Skip to main content

Ruang Terdalam

Hari ini tepat sebulan sejak pengesahan surat keputusan itu. Sebuah kebijakan terbaru di sebuah Universitas tua. Sebuah keputusan yang cukup kontroversial tak heran berbagai reaksi muncul dalam menanggapi hal itu. Ada yang setuju, ada yang jelas-jelas menolak dan ada pula yang diam acuh tak acuh tak peduli lagi dengan yang terjadi. Berita hebohnya surat keputusan itupun sempat masuk menjadi berita utama di berbagai media cetak maupun elektronik baik lokal maupun nasional. Pemberitaan yang membuat universitas tua ini telah menjadi seperti seorang selebritis dalam infotainment.

Ada berbagai macam tipe orang dengan karakternya masing-masing yang ada di universitas ini. Ada tipe mereka yang secara jelas-jelas menjadi musuh dari para mahasiswa gara-gara mereka kebetulan menjadi pemegang kebijakan, ada mereka yang tak jelas posisinya dan ada yang mati-matian membela mahasiswa dan mengatas namakan keadilan. Bagaimanapun orang-orang yang ada di dalamnya menjadi pewarna citra dari Universitas ini.

****

Bundaran, atau lebih sering disebut Boulevard universitas tua, di tempat inilah suara-suara megaphone seringkali terdengar. Berteriak dengan lantang menentang segalanya yang dianggap sebagai kesalahan, kebodohan, kebobrokan dalam perspektif mereka yang harus segera diberangus dengan kekuatan demonstrasi. Dua puluh tahun yang lalu dengan memakai jas almamater dan ikat kepala aku pernah berteriak lantang menuntut perubahan, segala sesuatu yang dianggap sebagai penyelewengan hal yang harus dilawan.

Senja telah hilang, gemerlapannya cahaya kerlap-kerlip bintang mulai tampakkan diri. Malam hari, sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara adzan dikumandangkan. Bersahut sahutan dari segala penjuru. Diantara suara itu muncul suara seorang bocah yang dengan begitu lantang kumandangkan panggilan sholat itu. Suara yang mengingatkanku pada tigapuluhan tahun yang lalu, seringkali akulah yang berteriak lantang di surau tua yang terletak di belakang rumahku. Masih teringat juga bagaimana tetanggaku selalu tersenyum padaku orang-orang tua itu sering berkata

"Duh benar-benar anak soleh!" dan aku seringkali hanya tersenyum malu membalas ucapan mereka.

Di kanan kiri kampus ini suasana malam bukan berarti segala aktivitas telah mati, bahkan sebuah kehidupan baru telah dimulai. Mereka yang berjajar sepanjang jalan yang membelah kampus menawarkan berbagai menu makanan

Mengais rezeki dan seringkali banyak yang mengganggap sinis mereka,

"Dasar PKL kerjanya hanya bikin kampus kotor bikin lalu lintas semrawut!"

Meski mereka selalu saja tersenyum dalam harapan mereka

"Mengais sedikit rezeki untuk mencukupi segala kebutuhan mereka, untuk mencari biaya buat pendidikan anak-anak mereka yang mulai melambung".

Memang semuanya adalah sebuah dinamika yang selalu saja bergerak dan terkadang terasa begitu cepat. Seperti saat malam yang datang menggusur kekuasaan penguasa siang. Dinamika, fenomena alam sebuah simbol dari yang maha seringkali tak pernah sampai pada pemahaman kita.

Pelan tapi pasti sambil merayap-rayap ditengah ramainya lalu lintas kota ini kendaraan dinasku telah sampai di depan rumah.

Lelah, letih semua aktivitas yang membuatku berada pada kondisi seperti ini. Aktivitas yang terus saja mengalir seperti zat alir begitu saja bergerak dan sesekali berbelok mengikuti alur yang ada.

Badan yang begitu letih telah kurebahkan di ranjangku. Berusaha untuk memejamkan mata barang sebentar tapi alam bawah sadar terus saja menggiringku pada bayang-bayang ketakutan itu. Sendiri dalam kegelapan dan terus saja di kejar-kejar oleh ketakutan itu.

