dan kisah seorang asisten Residen Lebak bernama Edward Douwes Dekker.
Menunggu kereta, saya duduk di salah satu sudut, di tempat duduk berwarna berbahan sejenis plastik yang dipasang berjajar di kedua sisi. Saya duduk di samping seorang bapak dengan anaknya yang sekira berusia 9 tahun. Di depan saya nampak lalu-lalang pedagang asongan, calon penumpang dan anak-anak kereta yang asyik bercanda. Stasiun belum disesaki penumpang. Ataukah hari ini memang tak banyak penumpang?
Matahari makin meninggi. Tempat saya dudukpun tak luput dari sengatan panasnya. Namun saya masih tak beranjak dari tempat duduk hingga munculnya debu-debu yang beterbangan ketika seorang petugas kebersihan datang berada di belakang saya. Saya beranjak bergeser lebih ke Selatan. Untuk sementara saya bisa terbebas dari debu-debu kotoran.
Sudah hampir pukul 8. Sementara belum ada tanda-tanda kereta yang saya tunggu tiba. Di dekat saya seorang pemuda berusi 20an awal duduk. Di dekatnya ada beberapa kardus bekas tempat air mineral.
“Mau ke Rangkasbitung mas?” tanya saya.
“Iya. Kalau masnya?” dia balik bertanya
“Rangkasbitung juga,”
“Rangkas mana?” dia kembali bertanya
“Rangkasbitung kota. Rencananya mau jalan-jalan saja,”.
Dari cerita pemuda itu jika tidak terlambat kereta bakal tiba di Rangkas pukul 11 siang. Namun sekarang sudah hampir pukul 8. Kereta bakal terlambat. Obrolan saya terhenti ketika terdengar suara sirine mengaum-aum melewati jalan sebelah Timur Stasiun. Saya bangkit mendekati pinggir peron. Nampak mobil pemadam kebakaran terburu-buru melintas seperti mengejar waktu. Setidaknya ada 6 mobil yang lewat. Orang-orang melihat ke arah Selatan. Di langit nampak asap mengepul dan bau benda terbakar tercium hingga stasiun.
“Lihat sampai item begitu,” seorang penumpang menunjuk keatas di tempat terjadinya kebakaran.
“Sebentar lagi kereta Rangkasjaya tujuan Rangkasbitung lewat,” suara dari corong Informasi stasiun. Lampu di sebelah selatan menunjukkan warna hijau. Kereta sudah mendekat. Penumpang yang sedari tadi gelisah menunggu terlihat bersiap. Ternyata kereta hanya melaju. Rangkasjaya tidak berhenti di stasiun ini.
Sayapun mulai gelisah. Berhitung dengan waktu yang ada. Sayapun merubah rencana. Meskipun sudah memiliki tiket Palmerah Rangkasbitung saya memutuskan naik dari Serpong. Di serpong ada seorang rekan yang menunggu. Dengan terburu-buru akhirnya saya membeli tiket KRL Ciujung jurusan Serpong. Setengah berlari saya akhirnya naik KRL ini. Di pojok tak jauh dari pintu saya duduk. Sambil terengah-engah saya membuka minuman jus jeruk dalam botol dan perlahan mebasahi tenggorokan saya. Tak menunggu lama keretapun mulai melaju. Stasiun,nisan yang berjajar rapi di pemakaman Tanah Kusir, pemukiman yang berhimpitan adalah pemandangan terlihat sepanjang jalan. Termasuk awan hitam pekat yang mengepul di atas pasar Kebayoran.
Stasiun Kebayoran, Pondok Kranji, Sudimara, Rawa Buntu adalah beberapa nama stasiun yang dilewati Kereta ini. Mengenai jalur ini mungkin banyak yang pernah membaca cerita tragis di tahun 80an yang terkenal dengan tragedi Bintaro. Tepatnya tanggal 19 Oktober 1987 terjadi tabrakan hebat antara kereta api dari Rangkasbitung dengan kereta dari Tanah Abang. Kecelakaan mau yang merenggut korban jiwa 156 orang dan ratusan lainnya luka-luka.
KRL Ciujungpun memasuki stasiun Serpong. Saya melangkah keluar mencari seorang rekan yang sudah berada di stasiun sambil menanti kereta ke Rangkasbitung. Penumpang lain yang satu gerbong dengan saya juga satu demi satu keluar dari gerbong sementara di luar calon penumpang sudah bersiap mengisi gerbong KRL Ciujung menuju stasiun tujuan mereka masing-masing.
