Skip to main content

Gembel

Dua orang cewek yang sedari tadi duduk di depanku kulihat terus saja tersenyum-senyum. Entah kepada siapa mereka tersenyum. Aku terus saja mengamati mereka sejak pertama kali duduk di kursi dalam gerbong kereta api ini. Memang sesekali mereka melihat kearahku tapi apakah senyuman itu ditujukan untukku, hal itu masih menjadi misteri untukku. Mungkin saja ada yang lucu pada diriku atau sesuatu yang aneh yang tidak kusadari.
Terus saja aku memeriksa diri ini tapi sejauh yang kulakukan tak ada yang aneh semuanya wajar menurutku.
Saat ini aku sedang melakukan sebuah perjalanan dengan kereta api. Alat transportasi ini memang merupakan sarana alternatif yang kini bergeser menjadi pilihan utama masyarakat tiap kali berpergian jauh. Kereta kini memang tengah menjadi idola baru disaat melonjaknya harga BBM yang turut menaikkan tarif angkutan yang lain. Jika dihitung-hitung harga tiket kereta api kelas ekonomi bisa mencapai setengah harga dari alat transportasi lain tak ayal lagi penumpang angkutan ini menjadi semakin berjubelan.

Posisi dudukku berada pada bangku nomor dua bagian kiri dari belakang. Ini adalah gerbong yang terakhir jadi jumlah penumpangnya masih belum banyak. Kedua cewek yang kulihat tadi duduk di deretan sebelah kanan kursi urutan empat yang berhadapan dengan kursiku.
Sebenarnya mereka bertiga. Satu diantara mereka berniat mengambil kursi tepat didepanku. Kursi yang kotor oleh tumpahan kopi membuatnya membatalkan niatnya, jadinya yang nempati seorang tua yang berpakaian lusuh. Orang yang kupanggil dengan sebutan gembel.
“Brengsek dasar gembel!” begitu umpatku dalam hati.

Kereta api terus saja berjalan, stasiun demi stasiun telah dilewati dan aku harus bertahan dengan gembel yang ada didepanku. Ya gembel bertopi itu masih saja asik duduk dikursi penumpang itu. Terus saja aku mengawasinya, matanya celingak-celinguk aku jadi semakin waspada dengan barang-barang yang kubawa.
“Jangan-jangan ia sedang mencari mangsa”. Begitu gerutuku dalam hati.
Sementara aku disibukkan dengan gembel itu kulihat dari kejauhan cewek yang duduk di depan terus saja berbisik-bisik dan sesekali tersenyum. Tiap kali melihat mereka tersenyum aku amati penampilanku.

“Jangan-jangan aku sudah benar-benar mirip dengan gembel didepanku?” Kata hatiku terus bertanya.
“Mungkin benar aku memang benar-benar mirip gembel”.
“He..kok ikut-ikutan duduk kayak penumpang saja. Sana pindah dibelakang!” Seorang pemeriksa karcis kereta datang dan mengusir lelaki gembel itu. Hatiku bersorak “sukur kamu gembel!”Tak tahu kenapa kepergian gembel itu sesaat melegakan hatiku. Hal yang terjadi di hatiku setelah tahu keberadaan yang sebenarnya dari gembel itu.
Pagi yang terlalu indah ditambah dengan udara yang segar terlalu sayang untuk dihabiskan dalam perjalanan. Pagi ini waktuku harus kuhabiskan dalam perjalanan di dalam kereta menuju Surabaya.

Datang pagi-pagi ke stasiun cepat-cepat antri tiket. Kursi di dalam kereta ekonomi terkadang harus didapatkan dengan perjuangan.Desak-desakan siapa yang cepat dia yang dapat.
Kedatanganku lebih awal tak sia-sia kudapatkan satu kursi disalah satu gerbong dalam rangkaian kereta Penataran tujuan Surabaya. Akupun duduk dikursi yang telah kudapatkan. Hari ini tak seperti kemarin relatif sepi sehingga sebenarnya walaupun aku tak datng sepagi ini masih ada kursi yang bisa kudapatkan.

