Skip to main content

Perjalanan, satu proses menuju kesempurnaan














Terik matahari dari atas Jakarta menyengat kulitku. Asap knalpot mobil, motor dan bis kota mengepul meliuk-liuk mengepungku. Bunyi klakson beriringan. Memakan suara langkah demi langkah sepatuku yang membentur trotoar. Sedikit mempercepat langkah kunaiki jembatan penyeberangan.

Dari ponsel bisa kulihat saat ini waktu menunjukkan pukul 13.00. Dari atas aku bisa memandang lanngit Jakarta yang hari ini cukup bersih. Sementara di bawahnya gedung-gedung pencakar langit menyembul berirama saling berlomba tunjukan siapa yang paling megah, paling kokoh, paling tinggi. Tak jauh beda mungkin dengan manusia-manusia yang mengisi gedung-gedung itu.

Cukup lumayan juga lewati jembatan penyeberangan ini. Untung saja tenagaku masih kuat tak bisa kubayangkan jika aku adalah orang tua renta sanggupkah melewati jembatan ini?

Di trotoar bisa kulihat lalu lalang para pekerja kantoran mengisi jam istirahat siang. Mereka dengan busana khas orang kantoran, rapi, dan sebuah harapan akan masa depan cerah terpampang. Gambaran manusia kantoran yang berlomba menuju anak tangga tertinggi dalam sebuah cerita yang diberi label karir.
Melihat para karyawan penghuni gedung pencakar langit Sudirman berpakaian rapi sesaat kulihat diriku dan melihat betapa jauh perbedaan yang ada. Hehehe..yah seperti inilah diriku. Mungkin saja seperti saat ini sudah termasuk rapi. Aku jadi berfikir kapan terakhir kali aku memakai baju dimasukan rapi? memakai sepatu resmi? Ah sudah lupa..mungkin waktu ujian pendadaran kali..hehehe

Sosok karyawan rapi penghuni gedung-gedung pencakar langit Jakarta. Sosok-sosok yang mungkin katanya sebagai eksekutif muda. Orang-orang bermasa depan cerah dambaan para mertua...hehehe..Aku jadi ingat kata-kata orang saat tanya aku kerja jadi apa? Dulu kuliahnya dimana? eh sayang banget ya..Katanya..

Fikiran-fikiran usil memang seringkali mengusiku. Memancingku untuk bergeming dari satu jalan yang saat ini kutempuh. Menggodaku dengan iming-iming yang bagi orang lain dianggap sebagai ketololan jika aku tak meresponya.

Dari kejauhan bus 640 melambai-lambai..dan dengan sigap aku melompat naik. Di dalam sekilas fikiran-fikiran akan enaknya jadi karyawan penghuni gedung-gedung pencakar langit Jakarta terus menggoda. Namun tiba-tiba angan-angan tersebut lenyap tatkala muncul seorang pengamen pembaca entah apa..doa bukan puisi juga bukan...Kembali sadar hidup bukan hanya saat ini saja..
Aku percaya dengan apa yang aku jalani..

Hidup tak sekedar menunggu kesempatan baik dan keberuntungan namun dengan terus berbuat dalam koridor peta perjalanan yang telah ada dalam fikiranku..

Jakarta, 24 Juli 2008

Comments