Skip to main content

Catatan Perjalanan Sang Elang (Bagian Kedua)

Catatan Perjalanan Sang Elang

Kami belum tahu bagaimana kondisi di atas tempat kawah putih berada. Kami belum tahu sejauh apa dan bagaimana medan yang harus kami tempuh. Namun bayangan indahnya pemandangan kawah yang kami dapat dari orang-orang yang kami temui di jalan membuat tekad kami untuk naik ke atas meski harus berjalan kaki melawan hawa dingin. Kalau perlu malam ini kami akan menginap di sana. Syukur-syukur ada mushola atau apalah meskipun peralatan yang kami bawa bisa dikatakan tidak memadai untuk melawan terjangan hawa dingin.



Kamipun memulai perjalanan. Beberapa kali kami lihat lalu-lalang pengendara mobil dan sepeda motor yang naik turun. Keyakinan kami akan ramainya suasana diataspun makin kuat. Tidak perlu kuatir.

Perjalanan kami lanjutkan langkah demi langkah dan jalan semakin menanjak. Suasana jalan menuju kawah meskipun sudah dibangun sebuah jalan masih begitu asri. Sepanjang jalan di kiri dan kanan adalah hutan yang masih rimbun dan lebat. Pemandangan yang begitu menakjubkan menghapus bayang-bayang pemandangan yang sehari-hari kami jumpai di Jakarta, macet dan hiruk pikuk kota.

Hampir empat puluh lima menit perjalanan kami tempuh namun belum juga terlihat tanda-tanda kami sampai di kawah putih. Sementara hari semakin gelap saja. Dari kejauhan bisa kudengar suara adzan meskipun samar-samar.

Nafas kami makin tersengal-sengal. rasanya badan ini begitu letih dan tak punya tenaga lagi. Berkali-kali kami sejenak menarik nafas dengan menahan rasa pusing dan dingin. Lagi-lagi bayangan keindahan kawah putih mampu menguatkan tekad kami untuk terus berjalan dan berjalan. Hari makin gelap dan lalu-lalang kendaraan tak lagi kami jumpai. Ada sedikit kekuatiran yang timbul.

Kabut semakin tebal. Dengan nafas yang tersengal akhirnya setelah satu setengah jam berjalan kira-kira pukul setengah tujuh malam kami sampai juga di atas. Kami lihat suasana diatas begitu gelap namun yang membuat hati kami sedikit lega ada cahaya penerangan yang muncul nampaknya sebuah warung dan sebuah mushola. Niatan kami jika tak memungkinkan turun kami tidur di mushola.

Dengan penerangan seadanya kami merayap-rayap menelusuri jalan menuju kawah putih. Kabut semakin tebal walhasil kawah itu hanya terlihat samar-samar. Warna putih sementara disekitarnya gelap gulita. Sekilas saya merasakan hawa yang kurang enak. Sesuatu yang begitu mistis. Mengingat kami tiadak begitu mengenal kondisi kawah itu maka kami putuskan untuk menginap saja diatas dan besok pagi baru berjalan-jalan kesana lagi.

Kamipun menuju asal cahaya yang memang sebuah warung. Niatan utama untuk mengisi perut yang sudah keroncongan ini. Di warung tersebut ternyata ada beberapa orang. Makanan yang kami pesan adalah mie rebus.



Bapak-bapak yang ada di warung menerima kami dengan baik. Kami cerita tentang maksud kedatangan kami. Mereka nampaknya kaget juga mendengar penuturan kami keatas jalan kaki dan di waktu pergantian hari pula. Saya masih beluh ngeh apa yang membuat mereka kaget, sementara memikirkan hal itu semangkuk mie rebus panas telah datang. Rasanya begitu nikmat. Meskipun hanya mie telor hari itu menurut saya inilah makanan terlezat yang pernah saya nikmati.

Hawa dingin makin terasa menusuk-nusuk tubuhku. Sementara lidahku terus menari menikmati mie rebus telor.



(bersambung)






Comments