Skip to main content

Cerita Lain Tentang Bromo

Matahari mulai menampakkan dirinya dengan sempurna. Dari yang semula hanya bulatan kecil berwarna kuning kemerah-merahan kini makin membesar dan membuat terang wilayah sekitar puncak gunung Penanjakan. Bromo dengan asap tebal putih yang mengepul diatasnya terbit makin jelas terlihat. Ini bukanlah akhir dari tour wisata gunung Bromo. Dari briefing yang saya terima semalam berikutnya mobil bakal membawa kami untuk bisa melihat Bromo dari dekat.

Saya yang sempat menuruni sebuah lembah dan menikmati view yang cukup menarik dari sebuah lokasi yang cukup datar kini kembali naik keatas. Saya baru menyadari ternyata sedikit harus bersusah payah untuk balik ke tempat semula. Terjadilah insiden kecil mungkin karena sudah lama tak menjelajah medan yang pakai turun naik begini pinggang saya terasa sakit. Untung saja saya bisa sampai di atas dengan selamat.
Perlahan satu demi satu wisatawan yang tadi memadati tempat pengamatan kini mulai pergi satu demi satu. Ah, saya terpisah dengan ketiga rekan. Perlahan-lahan saya menyusuri dari tempat pengamatan melihat kiri-kanan disana tak saya jumpai mereka. Saya hanya bisa mencari secara langsung maklum di puncak sinyal kedua Hand Phone lenyap. Meski keduanya memakai operator yang berbeda. Keduanya bakal muncul jika sudah agak turun di sekitar mobil parkir.

Saya terus menuruni tangga demi tangga mengamati wajah-wajah pengunjung yang berada di warung dan penjual souvenir hasilnya ternyata nihil. Tak berhasil menemukan akhirnya saya memutuskan jalan kaki turun ke tempat mobil diparkir. Saya masih hafal plat nomor dan ciri-ciri jepp yang kami naiki. Ternyata lumayan juga menuruni puncak penanjakan ke tempat mobil berada apalagi dengan kondisi badan yang memang kurang fit. Ternyata disana juga tak saya jumpai ketiganya. Disana yang ada hanya ibu dan dua orang putrinya yang memang satu mobil dengan kami. 

Sayapun kembali keatas mencoba mencari lagi. Di sebuah toko souvenir saya dapati dua orang rekan. Ternyata mereka berdua juga berpisah satu sama lain hingga akhirnya bertemu. Kini masih kurang satu orang lagi. Kedua orang rekan saya sedikit was-was mengingat rekan yang terpisah itu nampaknya tak hafal plat mobil dan sebelumnya sempat mengirim SMS dari sebuah ponsel yang ia pinjam. Saya tetap berada di toko souvenir sementara kedua orang teman mencoba mencari lagi. Namun hasilnya nihil.

Kami bertiga memutuskan untuk turun kembali ke mobil siapa tahu dia sudah turun dan ada di mobil. Ah, ternyata di mobil juga tidak ada. Karena waktu makin mepet dan sopir sudah pingin buru-buru berangkat kami minta waktu sebentar. Sekali lagi kami memutuskan naik lagi berjalan kaki menyisir dari puncak tempat pengamatan ternyata tak ketemu juga. Suasana sudah cukup lengang. Naik turun beberapa kali ternyata membuat nafas saya ngos-ngosan juga. 

Karena tak bisa ditemukan dan waktu yang terus berjalan kami memutuskan melanjutkan perjalanan ke lokasi berikutnya. Kemungkinan rekan kami tersebut berjalan atau naik ojek menuju savana. Mobilpun menuruni puncak penanjakan perlahan-lahan. Waktupun terus berjalan, matahari mulai meninggi. 

Pemandangan menuju Bromo memang menyegarkan mata. Tak seperti yang sehari-hari saya jumpai di Jakarta. Kiri kanan bisa kami lihat pepohonan dan pemandangan yang masih tampak alami. Kami masih saja membahas kemungkinan keberadaan teman saya. Sambil melihat pinggir jalan siapa tahu nampak ia sedang jalan. Tak berapa lama kemudian ponsel seorang rekan saya berdering. Penelepon adalah teman saya yang terpisah. Ternyata teman saya yang hilang itu kini sudah berada di dekat pos kuda. Kontan saja kami semua tertawa-tawa tak habis fikir dan membayangkan bagaimana wajah dan ekspresi panik teman saya itu. Mobilpun tiba di tempat parkir sebelum menuju puncak kawah Bromo. Dari kejauhan kami melihat teman kami duduk menunggu di dekat pos kuda.