Di sampingku telah terisi oleh seorang bapak-bapak begitu juga di depanku. Mereka melihat kedatanganku menyambut dengan senyuman. Akupun membalas sapaan senyuman itu. Segera barang-barang bawaan kutaruh diatas tempat barang-barang berada.
Tak lama kenudian kereta berjalan. Stasiun demi stasiun dilewati. Perjalanan yang langsung saja diiringui oleh para penjual asongan, pengamen, tukang sapu dan pengemis. Mereka datang dengan silih berganti seakan-akan tak menyerah dengan tolakan demi tolakan yang diberikan oleh penumpang.
"Mas…mas…mas!" seorang pengemis menyenggol-nyenggolku. Aku sempat terkejut seorang tua ekspresi yang membuat diriku tersentuh, timbul rasa kasihan. Kurogah saku celan dan kuambil recahan uang logam.
Nampaknya hanya kau yang memberi orang yang disampingku duduk dan acuh tak acuh melihatnya. "Inikah dunia saat ini tiadakah keingninan utnuk berbagi terhadap sesama?" Pertanyaan yang timbul dalam hati ini menahan rasa jengkel pada orang yang duduk disampingku.

"Dik mau pergi kemana?"Orang yang duduk disampingku menyapaku namun aku pura-pura tidak mendengarnya.
"Dik… mau pergi kemana?" sekali lagi ia memanggil tapi kali ini aku menoleh.
"Oh maaf pak saya mau pergi ke Yogyakarta". Aku menjawab pertanyaannya dan diam kembali buat apa berbicara dengan orang egois tak punya kepedulian sosial begitu fikirku.
"Kuliah atau kerja?"Bapak lainnya yang disampingku ikutan bertanya.
"Sama saja keduanya tak punya kepedulian pura-pura tidur lagi". Aku terus menggerutu melihat keduanya.
"Saya kuliah pak. Kalau panjenengan2 mau pergi kemana?" kali ini ganti aku yang bertanya pada mereka.

"Surabaya dik. Tiap seminggu sekali saya kesana". Jawab bapak yang usianya lebih tua.
Kali ini diantara kami timbul perbincangan topiknya ngalor ngidul mulai dari masalah kenaikan gaji PNS, rekrutmen CPNS, demonstrasi hingga pemerintah yang saat ini tengah mengatur negeri ini. Diantara hal yang dia ceritakan ada satu yang membuatku sangat tertarik, ketika ia bicara soal pengemis yang tadi kuberi uang recehan.
"Masih ingat pengemis yang tadi datang kesini?" Tanya bapak yang lebih tua.
"Ya ingat pak memangnya kenapa?"
""Itu tetangga saya mas".

Bapak itu cerita tentang tetangganya yang pengemis. Konon ceritanya pengemis tadi kontrak disebuah rumah yang cukup bagus dengan fasilitas yang cukup lengkap mulai dari tv hingga pompa air. Hal yang membuatku tersentak katanya pengemis itu rata-rata berpenghasilan antara lima puluh-ribu hingga tujuh puluh ribu.

Kereta hampir mendekati stasiun Kertosono akupun bersiap-siap turun dari kereta. Perhatianku kini tertuju pada barang-barangku suasana yang rawan dengan tindak kejahatan.
Aku melangkah keluar didepanku disebuah warung makan aku melihat seseorang. Dia dengan lahap menyantap makanannya. Melihatnya makan seleraku jadi naik kurogoh sakuku hanya tinggal lembaran ribuan dan dua puluh ribu. Aku terus mendekati warung itu ternyata aku kenal dengan orang itu. Tak salah lagi ia gembel kaya itu. Akhirnya aku putuskan berhenti pada penjual nasi pecel dua ribuan menu yang mampu dijangkau pegawai kantor rendahan lulusan strata satu sepertiku. Aku nikmati makananku sambil melihat gembel itu sedang melahap ayam gorengnya.

Gerbong Kereta, Januari 2006

Comments