Skip to main content

Gerakan Satu Rumah Satu Tanaman Cabe

Melonjaknya harga cabe, menjadi topik paling hot yang diperbincangkan di tengah masyarakat, khususnya kalangan kaum hawa, akhir-akhir ini. Naiknya tidak tanggung-tanggung di beberapa daerah untuk jenis cabe kriting sempat berada di angka Rp.100.000,-/kg. Bahkan saking luar biasanya ongkos untuk mendapatkan si merah pedas ini di sebuah warung di Yogya mencatumkan harga Rp.3000,- untuk satu sendok sambal.

Naiknya harga cabe tak ayal membuat para pecinta rasa pedas kalang kabut. Mereka bakal kehilangan sesuatu di rumah makan-rumah makan langganan. Sesuatu yang mungkin bagi mereka yang tak begitu hobi dengan sensasi pedas tak menjadi soal. 

Melonjaknya harga berbagai jenis cabe awalnya saya kira karena faktor cuaca yang tidak mendukung. Terlalu banyak hujan membuat panen cabe tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Saya semula menganggap kenaikan berawal dari petani yang berinisiatif membuat harga naik sehingga pedagang mau tak mau juga mengikuti. Ternyata dugaan saya tak sepenuhnya benar. 

Mertua saya kebetulan adalah seorang petani. Di salah satu bagian lahan ditanami tanaman cabe. Saat harga cabe katanya begitu luar biasa cabe mertua hanya dihargai Rp.30.000,-. Padahal konon waktu itu harga di pasar sudah mencapai Rp.75.000,-. Berarti yang untung pedagangnya dong? Ternyata juga tidak sepenuhnya benar. Antara pedagang dengan petani ada yang namanya pengepul. Di tingkat pengepul inilah rupiah demi rupiah banyak terkumpul sedangkan pedagang keuntunganya tidak signifikan bahkan hampir sama ketika harga cabe masih stabil.

Luar biasanya harga cabe ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita. Berapa sih kebutuhan harian tiap-tiap keluarga akan cabe? Apakah sampai berkilo-kilo. Saya kira tidak sampai segitu kecuali memang tengah ada acara atau kegiatan khusus. Saya membayangkan bagaimana jika di setiap rumah memiliki tanaman cabe. Saya teringat ibu saya yang pernah selama berbulan-bulan tidak membeli cabe dan cukup dengan tanaman cabe di pojok halaman rumah. Atau rumah mertua yang bahkan bisa menghasilkan berkilo-kilo cabe (sebagai tanaman tambahan di lahan sawah). Mungkin ada pertanyaan jika tak memiliki lahan bagaimana? Bukankah cabe bisa ditanam dengan menggunakan media pot. Saya kira masalah selesai. Urusan pembelian cabe di tingkat pedagang mungkin tetap ada sebatas kekurangannya saja.

Apakah nantinya ini justru bakal membuat petani cabe gulung tikar? Saya kira tidak. Bukankah mereka masih punya konsumen yang banyak seperti warung makanan. 

Berbagi takkan pernah membuatmu merugi

Comments

tapi sekarang sudah mulai turun lagi kan yah
tapi sekarang sudah mulai turun lagi kan yah