Skip to main content

Meretas Mimpi Di Panti

Pagi itu waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan pagi. Seorang lelaki berbadan tegap berseragam tentara dengan atribut lengkap berdiri di sebuah halaman luas berlantai semen. Solikin nama lelaki itu. Ia merupakan anggota aktif Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat berpangkat Kapten.

Kapten Solikin bersiap di lapangan yang terletak di tengah areal Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Cahaya Bathin Jl. Dewi Sartika 200, Cawang, Jakarta Utara. Beberapa saat kemudian penghuni panti dengan berseragam biru muda dan bawahan biru tua berdatangan satu demi satu. Mereka berkumpul di depan Kapten Solikin.

60 orang penghuni tersebut segera membentuk barisan berbanjar. Kapten Solikin memberi aba-aba. Satu diantara 60 orang tersebut mengambil posisi yang berbeda. Rupanya ia bertindak selaku pemimpin barisan, namanya Zuhroh. Selepas dipandu Kapten Solikin gadis berkerudung berkulit agak hitam ini meneluarkan suara lantang menyiapkan barisannya.

Setelah barisan siap, Kapten Solikin secara acak memanggil nama-nama mereka. Memberi pengarahan dan penugasan secara acak. Tiap nama yang dipanggil diberi tugas menyebutkan hafalan mereka, tentang Pancasila, dan hal-hal lain. Tak kalah dengan mereka yang normal hafalan mereka ternyata cukup bagus. Apel pagi, itulah nama kegiatan yang tiap hari selain hari Senin diselenggarakan di PSBN Cahaya Bathin.

Seperti inilah rutinitas tiap pagi dari 60 penghuni panti sebelumbersiap untuk mengikuti kegiatan sehari penuh. Mengawali hari dengan penekanan disiplin bersama Kapten Solikin, salah seorang pengasuh di PSBN Cahaya Bathin.

Solikin juga merupakan penyandang tunanetra. Selepas menjalani pemulihan akibat kecelakaan saat tugas yang merenggut penglihatannya ia meminta ditugaskan di panti ini. Ia membantu memberi pelatihan di panti ini khususnya mengenai kedisiplinan serta motivasi. “Sebenarnya saya dulu berasal dari batalyon Zipur 8, Wirabuana di Makasar. Waktu itu tengah bersiap operasi keamanan di timor Timor. Kebetulan waktu itu ia bertindak sebagai Komandan Kompi Penjinak Bahan Peledak. (Pasukan Jihandak),” ujarnya.


PANTI SOSIAL BINA NETRA CAHAYA BATHIN

Tak susah mencari keberadaan PSBN Cahaya Bathin. Panti ini terletak di Jalan Dewi Sartika No.200 Jakarta Timur, tak jauh dari rumah sakit Budi Asih dan berdekatan dengan pusat lembaga pelatihan kesos milik Departemen Sosial.

Panti ini lokasinya cukup strategis meskipun di pusat kota namun jika sudah masuk ke lingkungan kesan tenang terbawa. Akses dengan kendaraan umum juga relative mudah bagi yang tidak menggunaskan kendaraan pribadi.

PSBN Cahaya Bathin dari usianya tak bias dianggap baru. Panti ini ternyata sudah berdiri sejak tahun 1958. Namun awalnya bernama Panti Karya Asuhan Budi yang kegiatannya menampung hasil razia yang dilakukan oleh Pemda Provinsi DKI Jakarta. Saat itu masih dalam kendali Departemen Sosial.

Panti beralih kepemilikan di tahun 1984. Waktu itu Pemerintah Daerah DKI mengambil alih panti dan mengganti namanya menjadi Panti Penyantunan dan Rehabilitasi Khusus Tuna Netra. Penggunaan nama Cahaya Bathin sendiri baru pada tahun 1986 sesuai dengan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 736. Selanjutnya muncul SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 163 tahun 2002 digabung Panti di Cengkareng dan Cawang (ex Depsos). “Namun dalam waktu dekat Cengkareng akan dijadikan satu dengan Cawang. Panti di Cengakareng bakal digunakan untuk kepentingan yang lain,” ujar Djaka Kunandjaya, SH, MM Kepala PSBN Cahaya Bathin.

Djaka menambahkan saat ini ada 60 penghuni di panti yang berlokasi di Jalan Dewi Sartika, Cawang sedangkan di Cengkareng ada 40 orang. Mereka berusia antara 13 hingga 30 tahun.
Namun dalam waktu dekat penghuni panti yang ada di Cengkareng bakal direlokasi ke Cawang. “ Rencananya bakal diperuntukan bagi kepentingan lain,” kata Djaka.

