Skip to main content

Penari Topeng

Penari Topeng

Tangisan balita tetangga menghentikan tidur nyeyakku. Sambil menguap perlahan kubuka mata dan melirik jam weker yang ada di sebelah kanan tempat tidurku. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Suasana sekitar tempat tinggalku sudah menjadi alarm yang mampu memberikan petunjuk waktu yang akurat.

Seperti biasanya, setiap selesai bangun tidur, langsung saja kubuka komputer jinjingku dan menyalakan akses internet. Sebagai sarapan pagi menu utama yang selalu kusantap foto-foto vulgar, gosip-gosip artis ternama dan iklan lowongan kerja. Jika sudah begini, aku akan betah berlama-lama memandang layar yang ukurannya tak lebih dari 10 inci ini.

Kali ini yang langsung kubuka adalah iklan lowongan kerja. Ada begitu banyak iklan lowongan kerja setiap hari ada saja posisi yang ditawarkan. Namun dari segitu banyak iklan tersebut tak ada satupun yang sesuai dengan kualifikasiku. Akibatnya seperti inilah, aku masih saja menjadi pengangguran. Aku seorang sarjana yang lama menganggur dan ternyata diluar sana ada begitu banyak orang lain sepertiku. Apalagi setelah berdiri begitu banyak Universitas di negeri ini yang bersaing mencari mehasiswa. Aku hanya sarjana diluar sana terdapat begitu banyak master dan doktor yang bersaing mendapat kerja sepertiku.

Setelah menyusuri halaman demi halaman web, mataku tertuju pada satu iklan lowongan kerja. “Akhirnya,” kataku. Setelah sekian lama ada juga lowongan yang persyaratanya bisa kupenuhi. “Anda Sarjana, lama menganggur, atletis, berbadan sehat, energik, percaya diri, ingin mendapatkan pekerjaan? Segera datang ke tempat kami. Hubungi bapak Sarimin : 08638999999” begitu bunyi iklan tersebut. Langsung saja kucatat nomor telepon dan alamat penyedia lowongan tersebut. Kesempatan tak boleh kusia-siakan. Kali ini aku harus mendapatkan pekerjaan.

****

Memakai sepeda motor kudatangi alamat penyedia lowongan tersebut. Hari masih pagi sehingga jalanan kemacetanya belum sangat parah. Sehingga aku masih bisa menyelinap di sela-sela kendaraan besar.

Ternyata cukup jauh juga alamat penyedia lowongan tersebut. Butuh waktu 2,5 jam berkendara menembus macet dari tempat tinggalku kesini. Namun kedatanganku kiranya tidaklah sia-sia. Aku berdiri di depan gedung berlantai 4, bercat putih, dengan parkiran luas. “Gedung semegah ini, tentunya pekerjaan yang dijanjikan bakal lumayan,” kataku dalam hati. Namun semua bagiku tidaklah penting. Kali ini aku hanya ingin mendapatkan pekerjaan.

Dengan pakaian rapi, bersepatu, berbekal ijazah yang sudah kumasukan dalam map mika aku melangkahkan kaki memasuki gedung tersebut. Di pintu masuk seorang resepsionis cantik tersenyum dan langsung menyapa. “Selamat pagi pak, bisa saya bantu,”

“Selamat pagi mbak!” aku melirik kearah kartu identitasnya. Disana tertulis nama Lisa MSc. Apakah mataku tak salah lihat? Seorang resepsionis bergelar S2. Atau itu bukanlah gelar namun singkatan nama.

“Ada yang salah pak?” resepsionis tersebut tersenyum dan menebak keingintahuanku.

“Saya mencari bapak Sarimin,”

“Syarat-syaratnya sudah dibawa semua pak?,” tanya Lisa

“Sudah mbak,”

“Kalau begitu sekarang bapak tunggu disana dulu sambil mengisi blangko ini,” Lisa menyerahkan beberapa lemba blangko berisi pertanyaan yang harus kuisi. Pertanyaan demi pertanyaan, isian-demi isian itupun kuselesaikan tepat ketika Lisa kembali.

