Skip to main content

Segelas Kopi dan Cerita Malam Ini...


Perjalanan hidup

Jika suatu saat kau lelah, berhentilah sejenak. Tak ada salahnya sekedar menarik nafas, duduk melihat jauh kedepan membayangkan banyak hal yang kan terlewatkan begitu saja jika berhenti.

Jam di netbook sudah menunjukkan pukul 22.33. Jalan kecil di depan rumah yang biasanya tak pernah berhenti terisi oleh suara mesin dan klakson kini mulai lengang. Penghuni rumah yang lain juga sudah terlelap dalam istirahatnya masing-masing. Yang terdengar hanyalah suara dengkur yang tak begitu keras dan siaran televisi yang suaranya kalah oleh lantunan musik dari netbookku.

Sambil menahan kantuk, jariku masih mengetuk keyboard menulis satu tanggungan yang lama tertunda. Seperti biasanya, berteman dengan segelas kopi. Tentunya kopi hitam bukan kopi instant sachetan yang menurutku rasanya sangat aneh dan terkadang membuat perut mulas. Berbeda dengan kopi hitam, panas, yang menyebarkan aroma harum tiap kali gula dan kopi diaduk.

Tentang kopi, Minggu kemarin ada satu cerita yang menurutku menarik...


Sore itu hujan membasahi Jakarta. Titik-titk air yang seakan tak habis-habis jatuh dari langit itu membuat saya dan dua orang rekan memutuskan berteduh selepas berjalan menelusuri Jakarta. Selepas melaksanakan sholat Maghrib di sebuah masjid tak jauh dari Sarinah kami duduk santai menunggu hujan reda.

Seorang teman perhatiannya tertuju pada seorang penjual kopi yang seringkali keliling menggunakan sepeda. Ada dua orang penjual kopi di emperan masjid. Tak lama kemudian salah satu dari penjual kopi itu mengambil sepeda yang sudah terisi dengan sachet2 kopi yang digantungkan. Meskipun hujan masih cukup kalau hanya untuk membasahi pakaian dan membuat masuk angin.

"Kau lihat penjual kopi itu?" kata seorang teman,

"Iya," jawabku,

"Penjual itu kalau bisa memilih tak akan nekad menembus hujan menjajakan dagangannya, tapi ia tak punya pilihan,"

"Penjual tadi harus tetap jalan meskipun hujan, karena jika tidak berarti dia membuang kesempatan mendapat rejeki jika ternyata di jalan ada orang yang membeli dagangnya,"

Benar, dalam hati saya menyetejui kata-kata temen saya itu. Jika bisa memilih si penjual mungkin seperti kami menunggu hujan reda. Namun ia tak bisa memilih kalaupun tetap di masjid ia pasti tahu sudah ada rekannya yang menjajakan barang yang sama.

Penjual kopi itu, hanya sebentar istirahat. Menjalankan Sholat Maghrib. Ia terus melanjutkan perjalanannya karena ia tahu di depan ada hal indah (kemungkinan dagangan laku) yang tak terwujud jika ia berhenti bermalas-malasan di teras masjid saja.

Jika suatu saat kau lelah, berhentilah sejenak. Tak ada salahnya sekedar menarik nafas, duduk melihat jauh kedepan membayangkan banyak hal yang kan terlewatkan begitu saja jika berhenti.
Jakarta, 30 November 2009

Comments

Anonymous said…
hmmm.....aku penasaran ma tulsan2 sampean mas..