Skip to main content

Selembar jarit

Tulisan ini masih erat kaitannya dengan peringatan hari pendidikan nasional. Tulisan yang akan mengisahkan cerita tentang kesulitan ekonomi yang dahadapi seorang guru hingga sampai-sampai menggadaikan jarit hanya untuk tambahan biaya pengobatan anaknya. Tulisan yang secara kebetulan saya alami sendiri sebagai seorang anak dari guru yang bertahun-tahun harus berjuang mengatasi segela keterbatasan fasilitas yang dimiliki.

Jarit, kain yang biasanya dipakai dalam busana khas Jawa. Kain yang biasanya diisi dengan motif-motif batik dan sebagian besar berwarna coklat. Lembaran kain yang di dalam kisah kehidupanku dulu sebenarnya sangat-sangat bermakna, memiliki sejarah memilukan dari pahit getirnya kehidupan keluarga pegawai negeri kecil.

Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, saat itu masih di bangku taman kanak-kanak. Sebuah gigitan kecil dari mahluk yang juga kecil bernama Aides Aigepti memaksaku masuk Rumah sakit. Takut bukan kepalang rasanya membayangkan harus menginap dan diopname untuk beberapa hari. Saat itu Rumah sakit sedang dipenuhi pasien demam berdarah hingga terpaksa harus dirawat di bangsal.

Ada banyak kenangan bagaimana rasanya dirawat di bangsal saat itu. Bagaimana terkadang waktu malam mendengar teriakan pasien-pasien yang sedang kritis dan melihat perawat-perawat tergesa-gesa membawa tabung oksigen dan setelah sebuah teriakan perawat-perawat itu mendorong seseorang yang telah ditutupi selimut. Sangat menakutkan saat itu.

Dengan berbagai kisah ternyata bukan hal itu yang hingga kini menyentuh hatiku. Satu hal yang hingga kini membuatku trenyuh adalah tentang jarit. Kain yang disebutkan di awal cerita.

Tahu nggak kenapa jarit begitu terkenang? Semua karena benda itu yang turut membiayai pengobatanku selama menjalani rawat inap di rumah sakit umum. Usut punya usut di tengah kesulitan mencari biaya ada banyak barang ( itupun nilainya tak seberapa maklum ibu hanya guru dan bapak pekerjaannya serabutan) yang masuk pegadaian salah satunya adalah jarit itu. Ah tak bisa membayangkan aku betapa miskinnya kami saat itu walaupun ternyata ada yang lebih miskin lagi.

Ingatan terhadap selembar jarit yang membuatku makin menghargai jasa kedua ortu yang ternyata mampu membiayai kami bahkan selalu bisa masuk sekolah favorit mulai dari SD hingga Perguruan tinggi. Tak terasa memang ternyata putranya yang dulu pernah masuk RS dan harus menggadaikan jarit buat pengobatan telah mentas dari kuliahnya. Sebuah PR memang belum selesai untuk membantu segala kebaikan ortu.

Cerita diatas pastinya hanya salah satu dari sejuta kisah yang pernah dialami oleh pra pendidik yang tersebar di seantero negeri ini. Saya yakin masih ada kisah yang lebih memilukan lagi yang pernah dialami para guru apalagi mereka yang statusnya hanya honorer.

Jarit..jarit…semoga hanya ortuku saja guru yang kesulitan biaya sampai menggadaikan dirimu. Semoga nasib guru-guru lain di masa mendatang akan lebih baik.

Selamat Hari Pendidikan…terima kasih baktimu guruku..Menghargai guru sama dengan menghargai pahlawan….Dengan mengharagai jasa pahlawan menjadi salah satu bekal menjadi bangsa yang besar…semoga..

3 Mei 2007



Comments