Djaka mengatakan Panti yang di Cengkareng memang tidak didesain untuk menampung tunanetra. Awalnyadigunakan untuk menampung para lansia. Karena untuk lansia tata letak bangunan juga menyesuaikan berupa rumah-rumah kecil yang posisinya terpencar. Kondisi seperti inilah yang menyulitkan ketika digunakan untuk menampung tuna-netra.
Dengan posisi permukiman yang berpencar seperti itu membuat setiap kali ada tamu untuk mengumpulkan ke aula saja membutuhkan waktu cukup lama. Mereka harus dituntun satu demi satu. “ Disini lebih enak. Lokasi kelas ada di atas dan di bawah adalah asrama mereka. Lokasinya terpusat. Sehingga mudah dalam memobilisasi,” ujar Djaka.


TAK HANYA MENAMPUNG WARGA DKI

Karena dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya panti ini diperuntukkan bagi mereka yang berasal dari DKI. “ Karena ini milik Pemprov sehingga yang berhak menjadi penghuni panti adalah orang-orang yang memiliki KTP DKI,” ujar Djaka.
Namun ternyata pelaksanaanya di lapangan berbeda. Karena faktor kemanusiaan mereka juga tak menutup pintu bagi warga lain meskipun tidak memiliki KTP DKI. “ Mereka yang berasal dari luar juga diterima masuk dengan pertimbangan kemanusiaan,” ujar Djaka.
Selain berasal dari masyarakat yang langsung dating untuk mendaftar penghuni panti ada yang berasal dari hasil dari razia yang dilakukan dinas social provinsi DKI Jakarta. Mereka yang diidentifikasi tunanetra dijaring di tampung ini. Tentunya tunanetra yang dijaring yang sehat karena nantinya mereka di tempat ini bakal dibina agar bisa hidup secara mandiri. Meskipun di lapangan ternyata kebanyakan hasil razia ada yang tua dan sakit-sakitan.

Satu diantara penghuni panti adalah Septohadi Nugroho. Remaja asli Jakarta Timur kelahiran 23 tahun lalu ini sempat berkisah awal mulanya tinggal di panti ini.

Septo, begitu dia biasa dipanggil, merasa bersyukur menjadi salah satu bagian dari penghuni panti ini. Dibandingkan dengan saat pertama kali masuk setahun lalu ada banyak hal yang telah ia dapatkan. “Awal saya berada disini tidak bisa apa-apa. Untuk berkomunikasi dengan teman-teman juga tidak bisa,” ujarnya.

Kini sosok Septo telah banyak berubah. Ia semakin termotivasi untuk lebih banyak belajar tentang berbagai hal yang belum ia mengerti dan kuasai. Satu cita-citanya ingin menjadi contoh bagi teman-teman lain yang senasib dengannya. Menurutnya semua sebenarnya bisa jika latihan. Ia mencontohkan dirinya dulu yang juga belajar dari nol.

Sekarang ada banyak hal yang sudah Septo kuasai. Tak hanya kemampuan dan keterampilan dasar saja yang ia kuasai namun hal-hal lain seperti bermain musik. Septo piawai menabuh drum dan bermain gitar. Atas kepiaiwainya dalam bermain musik ia pernah dipercaya oleh Depdiknas untuk tergabung dalam sebuah tim untuk rekaman pembuatan modul pembelajaran kesehatan dan Reproduksi.

Meski sudah menguasai banyak keterampilan ternyata keinginan Septo untuk terus belajar tak berhenti sampai disini saja. Ia bahkan menyimpan mimpi besar untuk melanjutkan studi hingga bangku. “ Apa yang saya dapatkan dari sini hanya berupa batu loncatan, semoga bisa jalan terus,” ujarnya.

Ternyata ada juga raihan prestasi yang pernah diukir oleh para penghuni PSBN Cahaya Bathin. Yang terbaru tahun ini mereka mampu menjadi Juara II tingkat nasional lomba hafalan Undang Undang yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi. Raihan ini lebih baik dari tahun sebelumnya hanya meraih juara III.

Ada juga torehan yang diraih oleh satu siswa lain yaitu Muhamad Hilmi. Berbekal puisi karyanya, Ia menjadi wakil Provinsi DKI dalam ajang lomba puisi tingkat Nasional untuk tuna netra meskipun belum mampu menjadi yang terbaik.


MEMILIKI BERBAGAI KEGIATAN RUTIN


Seperti lazimnya panti-panti tunanetra yang lain, PSBN Cahaya Bathin juga membekali penghuninya dengan beragam keterampilan. Hal yang diberikan mulai dari motivasi, kedisiplinan serta semangat bangkit dan kemampuan untuk mengurus dirinya sendiri. “Pertama-tama yang harus ditangani mental dan sikap dulu. Soal ketrampilan itu nomor kesekian,” kata Kapten Solikin.

Terkait dengan sikap dan mental Djaka menceritakan kisah seorang penghuni panti, namanya Zuhroh. Zuhroh masuk ke panti ini dalam keadaan terbuang. Ia tak memiliki keluarga. Hidupnya berpindah dari satu panti ke panti yang lain. Pertama kali datang ia dalam kondisi stress berat, sehingga sangat mudah marah.

Berkat ketekunan dari para pengasuh akhirnya sosok Zuhroh kini sudah jauh lebih baik. Bahkan kini ia dipercaya sebagai pemimpin barisan tiap kali upacara bendera atau kegiatan apel pagi.
Beberapa pembekalan yang mereka dapat diantaranya Orientasi dan mobilitas (OM). Dalam kegiatan ini penghuni panti diberi materi dan pelatihan seputar pengenalan lingkungan di sekitarnya dan bagaimana cara bisa bepergian. Pelatihan ini dimulai dengan hal-hal yang sederhana seperti cara naik tangga, turun tangga, menyeberang dan sebagainya.

Kegiatan ini tak hanya dilakukan di dalam wilayah panti terkadang dilakukan diluar juga. Misalnya ke pasar, terminal, stasiun dan sebagainya. Pelatihan ini diberikan seminggu sekali.
Pengetahuan lain penting yang diberikan adalah mengenai kesehatan dan reproduksi. Ada seorang dokter yang sengaja diundang untuk memberikan pengetahuan seputar ini. Menggunakan boneka yang digunakan untuk mengenalkan organ-organ reproduksi dan tanda-tanda genital bagi penghuni panti.

Agar bisa menambah ilmu pengetahuan warga panti juga mendapat kemampuan membaca huruf Braille. Tak hanya huruf Braile Latin namun juga Al Quran Braille bagi yang beragama Islam. Di bidang kesenian mereka mendapatkan keterampilan bermain musik. Di panti ini memiliki studi musik sendiri dengan peralatan yang lengkap.

Sebagai bekal untuk bisa mandiri secara ekonomi berbagai keterampilan juga diajarkan. Keterampilan seperti membuat berbagai alat sehari-hari seperti keset, dan kemampuan pijit. Mereka mendapat berbagai teknik pijit mulai dari refleksi, shiatsu dan massage.
Djaka menambahkan meskipun sudah memberi banyak bekal yang saat ini masih mengganjal adalah membantu mereka penyaluran ketempat kerja. “ Namun hingga saat ini kami masih belum bisa. Seharusnya kami harus dibantu oleh dinas-dinas lain,” ujarnya.

Sebenarnya menurut Djaka PSBN Cahaya Bathin sudah berupaya. Upaya nyata dengan membuka praktek pijat dengan harga yang relatif terjangkau. Sekali pijat masyarakat hanya membayar Rp. 30 ribu saja. Biasanya yang datang dari masyarakat sekitar.

Hasil dari praktek tersebut sepenuhnya menjadi hak penghuni panti. Meskipun ada sebagian yang disisihkan untuk tabungan mereka. Perinciannya dari 30 ribu tersebut, 20 ribu untuk mereka dan 10 ribu disimpan. “Sewaktu waktu akan dikembalikan lagi pada mereka misalnya ketika mereka hendak mudik. Ketika hendak lebaran,” kata Djaka.

Selain kegiatan rutin sehari-hari di momen tertentu menurut Djaka ada juga kegiatan seperti pentas seni, perlombaan dan kegiatan lain. “ Misalnya lomba adzan, sari tilawah, ceramah agama. Kegiatan seperti ini biasanya diselenggarakan pada bulan ramadhan,” katanya.
Meskipun mendapat banyak fasilitas dan berbagai pelatihan berharga ternyata semua itu didapatkan penghuni panti dengan Cuma-Cuma tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Menurut Djaka semua hal terkait dengan pembiayaan dan operasional sudah dianggarkan oleh pemerintah DKI. Sumber dana lain menurut Djaka juga ada namun hanya insidentil saja. Ada donatur di saat-saat tertentu misalnya ketika bulan puasa, hari raya dan sebagainya.