Sambil menunggu dua orang rekan yang tengah antri di kamar kecil saya mendatangi seorang tukang kuda. Saya mendapat cerita yang menarik. Ia bercerita tentang asal kuda-kuda tersebut. Kuda-kuda yang dipakai mengantar pengunjung itu banyak yang berasal dari pandaan. Kuda ini bukanlah kuda nomor satu yang biasanya dipakai untuk pacuan kuda jadi ukurannya juga tak begitu besar dan secara harga menurutnya jauh lebih murah. 

Kamipun melanjutkan perjalanan menuju kepuncak. Saya sebenarnya masih fikir-fikir. Sehabis naik turun dan insiden kecil ketika mengambil foto di lembah nafas rasanya sudah hampir habis. Ya sudah saya coba menuju puncak. Menuju puncak Bromo bisa berjalan kaki atau naik kuda hingga di anak tangga pertama. Kami memutuskan jalan kaki saja apalagi lumayan juga yang harus dikeluarkan jika menyewa kuda. 

Diantara pengunjung tersebut nampak pula wisatawan asing. Tentang orang asing saya jadi teringat perbincangan beberapa turis dari eropa dan cina di kantin vila tempat saya menginap semalam. Mereka berbincang soal Handphone. Ternyata tak jauh beda dengan kita-kita. Mereka saling membandingkan fitur dan harga. Yang menarik ketika bicara soal harga. Seorang wisatawan asal Eropa bercerita di tempatnya jika ingin mendapatkan HP yang murah lebih baik membeli produk Cina. Sedangkan dari cerita wisatawan asal Cina ia justru lebih memilih ponsel Eropa. Di negaranya harga ponsel Eropa justru lebih murah.

Langkah-langkah kecil kami terus menyusuri lautan pasir. Dari yang saya ketahui dari milis dan situs internet dalam kondisi normal lautan ini bakal menyulitkan langkah menuju kawah. Untung saja semalam hujan sehingga tak banyak debu dan permukaannya cukup padat. Jarak tempuh antara tangga naik dan pos cukup lumayan lebih dari 2 kilometer. Karena nafas yang tersengal dan serasa mau putus sehngga saya sempat berhenti di tengah-tengah. Di sebuha batu besar berbentuk seperti meja datar saya istirahat smentara ketiga teman terus berjalan. Sambil istirahat saya bisa mengambil gambar dari berbagai sisi. Dari tempat saya berdiri nampak sebuah pura yang berdiri cukup megah.

Setelah merasa pulih saya memutuskan mencoba naik. Sayang sekali sudah jauh-jauh datang ke tempat ini jika tak sampai menjangkau puncak. Dengan bersusah payah saya berhasil menjangkau tangga. Saya melihat keatas. Ternyata ada ratusan anak tangga dengan sudut curam yang harus saya naik jika ingin sampai ke puncak. Satu demi satu anak tangga saya naiki dan berkali-kali istirahat mengembalikan tenaga yang serasa terkuras habis dan pinggang yang bermasalah. Usaha ini tidaklah sia-sia. Saya bisa sampai di puncak dan melihat kawah yang mengepulkan asap belerang. Mengenai anak tangga ini ada sebuah mitos katanya jumlahnya bisa berbeda-beda ketika dihitung. Saya sendiri tak sempat menghitung karena konsentrasi terpusat pada mengembalikan tenaga yang serasa terkuras.

Hanya beberapa saat menikmati pemandangan dari puncak Bromo tiba-tiba angin bertiup kencang. Asap bercampur belerang pekat membuat pengunjung yang sudah berada di atas berduyun-duyun menuruni tangga sambil terbatuk-batuk. Saya juga bergegas turun. Selain asap belerang yang membuat mual waktu sudah mendekati tengah hari. Kendaraan sudah menunggu. Kami harus kembali ke villa dan turun ke kota menunggu angkutan yang bakal membawa kami kembali ke Jogja dan saya harus turun di Kertosono untuk melanjutkan perjalanan menuju Tulungagung.

Fathoni Arief


What A Wonderful World (Luis Amstrong)

Comments