Dalam suasana gelap dan jiwa yang begitu resah aku terus saja melangkah mencari sedikit jati diri, mencari sedikit kesejukan hati. Sebuah bayang kelam tiba-tiba muncul di hadapanku. Bayangan yang berkisah tentang segala kejadian di masa lalu. Bayangan yang memamerkan salah satu sisi dalam diriku di masa lalu yang kini telah hilang entah kemana. Bayang-bayang yang begitu cepat memporak-porandakan ruang-ruang kesadaran dan membangkitkan sebuah cerita tentang seseorang yang bernama aku.

Bayang-bayang terus saja membawaku dalam sebuah perjalanan waktu, dan menghalau keinginan untuk memberontak dari kekuasaannya. Aku dengan mudah di bawanya. Tubuh ini terus coba meronta, melawan dan berteriak sekuat mungkin namun apalah daya semuanya telah sia-sia. Aku tak punya tenaga lagi dan seperti kapas melayang-layang terbawa oleh bayangan itu.

Dalam perjalanan segala imaji dan anganku menerobos kembali jejak ruang dan waktu. Perjalanan yang terbentur pada sebuah perasaan itu, serba gundah gelisah. Aku mengalami perasaan ketakutan dan baru kali ini mengalaminya. Aku terus menerobos batas imajinasi di sebuah ruang di satu sisi kulihat remang-remang cahaya lilin dan lantunan-lantunan aneh yang kudengar.

Cahaya dan suara yang membuatku tertarik untuk mendekatinya. Aku terus mendekat ingin tahu apa yang sedang terjadi dan ada di tempat itu. Ruang yang masih misteri bagiku. Sebuah ruang yang cukup tertata rapi dengan cahaya muram dan potret yang mengisi dindingnya menghapus kesan rapi berubah jadi menyeramkan.

"Ngga mungkin…!", aku sangat terkejut saat mendekat dan melihat potret itu ternyata adalah aku sendiri. Begitu banyak foto-foto yang sangat lengkap dari aku masih bayi hingga sesaat sebelum aku kembali menuju tempat tinggalku.

Kuamati satu persatu album panjang itu. Seorang anak dusun, polos, dari keluarga miskin lolos tes masuk sebuah universitas negeri tertua, ", itu aku benar itu fotoku saat masih pertama kali jadi mahasiswa".

Diantara potret yang terpampang dalam dinding pandanganku mulai terfokus pada sebuah rekaman kejadian yang masih terekam dalam fikiranku. Aku terus saja melihat dan memandangi potret tersebut. Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang yang sedang berorasi; suara dari seseorang anak muda yang begitu berpegang teguh pada sosok maya yang dinamakan dengan idealisme.

"Itu aku, yang sering berdiri dengan gagah membawa megaphone teriakkan suara perubahan di salah satu sudut kampusku",

"Hai siapa kamu?", entah apa yang sedang terjadi sosok di foto itu berubah menjadi nyata, dia menunjuk-nunjuk mukaku dia sedang marah, kecewa akan sesuatu padaku.

Aku hanya diam, kaget dan entah kenapa sosok-sosok yang lain dalam foto yang terpampang itu mulai menunjuk aku satu demi satu mereka keluar dari bingkai dan mengepungku.

"Hai siapa kamu?", serempak mereka berteriak

Aku terdiam, menggigil, takut dan benar-benar tak bisa berbuat apa . Melihatku yang hanya terdiam mereka mulai beringas makin mendekati mengepalkan tangan-tangan mereka. Akupun kini makin tak bisa berbuat apa-apa. Satu kesempatan yang ada membuatku bisa terlepas akupun berlari sekncang mungkin dan sekuat tenagaku. Aku berlaridan terus berlari sementara mereka terus mengejarku.

Dalam batas sebuah jalan peelarian akupun terhenti tak ayal lagi mereka menghajarku, mencincangku dan akhirnya aku tak sadarkan diri. Aku tak tahu lagi apa yang terjadi.

"Kriiiing……kriiiing", suara raungan jam weker membuatku terbebas dari segala ketakutan. Lega ternyata yang kualami hanyalah mimpi. Semua tak nyata aku sudah kembali ke alam nyataku.