Mengenai keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat menurut Djaka yang sering mengadakan kegiatan di panti ini adalah sebuah LSM yang intens menangani penderita Low Vision. Ada beberapa orang dalam pengawasan mereka. Djaka mengatakan kemungkinan kalau mereka nanti bisa dioperasi bakal dioperasi. Mereka biasanya datang sebulan sekali atau dua bulan sekali untuk mengadakan pengawasan. “ Low vision itu mereka matanya nampak seperti orang normal namun tidak melihat,” kata Djaka.

Djaka menjelaskan rencananya penghuni panti normalnya tinggal disini selama 2 tahun dan nantinya harus bisa mandiri. Untuk bisa disebut mampu mandiri standar yang harus mereka miliki menurut Djaka adalah mereka sudah bisa baca huruf braile, braile Al Quran, punya beragam keterampilan. Jika telah lulus mereka tak dibiarkan begitu saja. Mereka juga diberi bantuan berupa alat-alat untuk kerja seperti alat massage, shiatsu serta refleksi dan tetap dipantau oleh panti.

Selama ini menurut Djaka banyak lulusan dari sini yang sudah mendapatkan kehidupan yang layak. “ Tapi dalam kemandirian itu juga kami tinjau, evaluasi, apakah benar mereka sudah benar-benar mandiri? Kalau mereka sudah punya tempat itu sudah kita anggap mandiri,” ujar Djaka.

Menjadi Kepala Panti sudah menjadi hal biasa bagi Djaka. Meskipun di tempat ini ia baru menjadi Kepala panti sejak bulan februari tahun 2009. Sebelumnya ia pernah menjadi kepala di beberapa panti lain. Tahun 2007 ia menjadi kepala di panti jompo Cilambar selama 2 tahun setelah itu ditugaskan ke Plumpang mengurusi anak jalanan. Mengenai panti tempat ia bertugas sekarang ada satu misi yang ia perjuangkan. “Saya berharap PSBN ini suatu saat bisa menjadi panti percontohan di DKI Jakarta,” ujarnya.


FATHONI ARIEF

Comments

hery saputra said…
Salut buat pak Solikin, masih bisa memberikan semangat dan motivasi dalam pengabdianya kepada bangsa dan negara melalui panti sosial bina cahaya batin, walaupun tidak harus ke medan perang.kapten Caj Hery.S
Namaku Nensi, bulan April 2011 sampai Juni 2011 aku jd WS di Cahaya Batin. memang benar, salahsatu yang membuat aku salut adalah Pak Solikin. Dia lah yang memotifasiku untuk tidak berdiamdiri, aku adalah seorang sarjana pendidikan dari Universitas pendidikan Indonesia, sebagai sarjana pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. pasca kelulusan, aku pun bingung karena belum adanya pekerjaan atau sekolah yang siap menerimaku sebagai tenaga pengajar dalam mengamalkan ilmu yang kupunya. akhirnya aku mengambil alternatif untuk menambah keahlian pijat dan terdamparlah aku di PSBN Cahaya Batin. tp tak ku duga, pak Solikin menyemangatiku untuk tak berpangkutangan dan berdiam diri, akhirnya sebelum tahun ajaran baru di mulai bulan Juli ini, akupun telah meninggalkan PSBN untuk terus mencari kesempatan. sebenarnya aku sangat ingin suatu hari nanti aku kembali ke sana bertemu pak Solikin dan lainnya, dan aku ingin mengajar anak-anak di sana, sebab, aku telah jatuh cinta dgn panti itu, panti kecil yang telah membuatku lahir kembali sebagai Nensi yang tegar. "Ayo maju PANTIKU"!
Fathoni Arief said…
Wah rupanya mbak Nensi terinspirasi juga dengan sosok pak Solihin..saya saja merinding...
Unknown said…
Mas fathoni apa bisa minta no pak solikin yang bisa dihubungi . Karena saya tetangga nya temen anaknya dulu waktu dizipur 8. Terima kasih
Fathoni Arief said…
wah sudah lama sekali pak.. dulu kebetulan saya dapat info dari orang Depsos... jadi nomor beliau saya tidak punya.