Seorang rekan sudah menunggu di stasiun Serpong. Kebetulan ia tinggal tak jauh dari stasiun tersebut. Sebenarnya kami berasal dari satu kota namun baru berkenalan dan berjumpa beberapa pekan lalu. Kami saling menyapa di lantai atas Stasiun Serpong. Sekilas saya cerita tentang lokasi yang kami tuju dan kemungkinan yang tak terduga yang bakal kami temui dan jalani. Sesuatu yang selalu saya tekankan adalah “ yang terpenting adalah perjalanannya itu sendiri jika nanti di sana mendapat foto menarik atau apalah itu hanya bonus”. Seperti kata-kata yang selalu dikatakan seorang rekan saya lain tiap kali kami melakukan suatu perjalanan.
Kami segera turun ke bawah ketika ada pengumuman kereta tujuan Rangkasbitung segera tiba. Ternyata ada banyak penumpang lain yang menunggu. Dari arah Timur mulai mendekat kereta api kelas ekonomi. Nampak penumpang berjubel. Semua gerbong sudah dipadati penumpang.
“Mau pergi kemana pak?” seorang petugas bertanya pada bapak tua yang tetap berusaha naik meski sudah begitu sesak.
“Rangkasbitung,” jawabnya.
“Sebentar lagi ada kereta lagi tujuan terakhir Rangkasbitung,” kata petugas.
Mendengar kata-kata petugas saya turut lega. Kamipun menunggu kereta berikutnya yang datang beberapa saat setelah kereta api Merak Jaya tujuan akhir Merak melaju.
Kereta yang kami tunggu-tunggu tiba. Kereta api kelas ekonomi dengan susunan tempat duduk mirip KRL kelas Ekonomi Jabotabek. Kereta berhenti dan kami berusaha menyelinap ketengah diantara penumpang yang sudah cukup berdesakan. “Keretaku tak berhenti lama,” seperti potongan lirik lagu ketika masih kanak-kanak, menjauh dari stasiun Serpong menuju Rangkasbitung.
Masih ada banyak stasiun yang dilewati dan jadi tempat perhentian kereta ini. Penumpangpun selalu berkurang namun masih saja sesak karena yang naik juga tetap ada. Penumpang berdesakan berbagi ruang dengan para pedagang asongan yang berlalu-lalang, pengamen dan pengemis. Semua jadi satu di kereta berbagai profesi, suku, dan tentu saja bau keringat yang campur aduk dengan bau lainnya. Semua campur aduk antara berdesak-desakan, lengkingan tangis bayi, suara vokal pengamen yang mencoba mengimbangi suara berisik saat kereta berjalan. Sebuah dunia kecil dalam gerbong. Kereta tua inipun terus melaju berusaha menepati jadwalnya. Stasiun demi stasiun dilewati.
Sepanjang perjalanan saya sempat mengamati suasana baik di dalam maupun di luar gerbong kereta. Ternyata kondisi di luar sepanjang jalan menuju Rangkasbitung tak jauh beda dengan di dalam kereta api ekonomi ini. Betapa daerah yang hanya beberapa jam dari ibukota sebagai pusat perekonomian ternyata kondisinya masih memprihatinkan.
“Masih lama?” rekan saya bertanya,
“Sebentar lagi juga sampai,” jawaban yang sebenarnya hanya asal saja berdasar kata-kata seorang pemuda yang tadi berdiri di dekat saya ketika menelpon. Pukul 11 an sampai begitu yang tadi saya dengar dan sekarang sudah mendekati pukul 11.
Setelah berjam-jam berdiri akhirnya saya mendapatkan tempat duduk. Lumayan juga meredakan pegal-pegal sambil menikmati tahu sumedang yang saya beli dari seorang penjual asongan. Perut yang melilit karena belum sarapan sedikit mereda. Ternyata memang benar sekira pukul 11.10 : “Rangkasbitung persiapan,” kata seorang pedagang asongan sambil tetap menjajakan dagangannya.
Perlahan kereta mendekati stasiun yang dibangun pada tahun 1900. Pemerintah kolonial membangun stasiun ini karena sejak jaman kolonial Rangkasbitung sudah dikenal sebagai daerah industri khususnya yang berbasis perkebunan. Kereta sempurna berhenti, diluar calon penumpang sudah berebut masuk. Kamipun sempat berdesakan mencari celah untuk turun. Kami keluar melintas jalan rel menuju kota. Sambil berjalan melihat kereta yang berhenti saya membayangkan bagaimana suasana stasiun ini tahun 1957 ketika Soekarno berkunjung. Stasiun bersejarah yang kondisinya memprihatinkan.
Bagi Anda yang ingin tahu dimana letak Rangkasbitung bisa melihat peta di bawah ini :
Catatan Perjalanan Jakarta-Rangkasbitung PP
Jakarta, 2 April 2010
Fathoni Arief
(Karena rumah yang selalu membuatku tegak adalah perjalanan dengan segala kisah dan serba-serbinya)
What A Wonderful World (Luis Amstrong)
Post a Comment for "Jakarta Rangkasbitung Pergi Pulang"
Ingin Memberi komentar