Seperti biasa pagi hari adalah awal dimana aku harus kembali mengawali rutinitas yang sangat melelahkan. Mobil dinas yang biasa membawaku telah siap dengan sopir yang ada di dalamnya. Segar memang tapi bayangan mimpi buruk semalam terus saja mengganggu fikiranku.

Mobil ini terus membawaku menuju kampus. Di sepanjang jalan aku hanya terdiam bayangan-bayangan masih saja melambai lambai. Mereka ada di anak kecil yang berangkat kesekolah, seorang mahasiswa yang ngebut mengejar jam kuliah, seorang dosen muda dan akhirnya bayangan itu terhenti pada sosokku saat ini. Mobil inipun akhirnya berhenti di gedung tua kampus ini.

Akupun segera turun dan menyusuri lorong-lorong gelap kampus ini.Lorong panjang dengan bentuk bangunan yang masih asli seperti lima puluh tahun lalu baru saja dibangun. Selangkah demi selangkah hingga akhirnya akupun sudah berada di ruangan kerjaku. Di depan aku telah di sambut senyum entah dari dalam atau bukan yang jelas ia berikan padaku. Aku telah disambut seorang sekretarisku.

Tampak di ruang tunggu beberapa orang mahasiswa telah menunggu penguasa nomor satu di kampus ini. Mereka yang begitu hijau dan terselubungi dalam sebuah selimut yang bernama idealisme. Melihat mereka seperti melihat diriku sendiri puluhan tahun yang silam dan di tempat yang sama.

Aku teringat kejadian puluhan tahun lalu saat menjalin asmara dengan seorang aktivis. Aku benar-benar jatuh dalam rengkuhan rasa saat itu. Kenangan yang begitu mendalam masih teringat dan tersimpan rapi dalam ruang memoriku. Masih kuingat betul kata-katanya waktu itu "aku adalah seorang yang ingin membawa angin perubahan..". Sebuah kisah singkat tapi masih terngiang hingga kini. Setelah sekian lama hingga kini belum pernah bertemu dengannya tapi dari kabar dia menikah dengan seorang yang dianggapnya satu ide, satu jalan, satu faham dengannya seorang pengacara hebat. Dia sendiri kini telah menjadi seorang jaksa; sebuah cita-cita yang dulu pernah dikatakannya padaku di sebuah kereta dalam perjalanan pulang menuju kampung halaman.

Pekerjaan yang datang bertubi-tubi. Hilang satu yang lain berdatangan.

"Anda telah ditunggu oleh Pak rektor ada pertemuan penting hari ini…", kata sekretaris pribadiku.

"Oh ya sebentar lagi saya kesana".

Beberapa pejabat teras kampus telah berkumpul. Ada isu penting yang segera dibahas. Diantara mereka aku berada di persimpangan jalan. Di satu sisi aku dianggap sebagai orang rektorat dan di sisi lain aku harus membela mahasiswa yang sedang menyuarakan aspirasinya.

Mewakili rektor akupun turun menemui demonstran yang sudah mulai memanas di depan gedung tua ini. Mencoba menenangkan mereka walau suara-suara yang kudengar jelas menyiratkan sebuah kekecewaan karena tak bisa bertemu langsung dengan orang nomor satu di kampus ini.

Di tengah ketidak puasan aku hanya bisa menarik nafas. Di mata mereka tak lebih aku hanya dianggap sebagai antek-antek rektorat saja. Kenyataan memang menunjukan idealisme mahasiswaku telah lama kutinggalkan di saku jas almamater setelah selesai diwisuda puluhan tahun lalu.

****

Hari turunnya dosen dan mahasiswa di kampus tua inipun akan dikenang sebagai salah satu gambaran kelam sejarah yang pernah terjadi. Hari dimana ada yang tersadarkan bahwa kerakyatan yang didengung-dengungkan selama ini telah hilang dan harus dimunculkan kembali.


(Aku sedang berusaha pertahankan idealismeku untuk tak terbawa arus kejamnya zaman)

Yogyakarta 15 Juni 2006

Comments