Skip to main content

Susan Magdalane Boyle dan Kisah Pencarian Pintu Sukses

Malam itu menjadi titik balik kehidupan Susan Magdalane Boyle (48 tahun) menemukan pintu suksesnya. Ia mengikuti sebuah audisi ajang pencarian bakat di Inggris Raya. Ketika pertama kali naik panggung banyak yang menyangsikan  wanita asal Skotlandia tersebut. Apalagi melihat tampilan secara fisik yang kurang sedap dipandang. Dewan juri waktu itu juga terkesan meremehkan.

Salah seorang juri, Simon Cowell, langsung mengajukan pertanyaan kenapa baru kali ini ia ikut ajang. Maklumlah, usianya saat itu sudah menginjak 47 tahun. Bagi mereka yang sering mengikuti acara-acara pencarian bakat menyanyi, nama Simon tentunya tak asing lagi. Ia akrab dengan pertanyaan yang sinis dan menyerang peserta. Namun Susan tetap terlihat santai dalam menjawab pertanyaan Simon. Menurutnya memang baru kali ini ia berkesempatan tampil di ajang seperti ini dan ia akan memperlihatkan sisi lain darinya.

Dalam ajang Britain's Got Talent 11 April 2009 itu wanita asal Blackburn, kota kecil 5 mil dari Edinburg, menyanyikan I dreamed a dream yang menjadi soundtrack fim Les Misérables. Kontan saja, ketika suaranya telah keluar semuanya terpana, termasuk para juri. Nama Susan Boyle pun dikenal di Inggris Raya hingga Amerika. Album pertamanya yang dirilis November 2009 bahkan laku hingga jutaan kopi.

Susan merupakan satu contoh, mereka yang memiliki bakat, karena belum pernah mendapat kesempatan sekian lama bakat hebatnya tak membuatnya menjadi apapun. Hingga setelah ia berusia 47 tahun kesempatan didapatnya dan ketika itu juga kombinasi antara bakat dan kesempatan membawanya meraih sukses besar. Cuplikan kisah tentang Susan Boyle tersebut diceritakan kembali oleh Prof. Rhenald Kasali Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia saat memberikan materi dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan 2010 di Sawangan, Bogor.

Rhenald mengulas berbagai hal di antaranya tentang bakat seseorang. Mengenai bakat atau talenta ada banyak studi yang pernah dilakukan. Contoh pertama adalah hasil kajian dari John Maxwell. Hasil studi pemenang nobel sastra di tahun 2003 tersebut ternyata menunjukan jika hanya sekedar mengandalkan kecerdasan saja (IQ) belum cukup. Dalam buku berjudul talent is not enough John beranggapan hal itu hanya sekedar talenta dan baru akan berhasil jika ia bisa menemukan “pintu suksesnya”. Susan Boyle adalah contoh mereka yang akhirnya berhasil menemukan pintunya. “Banyak sekali orang-orang hebat yang tidak berhasil menemukan pintunya,” kata Rhenald.

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh seorang sosiolog dan penulis yang begitu popular dan terkenal, Malcolm Gladwell. Ia menulis sebuah buku berjudul Outliers. Malcolm bilang dari hasil penelitiannya ternyata hanya sebagian kecil peraih nobel di bidang fisika, kimia, kedokteran yang berasal dari universitas ternama serta memiliki kecerdasan intelegensi (IQ) di atas rata-rata atau jenius. Ternyata hal tersebut bisa terjadi karena banyak sekali orang dengan kemampuan di atas rata-rata namun tidak menemukan pintu suksesnya.

Tepat setelah berakhirnya perang dunia pertama, seorang profesor muda asal Universitas Stanford, Lewis Terman bertemu seorang anak laki-laki yang luar biasa, Henry Cowell. Terman saat itu memang tengah menggeluti bidang pengujian kecerdasan. Tes pengujian IQ Stanford-Binnet yang kini kita kenal adalah hasil ciptaanya. Terman tergerak untuk menguji Cowell. Ternyata anak lelaki yang hidup di tengah kemiskinan dan kekacauan ini memiliki hasil tes IQ 140. Hasil yang membuat Terman tergerak melakukan penelitian selanjutnya.

Terman kemudian mengumpulkan anak-anak dengan kecerdasan luar biasa yakni mereka yang memiliki IQ diatas 140. Ia melakukan penelitian selama bertahun-tahun. Hasilnya orang-orang yang memiliki IQ 140 keatas setelah 30 tahun sedikit sekali yang berhasil karena tidak menemukan pintu suksesnya. Hal itu bukan karena mereka kurang cerdas tapi tidak menemukan pintunya. “Kesuksesan yang luar biasa bukan disebabkan oleh bakat, namun kesempatan yang dimilikinya”, kata Rhenald menirukan ucapan Malcolm Gladwell.