“Sudah selesai semua pak? Kalau sudah silahkan ditinggal saja. Bapak langsung masuk ke ruangan F lantai 2. Bisa lewat tangga langsung atau lift.

Aku makin terkagum-kagum dengan kantor ini. Sungguh perusahaan yang cukup besar dengan gedung berfasilitas lengkap. Namun ada beberapa hal yang bagiku masih mengganjal. Kenapa tak banyak kulihat lalu-lalang orang di gedung ini.

Di lantai 2 bagian pojok ternyata masih ada seorang sekretaris yang menerimaku.

“Silahkan langsung masuk saja pak. Silahkan duduk dulu di sana,” Sekretaris itu mempersilahkanku duduk di kursi dengan sofa empuk.

Di dalam ruangan tersebut seseorang berbadan tegap, rapi, memakai kemeja krem, celana hitan dan berdasi menyapaku. Dia tersenyum dan, “Namaku Sarimin,” lelaki itu menjulurkan tangan kanannya mengajaku berjabat tangan. Namun aku sesaat hanya terdiam. Masa nama dia bernama Sarimin. Dari perawakanya yang kekar, gaya yang trendy, wajah tampan lebih tepat ia bernama Michael, Jack, Brandon atau paling tidak Joko lebih pas dibanding Sarimin.

“Mas..” sekali lagi lelaki itu memanggil saya.

“Oh, maaf. Perkenalkan saya Darma,” dalam hati sebenarnya aku malu. Lelaki itu lebih gentle, percaya diri dengan nama yang bagiku aneh tersebut. Sedangkan aku? Sebenarnya namaku Darmo pakai huruf o. Tapi setiap berkenalan atau orang bertanya siapa namaku selalu saja aku menyebut namaku Darma memakai huruf a. Pak Sarimin mempersilahkan aku duduk. Dia memintaku menunggu selagi mencari sesuatu dari tumpukan berkas di mejanya.

“Baik pak Darma, bisa kita mulai wawancaranya?”

“Silahkan pak,” jawabku. Suara lelaki tersebut begitu berwibawa dan entah kenapa tubuhku kini merasakan panas dingin. Namun aku sudah bertekad, kali ini harus lolos dalam rekrutmen kerja. Lelaki itu bertanya banyak hal. Mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan, pengalaman kerja dan banyak hal lainya termasuk apakah aku menyukai bidang kesenian. Dari penjelasanku nampaknya Pak Sarimin begitu terkesima. Lalu ia menyodorkan sesuatu padaku. Sebuah surat kontrak kerja.

“Coba bapak pelajari dulu. Jika berminat silahkan hubungi anda tanda tangani,”

Akupun membaca selembar kertas tersebut. Perlu waktu beberapa saat bagiku untuk memutuskan iya atau tidak. Fikiranku kembali diingatkan banyak hal, utang menumpuk, tunggakan uang kos, utang di warung dan calon istri yang sudah minta dinikahi. Dengan menarik nafas panjang aku menerima pekerjaan itu dan segera menandatangani surat kontrak tersebut.

****

Aku bersama dua orang rekan kerja, berada di sebuah perempatan jalan besar. Kami masing-masing memiliki tugas yang berbeda. Seorang rekan membawa bunyi-bunyian yang ia mainkian dengan ritme tertentu, seorang lain berkeliling membawa pesan dari sponsor ? Akulah sebagai penarinya. Dengan kostum khusus dan make up yang unik. Inilah kali pertama aku menjalani pekerjaan baruku. Pekerjaan yang mengingatkanku akan cerita Ayah.

Dulu puluhan tahun lalu ketika Ayah masih kecil, setiap sore kakek sering mengajaknya berjalan-jalan di taman kota. Di sana ada sekelompok orang memainkan kesenian ada yang memainkan musik dan ada pula yang bertugas berkeliling mengumpulkan recehan dari penonton. Diantara mereka ada pula seekor hewan kecil yang sekarang sudah punah, dulu orang menyebutnya monyet.

Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments