Skip to main content

Senandung Sunyi

"Kau masih ingat tidak, satu tekad yang dulu kau bawa ketika memutuskan datang ke kota ini?" , sesosok bayangan menamparku, menyadarkanku, tangan kuatnya mencengkeram, "Candak tali goci".

"Ah, entahlah aku sudah lupa. Aku hanya ingin lanjutkan hidup, berburu kertas demi kertas berstempel Bank Indonesia," kataku.

"Kau, memang sudah lupa. Atau kau memang sudah sengaja melupakan," pelan-pelan sesosok bayangan itupun melepaskan cengkeramannya padaku. Kini tubuhnya mulai terkulai. Tak segarang tadi terduduk, lemas bersandar di dinding.

"Aku benar-benar tak tahu akan semua yang kau maksud. Benar. Yang kutahu aku lelah. Lelah dan lelah. Kau tahu kenapa?"

"Yak, tentu saja aku tahu," bayangan itu hanya mendesah tak memprotes jawabanku.

"Lalu apa artinya dengan perjalanan yang selama ini kau lakukan? yang kau dengungkan? Sudah hilangkah berlembaran cerita yang katamu selalu bisa menginspirasi, jadi sebuah pelajaran. Atau semua omong kosong. Bayangan itu kembali berdiri kali ini tangannya menggebrak pintu kayu disampingku dan belum sempat hilang kekagetanku tangan satunya menamparku. Pukulan cukup keras yang membuatku terhuyung-huyung, ada di batas antara sadar dan tidak sadar.

Pelan-pelan kurasakan tubuhku melayang-layang dan entah kenapa ada diorama yang ditunjukkan padaku. Aku lihat diriku yang berada di dalam angkot mendengar dua orang rekanku yang serius bicarakan sesuatu. " Saya terkadang berfikir Allah sudah begitu memudahkan saya. Coba bayangkan mulai dari SD, SMP, SMA, kuliah hingga kerja nyaris selalu dimudahkan," kata-kata yang bisa saya dengar dari temen saya. Kulihat diriku yang hanya manggut-manggut saja..seakan mengerti dan mengamini semua kata-katanya..

Lalu kembali aku berputar-putar dan berjejalan manusia-manusia yang pernah kujumpai baris dan tersenyum. Aku hanya diantara kumpulan orang-orang itu. Kulihat orang-orang Menoreh yang tertawa-tawa, para pekerja di Tiara Handycraft yang dengan segala keterbatasan tak pernah mengurangi kekagumanku atas mereka, Ulum, manusia luar biasa yang kujumpa di Qoryah Thayyibah, Pak Acit, penjaga warung di kawah Ciwedey..ah dan makin banyak lagi..makin banyak lagi...

Aku mulai ketakutan dan berteriak...lega ketika tahu ternyata semuanya hanya mimpi..Angin menerpaku.mengembalikan kesadaranku..Dalam kesunyian sepertiga malam akupun basahi muka, tangan, telinga, sebagian kepala, kaki dengan air..selaksa demi selaksa..ah Suka dan Duka adalah biasa karena tiap orang mengalaminya...

Pancoran, 28 Agustus 2008

Comments