Skip to main content

Rumah MungilKu

Bagian Pertama

Perlahan kafein mulai terserap dalam tubuhku lewat minuman hitam panas dari biji tanaman kopi. Mataku tak boleh terpejam saat ini masih banyak kerjaan yang harus segera diselesaikan namun tetap saja rasa kantuk memaksa mataku untuk terkatup, dan berkali-kali mulutku menguap.

Memaksa ide-ide kembali keluar dan segala imajinasi berjatuhan dengan kencang kuputar alunan musik kumpulan anak muda dari Liverpool yang kini jadi legenda, siapa lagi kalau bukan the Beatles. Ya..sekali lagi Yesterday, Let It Be, Accros The Universe, jadi deretan lagu yang menemani pencarian inspirasi. Segala inspirasi terekam dalam goresan sketsa dan rangkaian kata. Kembali berceritalah malamku dalam dunia yang hanya terdengar detak jam dan suara sayup-sayup angin malam.

Penulis memang lekat dengan malam. Lekat dengan sepi setidaknya hal itulah yang terjadi pada diriku. Ide adalah sebuah tambang bagi para penulis dimana dari situlah muncul bahan berharga yang bisa jadi penyangga hidup. Sebagai penambah penambah pundi-pundi sekedar makan hari ini besok dan seterusnya.

"Rumah", satu hal yang mengisi seluruh ruang dalam imajinasiku. Terbayang tentang rumahku, tentang dinding, perabot, perpustakaan yang memenuhi setiap sudut ruangan yang ada. Unik sekali rumah yang kumiliki hal yang begitu kuperhatikan.

Sebuah rumah sederhana di sebuah kampung yang masih jauh dari hingar bingar ibu kota. Itu yang kupilih, mengalahkan alternatif yang pernah ada tinggal di apartemen bersubsidi, rumah susun atau sewa rumah saja di tengah kota. Sebenarnya ada satu lagi pilihan pulang kembali ke kampung membangun rumah yang dengan harga yang sama mungkin jauh lebih luas dan besar.

Semua kembali pada pilihan. Ada hal yang satu sama lain saling terikat namun memberi konsekuensi yang berbeda. Begitulah memandang masa depan dengan segala konsekuensi serta perhitungan matang kami memilih tinggal di luar sana jauh dari ibu kota namun masih terjangkau akses angkutan umum. Aku menyebut kami, karena memilih rumah bukan sekedar keputusanku saja namun satu keluarga. Aku, istri satu bagian yang harus memiliki keputusan sama. Satu keputusan bulat memilih membeli rumah di daerah yang pinggiran. Selain harganya lebih murah juga faktor lingkungan.

(bersambung)


Comments