Skip to main content

Lebih Dekat Jakarta : Kenapa Saya Rindu Jakarta



Ada satu pepatah yang sering kita dengar terkait dengan Jakarta, “Sekejam-kejamnya ibu tiri masih lebih kejam ibu kota”. 

Sebagian orang mengamini pepatah tersebut dan faktanya dalam keseharian mereka mengalami kerasnya hidup serta berbagai hal yang akhirnya membuat mereka perlahan keluar dari kota ini. Namun tak sedikit juga yang tidak terpengaruh dengan pepatah dan berbagai kisah pilu di sini mereka berbekal mimpi berduyun-duyun memadati kota yang semakin sesak ini.

Lalu seperti apa Jakarta menurut pandangan saya? Dalam hati saya yang paling dalam tidak bisa mengingkari kota ini tidak senyaman Tulungagung tempat saya lahir, ataupun Yogyakarta kota dimana saya menuntut ilmu. Namun saya juga tidak bisa memungkiri disaat saya jauh dari kota ini ada satu kerinduan untuk kembali. Satu perasaan yang mungkin tak pernah saya rasakan sebelum 3 tahun yang lalu ketika memutuskan hijrah ke kota ini.



Sebelum 3 tahun lalu melihat dan membayangkan ibukota yang terbersit adalah ketakutan, kesumpekan, keruwetan. Ketakutan yang disebarkan berita-berita kejahatan yang saya baca atau llihat di media baik cetak maupun elektronik. Kesumpekan muncul ketika membayangkan konon orang Jakarta tinggal di gang-gang sempit, pinggiran rel, daerah-daerah kumuh lain dan hanya orang kaya yang bisa punya rumah yang lebih layak. Sedangkan keruwetan muncul membayangkan bagaimana rasanya berkendara di Jakarta mobil, bis, motor, truk tumpah ruah di jalan hampir setiap hari dan setiap saat. Perasaan itu muncul juga membayangkan bagaimana penumpang kereta yang berjubel bahkan hingga naik di atap kereta.


Lalu pertanyaanya sekarang kapan saya mulai suka atau lebih tepatnya jatuh cinta dengan kota ini? Semua sebenarnya melalui sebuah proses tepat seperti satu pepatah lain, “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta,”. Ketika saya mulai mengenal kota ini, seluk beluk mulai dari kejahatan, peluang, fasilitas, ternyata tanpa sadar timbul perasaan nyaman.

Dulu saya begitu gugup berkendara di Jakarta naik sepeda motor. Berjalan kaki sendiri di sebuah daerah barupun timbul was-was yang berlebihan. Saya juga masih ingat rasanya pertama kali naik angkot sendirian, bayangan dan imajinasi aneh-aneh langsung muncul. Perlahan rasa tersebut hilang dan ketika menemukan tips-tips dan trik untuk menikmati fasilitas dengan aman dan nyaman akhirnya terkadang rasa takut dan was-was bisa berubah 180 derajat.

Satu pengalaman saya berkendara dengan KRL. Terus terang saja dulu saya begitu takut naik KRL. Belum naik di stasiunpun sudah timbul rasa was-was apalagi masa-masa pertama kali di Jakarta. Namun kini KRL menjadi transportasi yang begitu saya andalkan dan begitu saya nikmati apalagi ketika mengetahui bagaimana tips dan trik meminimalisir supaya tidak jadi korban copet. Seringkali saya memilih naik KRL jika hendak menuju kota atau ke arah Bogor. Selain lebih murah KRL lebih cepat dibanding sarana yang lain. (Mengenai tips dan trik naik KRL bakal saya sampaikan di artikel tersendiri).

Saya kini bisa menikmati kota ini. Meskipun saat ini saya tinggal di daerah gang yang relatif sempit ternyata masih nyaman juga jika bisa memilih yang bersih dan murah. Sehari-hari saya naik sepeda motor dan seringkali macet memang namun yang penting kehati-hatian dalam berkendara harus tetap diperhatikan. Satu hal lagi tentang kota ini yang membuat saya rindu di kota ini saya menemukan sahabat-sahabat baru tak hanya satu dua bahkan cukup banyak. Bersama merekalah saya sering berjalan-jalan menikmati kota ini
.


Jakarta dengan segala kurang dan lebihnya tetaplah magnet yang mampu menarik jutaan warga baru. Namun banyak hal yang tak boleh terlupa butuh tak sekedar niat saja untuk bisa bertahan di kota ini. Butuh kerja keras dan kerja keras agar justru tak menjadi benalu yang menambah beban masalah tak hanya bagi pemerintah namun masyarakat Jakarta sendiri. Terakhir perlu mengenali seluk beluk Jakarta untuk bisa sekedar antisipasi dari sumber yang benar dan selalu kewaspadaan tetap perlu meskipun kita sudah merasa aman dan nyaman di kota ini.

Jakarta tak hanya milik warganya. Makanya sama-sama Nyok kita jage Jakarte! (meski ngomongnya pakai logat medhok khas Jawa Timuran..hehe)

Jakarta, 18 Januari 2010

Comments