Skip to main content

Mang Udin

doc.Fathoni Arief

“Sudah siap Pak?” tanya Mang Udin.
“Sudah Mang,” jawabku setelah mengambil posisi tengkurap di atas tikar plastik. Ia kemudian mulai menuang minyak dari botol, berwarna coklat, ke sebuah piring kecil. Diletakanya piring kecil tersebut di sampingku, lalu ia mengeluarkan sebuah benda berwarna coklat seperti kayu yang ujungnya tumpul bercabang dua.

Mang Udin mulai menyentuh telapak kakiku dan menekan-nekan alat pijatnya. Ia memijit titik-titik yang selalu membuatku menahan rasa sakit. Seperti biasanya, sambil memijit, ia selalu bercerita banyak hal, tentang kampung halaman, keluarga dan pengalaman di masa lalunya.
“Tak terasa, sebentar lagi lebaran ya Pak!”
“Iya Mang, orang-orang sudah mulai sibuk dengan persiapan mudik,”
Sesaat Mang Udin terdiam. Ia sibuk memijit kaki dengan tekanan-tekanan yang membuatku meringis. Melihat reaksiku seringkali ia bertanya “Sakit Pak?” meski jawabanku selalu “Tidak,” rasa sakit sebenarnya tengah kutahan.

Beberapa hari lalu, sebenarnya aku sudah mencari Mang Udin. Biasanya ia selalu lewat di jalan-jalan kampung menawarkan jasa pijatnya. Namun sejak awal puasa hingga pertengahan tak kujumpai lelaki ini. “Saya baru sakit Pak,” penjelasan Mang Udin atas ketidakhadirannya.
Seminggu Mang Udin tergeletak di rumah, di kampung halaman berjarak 8 jam perjalanan dari Jakarta. Total 15 hari ia istirahat memijit. Waktu yang sangat berarti baginya. Bayangkan saja jika selama ini sehari minim ia bisa mendapatkan dua orang yang memanfaatkan jasanya. Anggap saja sehari mendapat Rp.40.000,- 15 hari tak berkeliling artinya kehilangan Rp.600 ribu.
“Yah mau bagaimana lagi Pak,” katanya. Ia melanjutkan ceritanya. Kali ini tentang istrinya yang tengah hamil tua. Menurut perhitungan bidan desa lebaran bakal melahirkan.

Tak terasa sejam sudah Mang Udin memijit badanku. Pegal-pegal yang beberapa hari ini kuarasakan sedikit hilang. “Sebentar ya Mang,” kataku sambil mengambil lembaran rupiah dari dompet.
“Terima Kasih Mang,” lembaran uang itu sudah berganti ke tangannya. Senyum lebar muncul dari wajahnya melihat uang sejumlah dua kali lipat dari biasa yang kuberikan.

Setelah membereskan barang-barangnya, Mang Udin langsung pamit. Waktu sudah menunjukan pukul 10 malam, namun, menurutnya ia masih akan melanjutkan berkeliling kampung. Seharian dari pagi hingga malam, ia baru mendapatkan dua orang. Ia harus memijit sebanyak mungkin orang buat bekal pulang dan biaya bersalin istrinya saat melahirkan.

FATHONI ARIEF


What A Wonderful World (Luis Amstrong)


Comments