Peran Lebih Universitas

Lalu bagaimana menyelaraskan antara bakat, potensi dan kesempatan? Rhenald Kasali berpendapat, inilah tugas dari universitas. Institusi pendidikan baik itu universitas ataupun sekolah harus bisa membuat anak didiknya menjadi insan yang aktif mencari pintunya. Menurut Rhenald selama ini orang berpikir itu akan datang sendiri kepada mereka, padahal sebenarnya tidak.

Rhenald mengatakan menjadi tugas universitas untuk menjembatani kedua hal tersebut. Menurutnya di Indonesia ada begitu banyak mahasiswa memiliki talenta, bakat. Disamping itu pasar kerja  membutuhkan dan bisa menyediakan kesempatan serta peluang bagi mereka. Menurut Rhenald itu menjadi tugas pendidik untuk mampu membaca potensi yang ada di mahasiswa. Seniman terkenal Michelangelo memiliki satu ungkapan terkenal: pada setiap batu cadas selalu terlihat batu yang indah. Namun yang menjadi masalah apakah pendidik ini mampu mewujudkan ungkapan Michaelangelo atau bukan. “Kalau kita seperti Michel angelo kita langsung mengerti anak didik kita,” ujarnya.

Rhenald menegaskan sudah menjadi tugas pendidik untuk mengeluarkan potensi keindahan anak didik dan membebaskan belenggu-belenggu yang mengikatnya. Lalu bagaimana caranya serta apakah yang dimaksud dengan belenggu itu? Ia menjelaskan belenggu tersebut sesuatu yang menutupi, menghambat sehingga potensi yang ada tidak muncul. Jika belenggu itu berupa kebodohan, maka pengetahuan menjadi solusinya. Namun ternyata menurutnya itu saja tak cukup, karena masih perlu ada tambahan soft skill. Selain brain memory yang perlu diperhatikan adalah muscle memory. Ini membutuhkan latihan demi latihan. Guru besar UI ini memberi contoh seorang yang hobi bermain golf. Bermain golf membutuhkan latihan terus menerus. Dengan berlatih terus menerus lama kelamaan semua  jadi serba otomatis. Rhenald menyebut tak hanya memperhatikan di brain memory saja, tapi juga pada mielinnya (nama lain dari muscle memory).

Jadi meskipun seseorang hanya berkemampuan biasa-biasa, namun jika tekun dalam mencari “pintu sukses” justru akan berhasil. Begitu juga orang-orang yang memiliki talenta yang terbatas namun dia tekun mencari pintunya dan akhirnya menemukan, dia akan sukses apakah dalam karir atau apa.

Sinergi Antara Teori Dan Praktek

Sebuah film berjudul Something the Lord Made memiliki kisah yang menarik tentang kombinasi antara teori dan praktek.  Jika anda berkunjung ke Universitas John Hopkins, Amerika Serikat di satu ruang terpampang foto-foto orang-orang yang berjasa dalam ilmu kedokteran dari universitas tersebut. Dua orang yang terpampang ada nama Alfred Blalock dan Vivien Thomas. Nama yang disebut awal adalah dokter yang pertama kali berhasil melakukan operasi baby blue. Rupanya Blalock tidaklah sendiri. Pertama kali membedah dia dibantu oleh seseorang yang bernama Vivian Thomas. Vivian bukanlah seseorang yang berlatar belakang di dunia kedokteran meskipun dia akhirnya menjadi dokter kehormatan. Ia adalah seorang tukang bangunan. Lebih celakanya dia kulit hitam dimana waktu itu dianggap rendah.  “ Tapi kombinasi antara keduanya antara seorang mikro scientis dengan tukang bangunan, memperoleh kombinasi antara knowledge dengan practice,” kata Rhenald.

Menurut Rhenald, seringkali kita mengabaikan praktek sehingga akibatnya ketika terjun di dunia kerja orang yang mengabaikan itu akan menjadi lemot dan lambat. Itu juga menurutnya yang membuat mengapa sekarang banyak terjadi plagiasi karya ilmiah. ” Karena kita tidak melatih mereka praktek menulis. Itulah jadi satu persoalan sendiri betapa pentingnya latihan,” katanya. 
Dengan berlatih pencarian pintu sukses bakal lebih mudah.

sumber image : atech.org

Fathoni Arief

Silahkan kunjungi juga, Kumpulan Artikel saya lainnya di sini.

Berbagi itu takkan pernah membuat kita merugi

Comments